Bau tak Sedap dari Ruang Sidang
AROMA tidak sedap kembali meruap dari ruang sidang. Para pengadil yang disebut sebagai wakil Tuhan itu kembali berulah. Lakon kali ini dimainkan oleh hakim di Pengadilan Tinggi Pontianak, Kalimantan Barat.
Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Pontianak pada Senin (13/1) mengabulkan banding warga negara asing (WNA) asal Tiongkok, Yu Hao, 49, pemilik perusahaan Pu Er Rui Hao Lao Wu You Xian Gong Si. Yu Hao dinilai tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana penambangan ilegal.
Atas penilaian tersebut, oleh majelis hakim yang memimpin sidang banding perkara tambang emas ilegal 774 kilogram yang merugikan negara hingga Rp1,02 triliun itu, Yu Hao dibebaskan. Sebelumnya, Pengadilan Negeri Ketapang, Pontianak, memvonis Yu Hao dengan hukuman pidana 3,5 tahun dan denda Rp30 miliar.
Putusan janggal yang dikeluarkan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Pontianak itu menambah panjang daftar vonis janggal yang dikeluarkan lembaga peradilan. Putusan tersebut jelas menambah rasa jengkel publik lantaran dikeluarkan di tengah masih panasnya perdebatan soal vonis superringan yang dikeluarkan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada kasus korupsi timah.
Bulan lalu, hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat hanya menjatuhi terdakwa kasus dugaan megakorupsi tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah pada 2015-2022, Harvey Moeis, dengan hukuman pidana penjara 6,5 tahun. Vonis itu dinilai sangat tak sesuai dengan kerugian negara yang ditimbulkan dari kasus tersebut yang ditaksir mencapai Rp300 triliun.
Sebelumnya, PN Surabaya juga mengeluarkan vonis aneh dengan membebaskan Gregorius Ronald Tannur, terdakwa kasus penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian Dini Sera Afrianti. Belakangan perkara itu menyeret para pengadil di kasus tersebut, yakni Erintuah Damanik, Heru Hanindyo, dan Mangapul, ke meja hijau. Terakhir, mantan Ketua PN Surabaya juga telah dijadikan tersangka oleh Kejaksaan Agung karena diduga menerima suap terkait dengan pemberian vonis bebas Ronald tersebut.
Berkaca dari kejanggalan di kedua kasus sebelumnya, bukan tidak mungkin putusan bebas terhadap penambang ilegal asal Tiongkok itu juga tidak murni dilatarbelakangi pertimbangan hukum. Jangan-jangan ada udang di balik batu. Patut diduga ada permainan di balik putusan tersebut.
Vonis bebas penambang ilegal asal Tiongkok itu juga kian menguatkan kecurigaan publik perihal adanya mafia peradilan yang sudah begitu mencengkeram dan berlangsung secara sistematis di negeri ini. Semakin ke sini, semakin banyak pembuktian bahwa keberadaan mafia peradilan bukan sekadar rumor.
Jika dicermati, sebenarnya kejanggalan kasus ini sudah terjadi sejak tuntutan. Bagaimana mungkin dengan kerugian negara yang mencapai Rp1 triliun, terdakwa hanya dikenai tuntutan 5 tahun dan denda Rp20 miliar. Ini jelas melecehkan akal sehat publik karena di tempat lain seorang warga Gunung Kidul, DIY, yang mencuri lima potong kayu untuk memenuhi tuntutan perut keluarganya, dituntut 5 tahun penjara.
Sudah tuntutannya rendah, makin ditambah pula dengan vonis di pengadilan tingkat pertama, PN Ketapang, Pontianak, yang memberikan diskon hampir 50% dari tuntutan yakni 3 tahun dan 6 bulan serta denda Rp30 miliar subsider 6 bulan kurungan. Bahkan, kemudian berubah lagi menjadi vonis bebas pada persidangan banding di Pengadilan Tinggi Pontianak.
Rangkaian kejanggalan itu kian mengabsahkan kecurigaan publik. Banyaknya putusan tak masuk akal dan sulit dicerna nalar yang dibuat para hakim di pengadilan sesungguhnya akan meruntuhkan wibawa pengadilan itu sendiri. Termasuk wibawa para pengadil.
Hal ini tentu harus menjadi perhatian Mahkamah Agung (MA) demi menjaga muruah lembaga peradilan. MA harus lebih ketat mengawasi para hakim dan menindak keras hakim yang melanggar kode etik. Jangan sampai MA justru menjadi pusat dari pusaran mafia peradilan seperti dalam kasus Ronald Tannur. MA harus kembali menegaskan kepada hakim-hakimnya untuk tetap menjaga amanah dan jangan sampai menghilangkan kepercayaan publik.
Bukan hanya MA, putusan janggal Pengadilan Tinggi Pontianak juga semestinya menjadi perhatian serius Komisi Yudisial (KY). Sebagai pengawas eksternal MA, semestinya KY segera mengusut tuntas kasus tersebut, bukan hanya menunggu laporan publik. Bongkar segera jika ditemukan pelanggaran kode etik oleh majelis hakim.
Publik berharap, baik MA maupun KY mampu menjalankan fungsi dengan sebenar-benarnya. Jangan jadikan lembaga peradilan sebagai pasar peradilan. Siapa yang punya duit dia yang menang. Setop aroma tidak sedap yang terus meruap dari lembaga peradilan.
Terkini Lainnya
Birokrasi Bersih Jangan Jadi Ilusi
Antikorupsi tidak Cukup Janji
Pemerintah, Kreatiflah
Efisiensi Mesti Sentuh Esensi
Peradilan Bersih, Martabat Pulih
Penegakan Hukum masih Lunglai
Memitigasi Trump Effect
Evaluasi demi Memupus Kontroversi
Parlemen Jangan Kebablasan
Menjaga Langkah Raksasa Danantara
Kebijakan Jangan Persulit Rakyat
Judol tidak lagi Disenggol
Aksi Peras Bikin Malu Negara
Bayar Lunas Mandat Rakyat
Menolak Jadi Negara Gagap
Jakarta masih Banjir Juga
Ketika Menhan AS Beretorika
Alternating Family dan Perkembangan Keluarga Generasi Z
Hilangnya Kejujuran
Proyek Genom Manusia, Pedang Bermata Dua
Kebijakan Imperialisme Trump
Penyehatan Tanah untuk Peningkatan Produktivitas Pertanian
1.000 Pelajar Selami Dunia Otomotif di GIIAS 2024
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap