visitaaponce.com

Aksi Peras Bikin Malu Negara

AKSI pemerasan yang dilakukan aparat di Indonesia kiranya sudah sedemikian akut dan meresahkan. Kelasnya bukan lagi sekadar mempermalukan institusi, melainkan bikin malu negara. Disebut begitu lantaran pihak yang diperas alias korban pemerasan ialah warga negara asing (WNA). Sungguh sebuah tamparan bagi pemerintah yang mengeklaim diri tengah berusaha keras menguatkan reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi.

Tamparan pertama datang beberapa waktu lalu ketika terungkap kasus dugaan pemerasan oleh anggota kepolisian terhadap warga negara Malaysia yang datang menonton Djakarta Warehouse Project (DWP) 2024 di JI Expo, Kemayoran, Jakarta. Mereka, para turis Malaysia itu, diperas dengan modus ancaman tuduhan penyalahgunaan narkoba. Ujung-ujungnya mereka dimintai uang tebusan dengan nilai total hingga miliaran rupiah.

Belum juga tuntas penanganan kasus tersebut di kepolisian, muncul lagi berita yang tak kalah memalukan. Kedutaan Besar Republik Rakyat Tiongkok di Indonesia belum lama ini mengirimkan surat kepada Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler Kementerian Luar Negeri serta Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, yang isinya menyebutkan sejumlah warga negara mereka menjadi korban pemerasan oleh petugas imigrasi Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta.

Pihak Kedubes Tiongkok menjelaskan daftar kasus pemerasan yang mereka laporkan itu terjadi selama setahun terakhir, yakni dari Februari 2024 hingga Januari 2025. Saat ini, mereka mengaku telah menyelesaikan sedikitnya 44 kasus pemerasan, dengan total uang sekitar Rp32.750.000 yang dikembalikan kepada lebih dari 60 warga negara Tiongkok.

Aksi peras-memeras, suap-menyuap, sogok-menyogok, sesungguhnya telah menjadi 'tabiat buruk' di Indonesia. Publik dalam negeri sudah sangat paham dengan hal itu. Semua urusan birokrasi bisa dibuat jadi mudah dan lancar apabila ada uang sogokan untuk aparat atau petugas yang mengurusnya. Pun sebaliknya, dalam kasus-kasus tertentu, aparat memeras rakyatnya dengan segudang dalih. Maka, dalam urusan itu, sejatinya nama negara sudah buruk di mata rakyatnya sendiri.

Kini, dengan adanya pemerasan terhadap WNA, bahkan Kedubes Tiongkok sampai mengirimkan surat pengaduan, mau tidak mau, kisah kebobrokan birokrasi itu kian menyebar ke luar. Negara dipermalukan. Harga diri bangsa dicoreng di mata dunia internasional. Mereka yang selama ini mungkin hanya samar-samar mendengar tentang maraknya aksi pemerasan dan pungutan liar di Indonesia, kini seolah mendapat konfirmasi bahwa hal tersebut nyata adanya.

Lalu, apa hukuman bagi orang, oknum, atau pihak yang telah membuat negara malu semalu-malunya itu? Biar impas, jelas mesti dihukum seberat-beratnya. Kasus itu tak cukup berhenti atau dianggap sebagai pelanggaran etik atau pelanggaran administrasi semata. Pelaku tindak pemerasan, penyuapan, pungli, apalagi aksi itu sampai mempermalukan Republik, harus dipidana.

Kita hargai langkah Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan yang langsung mencopot sejumlah petugas imigrasi Bandara Internasional Soekarno-Hatta sebagai buntut pemerasan terhadap WNA asal Tiongkok tersebut. Namun, kita juga mengingatkan agar langkah internalisasi terhadap pelaku kasus pemerasan itu tidak dijadikan upaya institusi demi melindungi dan menjauhkan petugas dari proses pidana.

Selain itu, dalam surat Kedubes Tiongkok kepada Kemenlu RI disebutkan pula bahwa 44 kasus pemerasan yang mereka laporkan hanyalah puncak gunung es. Mereka meyakini lebih banyak lagi warga negara Tiongkok yang diperas tapi tidak mengajukan pengaduan karena jadwal yang ketat atau takut akan pembalasan saat masuk di masa mendatang.

Karena itu, pembenahan menyeluruh harus dilakukan pemerintah. Tak hanya bersih-bersih aparat lancung, tapi juga penyempurnaan sistem dan infrastruktur keimigrasian guna menutup semua celah yang bisa dimanfaatkan untuk terjadinya suatu pelanggaran dan kejahatan. Semua langkah itu mesti dilakukan simultan dengan segera jika negara ini tidak mau terus-menerus dipermalukan.

 



Terkini Lainnya

Tautan Sahabat