visitaaponce.com

Sejumlah Indikasi yang Dorong Rencana Penaikan PPN 12 Persen

Sejumlah Indikasi yang Dorong Rencana Penaikan PPN 12 Persen
Webinar Universitas Paramadina dan INDEF bertajuk PPN 12% : Solusi atau Beban Baru?, Senin (2/12).(Dok Indef)

RENCANA penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% memiliki sejumlah indikasi sebagai latar belakang. Indikasi tersebut mulai ada penghematan pengeluaran perjalanan dinas hingga penyelundupan container tekstil Tiongkok

"Pertama, awal November 2024 Menteri Keuangan Sri Mulyani menyerukan agar menteri-menteri menghemat pengeluaran perjalanan dinas. Padahal masa tugas mereka hanya tinggal 1,5 bulan dari berakhirnya jabatan Jokowi sebagai Presiden. Menghemat pun pasti hanya sekitar Rp1 triliun. Namun karena disampaikan, ini berarti fiskal negara sedang berat," ungkap Wijayanto Samirin, ekonom Universitas Paramadina, dalam Webinar Universitas Paramadina dan INDEF bertajuk PPN 12% : Solusi atau Beban Baru?, Senin (2/12).

Kedua, lanjut Wijayanto, Sri Mulyani mengumumkan bahwa penerimaan pajak nasional hingga Oktober 2024 turun 0,4% dibandingkan periode sama pada 2023. Jadi, mungkin tax ratio Indonesia yang pada 2023 sudah rendah hanya 10,22% akan lebih rendah lagi pada akhir 2024 menjadi sekitar 9% saja. 

"Pada bulan yang sama, Prabowo di Tiongkok mengatakan untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG), Negeri Tirai Bambu akan memberi pinjaman. Itu menunjukkan memang situasi fiskal amat berat. Anggaran MBG pun kini diturunkan menjadi hanya Rp10,000/anak dari semula Rp15.000. BPJS pun mengabarkan akan defisit Rp20 triliun pada 2024. PHK juga banyak terjadi," paparnya.

Lalu ada berita 72.000 kontainer tekstil Tiongkok diselundupkan dalam 5 tahun terakhir sehingga terdapat rugi pajak hingga puluhan triliun rupiah. Hal tersebut yang melumpuhkan sektor tekstil dalam negeri. 

Menurut dia, secara fiskal, belanja negara melejit tetapi pada saat sama penerimaan stagnan. Tax rasio berpotensi turun karena ada penyelundupan dan deindustrialisasi. Dampaknya, utang melejit sudah hampir mencapai Rp8.500 triliun. Sekitar 90%-nya ialah utang SBN. 

Itu belum termasuk utang BUMN Rp1.600 triliun. Biaya bunga pada 2025 yang akan dibayar mencapai Rp553 triliun, dua kali dari angka belanja modal. DSR (debt service ratio) pun mencapai 45% atau jauh di atas angka yang dianggap aman yakni 30%.

Di mana masalahnya? "Kebijakan ekonomi kita yang inkonsisten. Kebijakan fiskal amat populis jika terkait penerimaan pajak yang mirip penganut ekonomi liberal dengan pajak serendah mungkin. Namun ketika masuk wilayah spending, Indonesia seperti penganut sosialisme, ada bansos, apa-apa ditanggung pemerintah, ada bermacam subsidi, BLT. Hal-hal itu yang menyebabkan fiskal kita kesulitan dengan biaya bunga yang terus naik, cicilan pokok juga naik, sementara penerimaan negara naik relatif stagnan. DSR juga cenderung tinggi," ujar Wijayanto.

Belum lagi tax ratio rendah karena belum optimal, deindustrialisasi dan dominasi sektor informal, maraknya underground economy, GCG pajak yang rendah, insentif pajak berlebih untuk sektor tertentu. Jadi, kata dia, menaikkan tarif pajak saja tidak memadai untuk mewujudkan fiskal yang berkelanjutan. 

Wijayanto menyimpulkan kondisi fiskal Indonesia 2024 sangat menantang dan berpotensi berlanjut di 2025-2026. Pada saat yang sama daya beli masyarakat menurun. Pertumbuhan melambat dan dunia usaha mengalami kesulitan. Karena itu, kebijakan terkait PPN tidak boleh terlepas dari kebijakan fiskal dan kebijakan ekonomi lain.

"UMP 2025 naik 6,5%, jika diputuskan naik, pemerintah harus berkomitmen memprioritaskan penaikan penerimaan PPN sekitar Rp70 triliun-Rp80 triliun untuk program sosial kemasyarakatan (bansos/BLT, MBG, subsidi BPJS Kesehatan). Pemerintah juga harus memangkas belanja pemerintah, termasuk infrastruktur, alutsista, dan perjalan dinas. Terapkan pajak underground economy dan berantas penyelundupan. Berantas korupsi perpajakan, dan memberi sanksi keras kepada pengemplang pajak serta mengakhiri insentif pajak berlebih yang dinikmati oleh sektor dan kelompok tertentu," tuturnya.

Kabar buruk bagi milenial

Ketua Prodi Manajemen Universitas Paramadina Adrian A Wijanarko menyoroti kabar penaikan PPN 12% merupakan kabar buruk bagi gen Z dan milenial berkenaan tekanan yang sudah mereka rasakan, yakni tekanan internal untuk bisa mandiri secara ekonomi/finansial dan tekanan sosial lain. Tekanan eksternal berupa ketidakpastian ekonomi global dan persaingan kerja, tekanan sektor perbankan, dan kebijakan pemerintah. "Tekanan-tekanan di atas mau tidak mau akan berdampak pada kesiapan mental mereka dalam rangka menyambut era generasi emas Indonesia," ucap Adrian.

Harga barang dan jasa yang naik karena beban pajak meningkat juga akan menyebabkan gen Z dan milenial akan selektif dalam pengeluaran dan menekan seminimal mungkin pengeluaran. Kecenderungan ke depan gen z/milenial akan banyak menabung untuk biaya pendidikan, property, dan investasi. 

Di sisi lain, Kepala Pusat Makro Ekonomi dan Keuangan Indef M Rizal Taufikurahman menilai situasi ekonomi global yang penuh ketidakpastian ke depan merupakan tantangan perekonomian Indonesia. Soalnya, capaian pertumbuhan ekonomi pada 10-20 tahun terakhir tidak sesuai target. 

Pengaruh penaikan PPN 12% terhadap perekonomian nasional jelas akan menambah beban rakyat miskin, mengurangi daya saing ekspor karena kenaikan overhead dan harga produk, barang dan jasa domestik juga akan naik, terutama yang berkaitan dengan pajak penghasilan. Akibat lanjut, akan terjadi inflasi yang membuat daya beli semakin turun. 

Rizal juga memperkirakan penaikan PPN akan menurunkan PDB. Pengeluaran lebih banyak akan dialami oleh kelas menengah yang sudah terjepit. "PDB diperkirakan turun 0,17% karena konsumsi rumah tangga yang turun dan penyerapan jumlah tenaga kerja yang turun. Gaji karyawan/buruh juga akan turun karena overhead mengalami kenaikan akibat tingginya PPN 12% bagi HPP produk," urainya. (Z-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat