visitaaponce.com

Jangan Jadikan BRICS Bikin Indonesia Ketergantungan pada Tiongkok

Jangan Jadikan BRICS Bikin Indonesia Ketergantungan pada Tiongkok
Presiden Prabowo Subianto memberi hormat dari atas pesawat saat akan bertolak menuju Tiongkok di Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusama, Jakarta, Jumat (8/11/2024).(Antara)

INDONESIA resmi mengikuti jejak beberapa negara dari kawasan MENA (Middle East and North Africa) memperpanjang daftar anggota negara yang bergabung dengan blok ekonomi terbesar BRICS. Hal ini diumumkan secara resmi di Kementerian Luar Negeri Brasil, Sao Paulo sekaligus menjadi lanjutan rangkaian episode prosesi bergabungnya Indonesia ke aliansi tersebut.

Di dalam negeri, bergabungnya Indonesia dengan BRICS masih menimbulkan pro-kontra. Beberapa pengamat berpendapat aliansi ini akan menjadi penyeimbang G-7 yang beranggotakan Amerika Serikat (AS), Kanada, Inggris, Perancis, Jerman, Italia, dan Jepang. Sebagai anggota grup BRICS yang baru, Indonesia berpeluang untuk berpartisipasi dalam solidaritas negara Global South dalam mengurangi hegemoni Barat yang ada saat ini.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, kepesertaan Indonesia di BRICS bisa dinilai sebagai upaya memperkuat hubungan tidak hanya dengan Tiongkok, tetapi dengan Brasil dan Afrika Selatan maupun negara Timur Tengah.

“Pemerintah sebaiknya tidak melihat BRICS hanya agenda Tiongkok saja, tapi ada potensi besar dengan negara Brasil terkait ekonomi restoratif, hingga Afrika Selatan soal pengembangan transisi energi bersih. Jika terlalu pro-Tiongkok, maka keanggotaan Indonesia di BRICS sebenarnya sia-sia mereplikasi hubungan ekonomi dengan Tiongkok yang sudah terlalu dominan,” kata dia dikutip dari keterangan pers, Rabu (8/1).

Di sisi lain, aliansi BRICS tidak begitu memberikan keuntungan untuk Indonesia karena ekonomi Tiongkok diproyeksikan akan melambat terutama pascakembali terpilihnya Donald Trump yang memicu proteksionisme dagang.

Direktur China-Indonesia Desk Celios Muhammad Zulfikar Rakhmat menyatakan, ketidakpastian ekonomi global karena perang dagang antara Tiongkok dan AS saat Trump akan mengacak stabilitas ekonomi di beberapa negara, dan ini tentunya akan berimbas pada Indonesia. Ditambah lagi ancaman Trump pada negara anggota BRICS jika melakukan dedolarisasi.

“Reaksi Trump perlu untuk diwaspadai, karena dia merupakan salah satu pemimpin yang membuktikan ucapannya. Jika, AS memberlakukan tarif 100% pada negara anggota BRICS, tentu Indonesia akan terkena imbas dari kebijakan tersebut, tidak bisa dimungkiri ini juga akan menjadi tantangan bagi ekonomi Indonesia dalam jangka waktu pendek atau menengah,” kata dia.

“Hal ini juga akan menyebabkan penurunan tajam pada volume ekspor, terutama untuk produk-produk yang sangat bergantung pada pasar AS,” tambah Zulfikar.

Tidak hanya itu, kekhawatiran ketergantungan yang semakin kuat pada Tiongkok masih menghantui Indonesia. Menurut peneliti Celios Yeta Purnama, seharusnya Indonesia lebih gencar mendiverifikasi mitra secara bilateral untuk survive dari ketidakpastian ekonomi global di masa yang akan datang.

“Potensi kerja sama multilateral tentu akan menguntungkan tapi jika itu di circle yang sama, ketika ekonomi negara anggota yang mendominasi seperti Tiongkok melemah maka akan rentan berdampak pada stabilitas ekonomi di dalam negeri,” tutur Yeta.

Catatan penting untuk Indonesia, lanjutnya, bergabung dengan BRICS bisa dikatakan berisiko terutama jika terlalu fokus pada Tiongkok. Untuk menghindari risiko ini, Indonesia perlu memainkan peran dalam mendorong kolaborasi di sektor-sektor strategis seperti sektor investasi dan pembangunan infrastruktur yang menyasar kebutuhan negara-negara berkembang, dan mengarahkan investasi kepada proyek yang bisa memperkuat kemandirian ekonomi negara-negara anggota.

Selaras dengan hal tersebut, Indonesia perlu memainkan peran untuk mendorong kerja sama green invesment (investasi hijau) negara anggota dengan mengembangkan pasar modal yang ramah lingkungan.

“Jika berbicara Global South, sebetulnya urgensi utama yang tidak bisa diabaikan adalah dominasi investasi sektor ekstraktif. Jadi BRICS diharapkan juga menyoroti potensi kerja sama green investment untuk green growth dalam beberapa tahun mendatang,” pungkas Yeta. (Mir/P-3)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Irvan Sihombing

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat