visitaaponce.com

Kembalikan Muruah Mahkamah Konstitusi

Kembalikan Muruah Mahkamah Konstitusi
Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta.(Antara)

MASIH terkait dengan polemik hukum seperti di Pemilu 2024, ada satu hal yang perlu mendapatkan perhatian lebih yaitu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai syarat batas usia pencalonan. Namun kini, Pilkada Serentak 2024 menghadapi krisis yang membuat MK hampir kehilangan muruahnya kembali.

Hal ini terkait dengan keputusan MK yang memperbolehkan partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD untuk mengajukan calon kepala daerah. Sebagai pengingat, dalam Pemilu 2024, MK telah mengeluarkan putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang membahas syarat batas usia calon presiden dan wakil presiden.

Tanpa rasa malu, aturan tersebut telah disesuaikan oleh Ketua MK, Anwar Usman, demi membuka pintu bagi putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, untuk ikut serta dalam ajang pesta demokrasi. Hal serupa juga terjadi dalam Pilkada 2024, ketika dua judicial review yang diajukan MK telah menjadi sorotan publik.

Pertama, putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang menyatakan bahwa partai atau koalisi partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon kepala daerah, meskipun tidak memiliki kursi di DPRD. Kedua, putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang menguji Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Pilkada.

MK menetapkan bahwa syarat usia calon kepala daerah adalah 30 tahun pada saat penetapan calon. Sebelum putusan ini, Mahkamah Agung (MA) juga mengeluarkan putusan terkait Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 9 Tahun 2020, Pasal 4 ayat (1) huruf d, melalui Nomor 23 P/HUM/2024. MA menyatakan bahwa syarat usia calon kepala daerah dihitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih.

Namun, kehadiran putusan MK ini seolah menjadi petaka bagi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). DPR bahkan mengambil langkah untuk merevisi Undang-Undang Pilkada secara tergesa-gesa, padahal pada saatpPemilu, DPR tidak bertindak demikian. Tentu saja, motif tersembunyi di balik langkah ini patut dipertanyakan, terutama karena terlihat lebih memihak kepada kepentingan dinasti politik Presiden Jokowi.

Revisi Undang-Undang Pilkada dilakukan dengan sangat cepat, bahkan kurang dari sehari, yang mengindikasikan pengesahan revisi tersebut dimaksudkan agar tidak menghalangi pendaftaran calon di KPU. Hal ini terkait dengan kemungkinan Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Jokowi, yang baru akan mencapai usia 30 tahun pada 25 Desember 2024, untuk mendaftar sebagai calon kepala daerah.

Upaya revisi ini menunjukkan betapa tragisnya kondisi demokrasi kita. Pasalnya, MK yang telah memberikan dua amar putusan dengan Nomor 60 dan 70 bertujuan untuk menghidupkan kembali demokrasi di Indonesia, namun DPR justru berusaha membunuhnya dengan langkah-langkah yang melanggar semangat konstitusi.

Kawal Putusan MK hingga Tuntas

Namun, perjuangan untuk mengembalikan muruah MK belum selesai. Keputusan MK harus dihormati dan diterapkan oleh semua pihak, termasuk KPU. Jika putusan MK terus diabaikan, maka pilkada bisa menjadi inkonstitusional. Ini menjadi tantangan besar, karena meskipun amar putusan MK sudah keluar, implementasinya sering kali tidak langsung dijalankan dengan benar.

Putusan MK memiliki sifat yang mengikat tidak hanya bagi pihak yang mengajukan permohonan, tetapi juga untuk seluruh komponen bangsa, termasuk penyelenggara negara. Apabila terjadi sengketa dalam perhitungan akhir pilkada, MK memiliki kewenangan untuk menentukan dan keputusan tersebut tidak boleh diganggu gugat.

Peristiwa ini patut menjadi perhatian publik, bahwa hasil putusan MK harus dijadikan landasan dalam berbangsa dan bernegara. Sangat berbahaya jika ada pihak yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan MK dengan kepentingan politik pribadi, karena itu bisa merusak integritas lembaga dan konstitusi negara.

Konstitusi Indonesia lahir dari perjuangan kemerdekaan, yang memerlukan pengorbanan besar melawan penjajah. Tanpa MK sebagai penjaga konstitusi, maka akan sangat mudah bagi oknum-oknum yang hanya berpikir tentang kekuasaan untuk merusak dan menginjak-injaknya. Terlebih lagi jika hal tersebut dilakukan untuk melayani kepentingan politik satu keluarga. Jika putusan MK tidak dihormati, berarti kita merusak fondasi konstitusional negara ini.

Menjaga Konstitusi

Judicial review sangat penting untuk memastikan bahwa hukum tidak bertentangan dengan konstitusi. Hukum adalah produk politik, dan seperti politik pada umumnya, selalu ada keberpihakan. Oleh karena itu, hasil judicial review harus dihormati, baik di saat kontestasi politik maupun di luar itu.

Sebagai contoh, ketika Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK, Presiden malah memilih untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022, bukannya menindaklanjuti perintah dari putusan MK tersebut.

Pada saat yang sama, ketika terjadi pelanggaran dan penyelewengan konstitusi dalam bentuk apapun, muruah MK harus dijaga dan dipulihkan ke bentuk idealnya. Tidak ada tempat bagi permintaan maaf bagi mereka yang berani menyelewengkan konstitusi.

Dalam Pilkada 2024, upaya-upaya untuk melemahkan muruah MK patut diwaspadai. Sungguh miris jika kontestasi politik yang seharusnya menjadi perayaan demokrasi justru diwarnai oleh upaya merusak lembaga penjaga konstitusi. Masyarakat harus sadar bahwa siapa pun yang merusak konstitusi, harus dilawan. 

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Cahya Mulyana

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat