visitaaponce.com

Karut-marut SKP Pascadiambil Alih Kementerian Kesehatan

Karut-marut SKP Pascadiambil Alih Kementerian Kesehatan
Ilustrasi(Antara)

Pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Iqbal Mochtar mengatakan para dokter di Indonesia sedang menderita double-burden syndrome. Energi mereka sehari-hari mereka kini terkuras bukan hanya untuk mengurus pasien tetapi juga mengejar Satuan Kredit Profesi (SKP).

“Ini semacam ukuran poin sekaligus bukti bahwa mereka tetap ikut pendidikan berkelanjutan guna memperbaharui ilmu mereka. Jadi setiap menghadiri seminar ilmiah atau pelatihan mereka akan dapat beberapa poin SKP. Itu penjelasan sederhananya,” ujar Iqbal melalui keterangan resmi, Kamis (25/7).

Ia mengatakan beberapa tahun lalu, yang menyelenggarakan pendidikan berkelanjutan dengan SKP adalah organisasi profesi, yaitu IDI. Namun Kementerian Kesehatan secara tiba-tiba mengambil alih peran tersebut.

Baca juga : Kemenkes Dinilai belum Siap Implementasi SKP

“Lewat UU 17/2023, mereka mengambil semua urusan SKP. Mereka kini yang membuat aturan-aturan SKP, termasuk mewajibkan dokter memperoleh 50 SKP per tahun atau 250 SKP per lima tahun. Kalau tidak tercapai, dokter tidak bisa praktik,” ujar Iqbal.

Kemenkes juga punya wewenang menyetujui lembaga yang dapat menyelenggarakan pendidikan berkelanjutan. Tidak semua lembaga bisa melakukannya. Selain itu, Kemenkes pula yang berwenang menyatakan apakah SKP yang diajukan dokter dapat diterima atau tidak.

“Artinya, Kemenkes melakoni peran double sebagai regulator dan eksekutor. Kasarnya, Kemenkes adalah superbody SKP,” tuturnya.

Baca juga : RUU Kesehatan, IDI Bantah Ada Monopoli Izin Praktik Dokter

“Jumlah 50 SKP per tahun ini menimbulkan tanda tanya. Angkanya diambil dari mana? Tampaknya dicomot dari negara luar tanpa mempertimbangkan beban kerja dokter Indonesia. Ini jelas tidak tepat. Target SKP tiap profesi mestinya didasarkan oleh parameter beban kerja profesi. Karena Kemenkes tidak punya data ini, mereka langsung saja comot contoh dari negara lain,” sambung Iqbal.

Padahal menurutnya angka ini terlalu tinggi untuk dokter yang melayani pasien banyak. Baru-baru ini seorang dokter bedah tulang kena serangan jantung dan meninggal. Terjadi setelah melakukan 10 operasi dan memeriksa puluhan pasien.

“Sang dokter sangat overload. Itu tipikal kerja dokter. Jadi ketika mereka dipaksa mengumpulkan banyak SKP, siap-siap saja waktu pelayanan pasien mereka akan berkurang,” tegasnya.

Baca juga : RUU Kesehatan Mudahkan Dokter Ambil Pendidikan Spesialis, Benarkah Demikian?

Iqbal menekankan bahwa Kemenkes berbangga diri dapat mengambil peran IDI. Sayangnya, dalam perjalanannya, program SKP ini justru menjadi semrawut. Bahkan karut marut.

Sebelum ada aturan ini, menurut Iqbal setiap bidang spesialisasi yang membuat topik. Jadi dokter-dokter terfokus pada bidang masing-masing. Saat ini malahan satu kegiatan bisa diikuti siapa saja. Tidak ada filter. Banyak pula pembicara yang tidak memiliki latar belakang relevan dengan topik yang dipresentasekan.

“Kenapa bisa terjadi? Karena tidak ada quality control. Kemenkes kelabakan dengan keharusan menyediakan banyak kegiatan ilmiah. Kalau tidak, nanti SKP dokter tidak tercapai dan mereka tidak bisa praktik. Kalau demikian, pelayanan berhenti dan Kemenkes akan jadi bulan-bulanan. Makanya kegiatan pendidikan diperbanyak walau tidak jelas target audience dan learning objective-nya,” jelasnya.

Baca juga : Menkes Minta Perbedaan Pendapat RUU Kesehatan Diselesaikan dengan Beradab

Belum lagi masalah biaya. Dulu, salah satu alasan Kemenkes mengambil alih SKP karena IDI dianggap menyelenggarakan SKP berbayar. Menkes mengatakan bahwa SKP harusnya gratis. Faktanya saat ini, untuk ikut kegiatan SKP yang relevan, dokter mesti membayar mahal.

Bahkan kadang sampai jutaan untuk beberapa SKP saja. Bisa dibayangkan berapa pengeluaran untuk 250 SKP per lima tahun. Beban finansial dokter bertambah berat, terutama bagi dokter yang praktiknya masih dalam tahap pengembangan.

Masalah lain adalah ketidaklayakan antara durasi kegiatan dan jumlah SKP yang diberikan. Banyak kegiatan pendidikan yang durasinya lebih 5-6 jam tapi hanya diberi 1-2 SKP. Ini melenceng dari standar seharusnya, di mana 1 jam kegiatan mestinya setara 1 SKP. Ketidaklayakan ini menambah frustrasi bagi dokter. Mereka sudah habiskan waktu berjam-jam ikut kegiatan tetapi disawer dengan beberapa poin SKP saja.

Proses pengunggahan bukti SKP ke sistem online juga dikatakan sangat mengecewakan. Banyak dokter mengeluh kesulitan mengunggah dokumen akibat sistem yang tidak adekuat. Banyak yang sudah unggah tapi tak terkonfirmasi. Sebagian tidak bisa mengunduh sama sekali. Sangat banyak kendala teknis.

“Makanya dalam group whatsaspp SKP yang jumlah pesertanya lebih 1.000 orang, setiap hari dipenuhi narasi keluhan, kekesalan dan kemarahan terhadap sistem SKP yang dijalankan Kemenkes, yang membuat hidup mereka lebih runyam. Waktu mereka terkuras mengurus SKP. Bagi mereka, mengurus SKP sebelumnya jauh lebih mudah dan praktis. Reaksi banyak dokter ini adalah sinyal tentang tidak beresnya pengelolaan SKP,” jelas Iqbal.

Di negara-negara maju, sistem SKP dikatakan jauh lebih fleksibel dan adaptif. Perolehan SKP tidak hanya lewat kegiatan formal semacam seminar atau workshop. Bisa diperoleh dengan pembelajaran mandiri, seperti membaca jurnal, majalah kesehatan, mendengarkan podcast atau bahkan mengikuti diskusi informal. (Z-11)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Andhika

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat