visitaaponce.com

Alarm Darurat Kasus KDRT

Alarm Darurat Kasus KDRT
Karya seniman di Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan(Antara)

KOMISI Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memandang berbagai kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang terungkap dan banyak dilaporkan akhir-akhir ini menjadi alarm bagi pemerintah untuk responsif dan berpihak kepada korban.

Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani mengungkapkan bahwa kehadiran UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) telah memicu para perempuan korban untuk berani melaporkan kasusnya, sehingga tidak lagi menjadi momok. Meski ada sederet pertimbangan dari korban namun regulasi membuat korban lebih berani.

“Sebetulnya saat ini kita sedang memanen hasil dari proses selama 20 tahun sosialisasi UU PKDRT. Semakin banyak korban yang berani melaporkan kasusnya, padahal (dulu) mereka sembunyikan bertahun-tahun. Juga semakin banyak warga masyarakat yang peduli pada peristiwa tersebut, bukan sekedar menjadi pergunjingan,” ujarnya kepada Media Indonesia di Jakarta pada Jum’at (6/9).

Baca juga : 19 Tahun UU PKDRT, Ribuan Kasus Kekerasan Rumah Tangga masih Terjadi

Menurut Andy, meski stigma sosial dan budaya patriarki masih menjadi tantangan dalam mengendalikan KDRT di Indonesia, namun regulasi PKDRT yang telah ada dan diperkuat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), dapat menjadi sebuah jaminan dalam penanganan kasus-kasus yang dihadapi para korban.

“Bagaimanapun keberadaan regulasi perlu dilihat sebagai cara untuk membangun kepercayaan korban dan memutus impunitas, namun memang ada beberapa aspek yang perlu diperbaiki,” ujarnya.

Andy menuturkan bahwa percepatan yang berkaitan dengan bimbingan dan pendidikan berumah tangga khususnya sebelum menikah, sangat dibutuhkan untuk menghadapi krisis relasi jika terjadi perselisihan diantara anggota keluarga, khususnya saat terjadi guncangan ekonomi sebagai salah satu penyebab KDRT tertinggi.

Baca juga : Lingkungan dan Peradilan Jadi Faktor Utama Lemahnya Penanganan KDRT di Indonesia

“Untuk memperkuat relasi setara antara suami-istri dan berbagai anggota di dalam sebuah keluarga agar saling menghargai diperlukan percepatan dalam hal mendidik soal relasi yang setara sebagai suami dan istri, perlu ada pendampingan bagi keluarga yang sudah menghadapi krisis relasi dalam bentuk perselisihan terus-menerus,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Andy menjelaskan perlu adanya peningkatan kualitas Aparat Penegak Hukum (APH) khususnya aparat keamanan dalam merespons kasus-kasus kekerasan. Menurutnya, selain para pengada layanan, pihak kepolisian menjadi salah satu gerbang utama dalam penanganan kasus-kasus KDRT.

“Selain penganiayaan, perlu respon cepat jika ada yang melapor termasuk dengan kebutuhan perlindungan, juga penguatan pendampingan untuk pemulihan, termasuk untuk memutus ketergantungan dengan pasangan yang sifatnya bisa jadi bukan saja ekonomi, tetapi sosial dan juga psikologis,” imbuhnya.

Baca juga : Psikolog: Media Sosial dan Viralitas Bisa Bantu Korban KDRT Lebih Terbuka

Data Komnas Perempuan mencatat dari 515.466 kasus KDRT yang tercatat selama 20 tahun terakhir. Sebanyak 94 persen diantaranya adalah kekerasan terhadap istri, yang notabene adalah perempuan. Sementara itu, data Simfoni PPPA mencatat KDRT menempati urutan pertama kasus yang paling banyak yang dilaporkan, yakni 1.400 kasus pada 2023, dengan korban paling banyak perempuan dan anak, dan 73 persen perempuan korban kekerasan terjadi di ranah rumah tangga

Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Woro Sri Hastuti Sulistyaningrum menyampaikan pihaknya akan mewajibkan bimbingan perkawinan bagi calon pasangan suami-istri sebelum mendaftar pernikahan guna mencegah KDRT.

“Ayah dan ibu punya peran setara dalam hal memberikan pengasuhan dan seterusnya, jadi urgensinya untuk mencegah KDRT. Untuk itu tujuan bimbingan perkawinan ini salah satunya untuk memberikan pembekalan dan membina keluarga agar jangan sampai ada kekerasan, dan dalam membina keluarga juga ada kesetaraan gender,” katanya.

Selain itu, Woro menjelaskan calon pengantin sebelum menikah harus memiliki beberapa kesiapan dalam membentuk keluarga misalnya usia perempuan harus 21 tahun dan laki-laki 25 tahun; kesiapan emosi, sosial, moral, interpersonal, finansial, mental, fisik, keterampilan hidup, dan intelektual.

“Melalui bimbingan perkawinan, pemerintah akan memastikan individu-individu di dalam keluarga berkualitas, baik itu anak, ibu, maupun ayahnya, serta memastikan calon pengantin mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi berupa pemeriksaan kesehatan dan pemberian konseling,” jelasnya. (Z-8)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putra Ananda

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat