visitaaponce.com

Jembatan Seni dan Budaya Indonesia dengan Negara Pasifik

Jembatan Seni dan Budaya Indonesia dengan Negara Pasifik
Pelaku budaya yang terdiri dari 15 seniman musik dan 10 seniman tari dari Indonesia, Papua Nugini, Vanuatu, Kepulauan Solomon, Kaledonia Baru, Kiribati, Nauru, dan Tuvalu mengikuti kegiatan sesi tubuh kolektif bersama kurator dari Pekan Kebudayaan Nasional(MI/Ferdian Ananda Majni)

KEMENTERIAN Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) berkolaborasi dengan Kementerian Luar Negeri dan KBRI Suva melalui program Harmony in the Pacific. Mereka berkomitmen memperkuat hubungan antara Indonesia dan negara-negara di kawasan Pasifik melalui culture and shared heritage atau pendekatan kebudayaan dan warisan bersama.

Program ini merupakan bagian dari visi Pacific Elevation yang bertujuan meningkatkan kerja sama antara Indonesia Timur dengan negara-negara di Pasifik. Program ini melibatkan residensi pelaku budaya yang terdiri dari 15 seniman musik atau bunyi dan 10 seniman tari atau gerak dari Indonesia, Papua Nugini, Vanuatu, Kepulauan Solomon, Kaledonia Baru, Kiribati, Nauru, dan Tuvalu.

Para peserta telah melalui proses kurasi oleh kurator yang mumpuni dibidangnya yaitu Nyak Ina Raseuki dan Josh Marcy yang juga merupakan kurator dari Pekan Kebudayaan Nasional. Seniman Tari asal Jakarta, Josh Marcy mengatakan pihaknya telah memulai residensi laku dalam ruang untuk acara Harmony in Pacific.

Baca juga : Indonesia dan Inggris Lakukan Kolaborasi Seni Budaya

"Saya membagikan satu metode, satu pendekatan tentang tubuh kolektif atau bagaimana tubuh itu digerakkan dalam kebersamaan, secara kolaboratif, dalam negosiasinya antara individu dan bersama di dalam grup," kata Josh di Maumere Kamis (12/9). Menurutnya, tubuh kolektif dimaknai sebagai kolektivitas atau bagaimana kerja-kerja kolektif yang dibayangkan selalu pijakannya ialah keberagaman. Padahal keberagaman ini bukan untuk disatukan kemudian menghilangkan karakter individu masing-masing.

"Justru percakapan antarindividu yang berbasis penerimaan dan membuka peluang-peluang untuk berdialog, untuk menjalin keterhubungan yang punya makna, yang punya meaning, source-nya dari empati, dari negosiasi, dari berbagi ruang satu sama lain, berbagi pengetahuan, berbagi pengalaman," sebutnya. Oleh karenanya, tubuh kolektif berbicara dalam praktik harus digerakan melalui tari, melalui pengetahuan dan pengalaman sebagai seniman tari.

"Jadi tidak ada satu sutradara tunggal di dalam tubuh kolektif, minimum itu di praktik kemudian siapa yang mengambil peranan sebagai pemimpin, siapa yang kemudian mengikuti, ini juga peranan yang cair kemudian selalu berganti-ganti peranannya, saling membuat perlindungan satu sama lain, saling peduli satu sama lain," paparnya.

Baca juga : Ekonomi Kreatif Harus Bisa Dipahami Masyarakat 

Dia menambahkan bahwa praktik-praktik yang dilakukan sebenarnya merefleksikan rumusan dalam residensi ini.
"Residensi ini pijakannya itu keberagaman, bahkan ketika kita mengatasnamakan Melanesia itu kan bukan kelompok tunggal. Kita mengatasnamakan Pasifik itu pun juga bukan kelompok yang tunggal dan kita mengatasnamakan Indonesia pun ksadar bahwa kita bukan kelompok yang tunggal," lanjutnya.

Para seniman akan terhubung dengan lingkungan secara spesifik dengan mendatangi hutan mangrove Magepanda di Desa Reroroja, Kecamatan Magepanda, Kabupaten Sikka, NTT. "Ini tujuannya sebenarnya untuk kawan-kawan seniman juga melakukan riset mandirinya mereka, untuk membaur dengan hutan mangrove dalam konteks Maumere," ujarnya.

Dia berharap residensi ini juga melihat hubungan antara alam dan manusia. Ini karena sifatnya tidak selalu industrial tetapi juga hadir selalu berdampingan dan saling membutuhkan satu sama lain. "Jadi inginnya, tidak hanya berinteraksi dengan hutan mangrove tetapi juga dengan masyarakat yang hidup di sekitar hutan mangrove tersebut," tegasnya.

Baca juga : Residensi Pemajuan Budaya 2024 Perkuat Kolaborasi dan Diplomasi Budaya

Elisabeth Rumbiak, pelaku seni dari Komunitas Anker Big Familly, Jayapura, mengatakan mengapresiasi rangkaian kegiatan riset dan berbagi pengalaman kebudayaan dan tradisi masing-masing residensi. "Jadi kita berbagi pengalaman, terkait kebudayaan dan tradisi yang kita miliki, kita sambung-sambungkan. Kita melihat kesamaan-kesamaan tradisi dari masing masing kita. Selama proses ini berjalan, saya akan melihat kesamaan yang kita punya tersebut," ujarnya.

Di luar dugaan, Elisabeth mengaku ada kesamaan tradisi antara masyarakat Papua dan masyarakat Kepulauan Solomon dalam hal hantaran mas kawin. Di Maumere, hal itu disebut belis atau ararem di Papua. "Jadi beberapa properti yang kita bawa itu untuk membayar mas kawin, seperti kalung dari Kepulauan Solomon dan gelang kaki yang saya pakai. Ini kesamaan properti dalam hantaran mas kawin di masing-masing daerah," ujarnya.

Jeffery Junior Maesala dari Kepulauan Solomon menyebut program residensi ini sangat keberagaman, berbagi pengalaman dari setiap peserta dari sisi kultur budaya masing-masing. "Ini kesempatan saya untuk mempelajari budaya-budaya lain sekaligus membangun jaringan saya dengan negara lain," ujarnya.

Baca juga : Pameran ‘Rempah dan Kita’, Upaya Perkenalkan Keragaman Serta Fungsi Rempah Nusantara 

Dia menilai ada banyak kemiripan antarbudaya yang ditemukan setelah mengikuti sesi berbagi pengalaman. Misalnya, ada beberapa gerakan tari dari daerah asalnya yang mirip dengan gerakan tari dari Papua. "Begitu juga saya datang ke Maumere seperti rumah buat saya. Orang-orangnya ramah, kultur yang mereka praktikkan juga berhubungan dengan kultur saya," terangnya.

Residensi ini diselenggarakan dalam dua tahap. Tahap pertama berlangsung di Labuan Bajo dan Maumere pada 9 sampai dengan 17 September 2024. Para peserta akan berkolaborasi dengan komunitas seni lokal seperti Videoge Arts dan Society serta Komunitas KAHE. 

Tahap kedua akan berlanjut di Suva, Fiji, dari 18 hingga 28 September 2024, dengan dukungan dari Fiji Arts Council. Hasil kolaborasi ini akan ditampilkan dalam dua showcase, salah satunya di acara resepsi diplomatik oleh KBRI Suva pada 27 September 2024.

Dirjen Kebudayaan Kemendikbud-Ristek Hilmar Farid menyampaikan kebudayaan ialah jembatan yang menghubungkan manusia dan bangsa. Melalui Harmony in the Pacific, pihaknya tidak hanya memperkenalkan kebudayaan Indonesia, tetapi juga belajar dan berkolaborasi dengan negara-negara tetangga kita di Pasifik. "Inisiatif ini memperkuat kesalingpahaman dan mendorong lahirnya karya-karya baru yang mencerminkan nilai-nilai dan warisan budaya bersama," ujarnya.

Selain residensi, rangkaian kegiatan Harmony in the Pacific juga mencakup Diskusi Warisan Gastronomi dan Demo Memasak pada 25 September 2024 di The University of South Pacific, Suva, Fiji. Diskusi ini akan melibatkan Helianti Hilman dan Chef Charles Toto, serta tokoh gastronomi dari Fiji, untuk menunjukkan kekayaan warisan kuliner yang dimiliki bersama oleh Indonesia dan negara-negara Pasifik. Dalam program ini juga akan dilakukan pemutaran dan diskusi film karya sineas Indonesia.

Pemerintah Indonesia berharap program Harmony in the Pacific dapat menjadi jembatan penting dalam memperkuat kesalingpahaman budaya dan membangun kolaborasi berkelanjutan antara Indonesia dan negara-negara Pasifik. "Melalui pertukaran seni, budaya, dan pengetahuan, kita dapat bersama-sama menjaga dan mengembangkan warisan budaya serta memperkuat kerja sama antar negara," pungkas Hilmar. (Z-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat