visitaaponce.com

IESR Pertumbuhan Energi Surya di Indonesia Tergolong Lambat

IESR: Pertumbuhan Energi Surya di Indonesia Tergolong Lambat
Nelayan memasang panel surya di atas kapalnya sebelum melaut di Pelabuhan Perikanan Ternate, Maluku Utara, Senin (30/9/2024).(ANTARA/ANDRI SAPUTRA)

INSTITUTE for Essential Services Reform (IESR), lembaga pemikir (think tank) merilis laporan Indonesia Solar Energy Outlook (ISEO) 2025. Laporan tersebut menemukan bahwa pertumbuhan energi surya di Indonesia tergolong lambat dibandingkan dengan target di Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN.

Total kapasitas energi surya yang terpasang saat ini sebesar 718 MW hingga Agustus 2024.

Namun, IESR menilai peluang peningkatan kapasitas terpasang dan investasi energi surya terbuka lebar dengan adanya rencana pengembangan energi surya dengan total 17 GW oleh pemerintah dan PLN. 

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menjelaskan, Indonesia perlu mencapai 77 GW kapasitas PLTS hingga 2030  atau 9-15 GW per tahunnya antara 2024-2030. Hal itu agar sejalan dengan target peningkatan kapasitas energi terbarukan global hingga tiga kali lipat (global tripling renewable capacity) di 2030 untuk menjaga kenaikan suhu bumi 1,5 derajat Celcius, berdasarkan  Persetujuan Paris.

Ia menyoroti sejak 2022, penambahan kapasitas energi surya tergolong lambat dan didominasi oleh PLTS skala utilitas (208 MW), diikuti oleh PLTS atap (143 MW), dan PLTS pada lokasi captive (100 MW).  Fabby mendorong pemerintah untuk meningkatkan target energi terbarukan di 2025 dan 2030 dengan menjadikan energi surya sebagai tulang punggung transisi energi dan mendukung investasi PLTS berbagai skala lebih cepat.

Peningkatan target bauran energi terbarukan yang ambisius perlu pula disinergikan dengan komitmen penurunan emisi yang lebih ambisius dalam Second Nationally Determined Contribution (SNDC/NDC Kedua).

“Pemerintah diharapkan lebih ambisius menambah kapasitas energi surya hingga 2030. Rencana penambahan kapasitas energi surya saat ini masih jauh dari yang seharusnya dibangun Indonesia untuk selaras dengan target Persetujuan Paris," katanya dalam keterangan resmi, Selasa (15/10).

Fabby mengatakan bahwa memang benar PLTS memiliki tantangan intermitensi. Namun menjadikannya sebagai alasan untuk membatasi pembangunan PLTS itu tidak tepat.

"Ada banyak negara yang penetrasi PLTS di atas sepuluh persen dari kapasitas total daya, tapi tidak mengalami gangguan keandalan pasokan listrik, apalagi pemadaman. Intermitensi dapat diatasi dengan integrasi penyimpanan energi (energy storage) di sistem kelistrikan,” kata Fabby.
 
Penulis ISEO 2025 dan Analis Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan IESR Alvin Putra Sisdwinugraha mengungkapkan tren investasi energi surya di Indonesia terpantau meningkat dua kali lipat, dari US$68 juta pada 2021 menjadi US$134 juta pada 2023. Alvin menilai kestabilan regulasi dan ketersediaan pasar PLTS di Indonesia akan menjadi faktor penentu dalam menarik investasi energi surya.

Menurutnya, rencana proyek energi surya hampir 17 GW dapat menjadi landasan untuk membangun strategi dan investasi sektor ini.

“Kebijakan kuota untuk PLTS atap dan pelonggaran syarat Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dapat memberikan dorongan signifikan dalam mendongkrak permintaan domestik. Namun, perlu sinyal kuat dari pemerintah berupa insentif dan proyek-proyek yang jelas," katanya.

"Tahun 2025 akan menjadi tahun kunci dalam mengevaluasi efektivitas regulasi energi surya yang ada, serta memastikan infrastruktur yang memadai untuk mendukung penetrasi energi surya dalam skala besar,” pungkasnya. (H-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indrastuti

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat