visitaaponce.com

Deteksi Dini Gempa dan Tsunami di Indonesia Perlu Dioptimalkan

Deteksi Dini Gempa dan Tsunami di Indonesia Perlu Dioptimalkan
Seorang wartawan melihat perkembangan kondisi gempa secara real time pada alat deteksi dini di kantor BPBD Kabupaten Cianjur,(MI/BENNY BASTIANDY)

SETELAH 20 tahun terjadi gempa bumi dan tsunami di Aceh sistem deteksi dini gempa bumi dan tsunami di Indonesia terus berkembang. Namun itu saja belum cukup, alat termutakhir diperlukan agar masyarakat merasa aman dari ancaman bencana alam.

Peneliti Geologi dan Kebencanaan BRIN Danny Hilman mengatakan kemajuan deteksi dini gempa lumayan pesat. Saat ini warning system yang dipakai memakai sistemnya BMKG yang sensornya hanya seismometer yang merekam proses gempa terjadi. 

Jika getaran magnitudo lebih dari 6,5 SR yang terjadi di laut maka itu yang jadi dasar untuk untuk peringatan tsunami.

"Memang sudah ada kemajuan tapi sebetulnya masih bisa ditingkatkan lebih baik lagi. Kalau dibandingkan dengan negara maju macam Jepang atau Amerika Serikat tentu mereka lebih maju," kata Danny saat dihubungi, Kamis (26/12).

Ia menjelaskan perkembangan yang baik sampai saat ini adalah seismik dan prosesing bila dibandingka dengan tahun 2004. Sebelum tsunami Aceh, Indonesia masih belum punya jaringan seismik yang bagus dan masih sedikit, namun kini sudah cukup banyak.

Kemudian kini pengolahan data juga sudah modern dan tidak kalah dengan negara lain. Tapi selain jaringan seismik ada juga jaringan Global Positioning System (GPS) sebetulnya sudah terpasang sejak 2007 dan pada  2010 sudah terpasang di seluruh Indonesia.

"Bahkan saya sendiri memasang jaringan GPS di Sumatera sudah sejak tahun 2002 dan waktu kejadian Aceh sudah cukup banyak jaringan GPS yang dipasang di Sumatera. Sebetulnya jaringan GPS juga bisa diperbantukan untuk tsunami warning system. Jadi tidak hanya sensor untuk bencana gempa tapi sensor jika ada gerak tiba-tiba yang besar bisa direkam oleh GPS dan itu belum dipakai oleh BMKG padahal sudah terpasang," ungkapnya.

Jika digunakan maka tinggal menyambungkan ke sistem yang ada dan tentunya juga butuh ahlinya untuk merancang software sehingga itu bisa terintegrasi.

Kemudian untuk deteksi tsunami yang harus dimiliki pemerintah adalah sensor kenaikan air atau penurunan muka air laut seperti tide gauge yang sudah dipasang namun belum masuk ke sistem. Meski pun perlu ada perombakan sehingga bisa menjadi tsunami early warning system.

Kemudian ada juga sistem deteksi perubahan air yaitu Inexpensive Device for Sea Level Measurement (IDSL) dari BRIN yang alatnya sudah terpasang dan ampuh untuk deteksi tsunami secara langsung.

Di sisi lain, Danny juga setuju pemerintah sudah menghentikan proyek alat deteksi tsunami di laut bernama Buoy karena kurang berguna dan sudah terbukti beberapa alat Buoy yang dipasang bukannya berguna malah hilang dicuri atau dirusak orang. Padahal itu mahal sekali puluhan miliar dan operasinya itu susah.

"Sebetulnya Buoy bisa digantikan oleh IDSL yang lebih murah, masang juga gampang, kalau rusak juga gampang diganti, terus ada kameranya segala macam," ujar dia.

Sementara itu, ia juga menyoroti edukasi gempabumi dan tsunami sudah lama dan memberikan perkembangan bukan hanya di pesisir tapi juga mencapai semuanya, termasuk juga pemerintah dan pemerintah daerah harus lebih ngerti dari masyarakat.

Masyarakat pesisir tentunya lebih baik jadi tidak hanya paham, tapi dia juga punya kemampuan jika terjadi gempa atau tsunami untuk melindungi diri dan melakukan evakuasi diri. 

"Kemana evakuasinya gitu tapi saya lihat kegiatan untuk itu pun sekarang sudah kendur nggak seperti dulu lagi. Kalau misalnya kita dengar isu megathurst di Selat Sunda membuat masyarakat banyak yang panik menjadi salah satu tanda bahwa masyarakat belum paham," tuturnya.

Terpisah, Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Rahmat Triyono mengatakan sistem deteksi dan peringatan dini jauh lebh baik dibandingkan pada 2024. Ia menceritakan pada tsunami Aceh 2004 BMKG tidak memiliki sistem peringatan dini seperti saat ini karena tidak adanya informasi alarm bahwa gempa sedang terjadi. Meski data sudah masuk secara real time tapi proses selanjutnya harus dilakukan secara manual.

"Jadi kita tidak bisa mengetahui kejadian seperti saat ini juga. Saat terjadi gempa saat itu juga kita bisa melihat waveform dan perubahan magnitudo. Sensor pada tsunami 2004 pada saat itu juga sebarannya kurang," tuturnya.

Ia mengakui pada gempabumi 2004 di Aceh sangat minimnya sensor dan kurangnya prosesing gempabumi yang tidak memungkinkan menganalisa gempa Aceh dengan baik dan akurat. Bahkan pada saat itu tidak ada peringatan dini.

"Tapi pembelajaran itu membuat pemerintah membangun sistem peringatan dini," ucapnya.

Pascabencana tsunami yang terjadi di Aceh pada 2004 sistem peringatan dini tsunami Indonesia terus dikembangkan. Rentetan gempa bumi yang terjadi di Nias pada 2005 dan gempa yang mengguncang Yogyakarta pada 2006 membuat pemerintah pada saat itu mengembangkan sistem peringatan dini dan dipasang di seluruh daerah.

"Saat ini sistem peringatan dini tsunami di Indonesia sudah mampu memberikan peringatan dini beberapa kali kejadian gempa yang berpotensi tsunami Sangat berbeda karena pada 2004 Indonesia tidak memiliki sistem peringatan dini tsunami dan kini sistemnya baik kaena mampu memberikan warning atau peringatan seperti kejadian tsunami di Palu sistem peringatan dini sudah ada," pungkasnya. (H-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indrastuti

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat