Membaca Ulang Prospek Ekonomi Indonesia
SECARA umum, dapat dikatakan bahwa prospek pemulihan ekonomi global sudah berada di jalur yang benar, ditandai dengan perkiraan pertumbuhan sebesar 3,2% meskipun pemulihan ekonomi Tiongkok yang lamban tetap menjadi gangguan.
Volume perdagangan global terpantau membaik pada paruh pertama tahun ini meskipun dibayangi masalah geopolitik di kawasan Timur Tengah. Negara-negara Asia (kecuali Tiongkok) dan Amerika Serikat (AS) mampu menjadi pendorong utama pertumbuhan, meninggalkan kawasan Eropa yang agak tertinggal.
Aktivitas perdagangan global sempat terkendala oleh risiko geopolitik, tetapi kini muncul kelegaan ketika pelayaran di Terusan Panama yang sempat mengalami kekeringan ekstrem sudah kembali beroperasi normal mulai Juli lalu.
Baca juga : Siap-Siap, Lesunya Industri Manufaktur bakal Terus Berlanjut
Terlepas dari adanya kesulitan geopolitik, total volume perdagangan barang global, termasuk minyak dan gas, meningkat tipis sebesar 0,1% secara tahunan (year on year/YoY) antara Januari dan Mei lalu. Perbaikan volume perdagangan global diperkirakan berlanjut di sisa tahun ini dan tahun depan.
Perekonomian negara maju
Baca juga : Aspek Indonesia: Marak PHK, Daya Beli Bisa Anjlok
Secara umum, ekonomi AS telah terbukti sangat tangguh dengan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) pada kuartal pertama dan kedua tumbuh positif, masing-masing sebesar 1,4% dan 2,8%. Namun, ekonomi AS menghadapi lebih banyak tantangan pada semester kedua tahun ini dengan pertumbuhan belanja konsumen diperkirakan mendingin menjelang pemilihan presiden pada 5 November nanti.
Sementara itu, di kawasan Eropa, perekonomian pada kuartal pertama mampu tumbuh positif sebesar 0,3% yang berarti menjauh dari tubir resesi. Momentum pemulihan ekonomi Eropa masih akan berlanjut pada paruh kedua tahun ini seiring dengan perbaikan sektor manufaktur.
Kawasan itu diperkirakan mampu tumbuh 0,9% pada tahun ini seiring dengan membaiknya ekonomi Spanyol, Italia, dan Prancis, sementara Jerman masih terengah-engah untuk bangkit kembali. Khusus untuk ekonomi Inggris (negara ini tidak termasuk anggota Uni Eropa), diperkirakan juga akan melanjutkan pemulihan dan tumbuh berkisar 0,7% pada tahun ini.
Baca juga : PMI Manufaktur Kontraksi Akibat Kegagalan Koordinasi Antarkementerian
Dengan angka pengangguran yang rendah dan inflasi yang lebih jinak, ekonomi Eropa tidak diragukan lagi berada dalam situasi yang lebih baik daripada tahun-tahun pada masa pandemi covid-19.
Kecuali AS, pemulihan ekonomi Eropa dipacu oleh pelonggaran kebijakan moneter seiring dengan melandainya inflasi secara signifikan. Baik bank sentral Inggris maupun bank sentral Eropa telah sama-sama menurunkan suku bunga acuan, mendahului wacana penurunan suku bunga acuan oleh The Fed yang diperkirakan terjadi pada pertemuan September nanti.
Sejauh ini The Fed masih menahan diri untuk melonggarkan kebijakan moneternya lantaran inflasi masih naik-turun di atas target yang 2%. Namun, dengan kenaikan angka pengangguran di level 4,1% (dari sebelumnya 3,4%) lantaran rendahnya serapan tenaga kerja baru serta aktivitas manufaktur yang melemah (angka purchasing manager index di bawah 50), diyakini akan mendorong The Fed segera mengawali penurunan suku bunga pada September nanti.
Baca juga : Angka PHK Jakarta Tertinggi di Indonesia, Ini Solusi Disnaker Pemprov DKI
Perekonomian Asia
Tiongkok menjadi salah satu referensi perekonomian Asia. Pada Juli lalu, PMI manufaktur di negara itu melambat ke 49,4 dari 49,5 pada Juni, menandai bulan ketiga berturut-turut PMI berada di bawah 50--ambang batas antara fase ekspansi dan fase kontraksi.
PMI nonmanufaktur juga melambat pada Juli, turun dari 50,5 menjadi 50,2. Meskipun tetap dalam fase ekspansi selama 19 bulan berturut-turut, hal itu tetap belum mampu mengungkit pemulihan ekonomi mereka. Untuk tahun ini, ekonomi Tiongkok diperkirakan tumbuh rendah sebesar 5,0%, di bawah realisasi tahun lalu yang 5,2%.
Pesanan baru sektor jasa telah mengalami kontraksi selama 15 bulan terakhir dan pesanan ekspor baru juga telah mengalami kontraksi selama tujuh bulan terakhir. Dengan tingkat konsumsi yang cenderung tetap lemah di tengah kepercayaan yang masih suram, pemerintah Tiongkok didorong untuk mempercepat investasi pada paruh kedua tahun ini untuk mencapai target pertumbuhan 5%. Itu pun masih harus didukung oleh kebijakan insentif, baik di sisi fiskal (pengurangan pajak) maupun moneter (penurunan suku bunga acuan).
Pandangan ekonomi Indonesia
Menimbang bahwa perekonomian Indonesia bersifat terbuka, pengambil kebijakan dituntut memonitor perkembangan ekonomi global, terutama di negara-negara mitra dagang dan investor utamanya.
Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2024 sebesar 5% dan pada 2025-2029 sebesar 5,1%. Suatu perkiraan yang wajar dan logis karena secara historis sebesar itulah realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir ini.
IMF memberikan catatan pada optimisme pemerintah Indonesia mengenai proyeksi pertumbuhan ekonomi berkisar 4,7%-5,5% pada 2024 dan 4,8%-5,6% pada 2025 dapat dicapai, terutama didorong oleh permintaan domestik yang kuat. Untuk tahun ini, IMF meramal ekonomi akan tumbuh sebesar 5% ditopang oleh permintaan domestik meskipun tertahan oleh penurunan harga komoditas.
Kemudian untuk 2025 hingga 2029, IMF memprediksi ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,1% setiap tahunnya. Hanya, IMF tidak menjelaskan secara terperinci faktor-faktor penyebab pertumbuhan berada di kisaran 5% pada 2025 hingga 2029.
Namun, lembaga internasional tersebut menekankan masih terbukanya peluang pertumbuhan ekonomi jangka menengah bisa menyentuh 6%-7% didorong oleh transformasi ekonomi melalui reformasi struktural yang berkelanjutan. Hal itu mencakup upaya-upaya komprehensif peningkatan sumber daya manusia, kelanjutan pembangunan infrastruktur, serta peningkatan iklim bisnis dan investasi.
Perkiraan IMF itu setidaknya senada dengan proyeksi dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025 yang memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk 2025-2029 berada di kisaran 5,1%-6,6% dengan perkiraan pertumbuhan bertahap.
Terlepas dari tekanan eksternal yang membayangi, dukungan dari sektor keuangan diyakini mampu menjaga momentum pertumbuhan pada tahun-tahun mendatang. Hal itu setidaknya dapat dicatat dari kondisi stabilitas sistem keuangan (SSK) triwulan II-2024 lalu yang tetap terjaga baik meskipun ketidakpastian ekonomi global dan risiko geopolitik dunia masih tinggi.
Di tengah tingginya ketidakpastian global, perekonomian nasional tetap menunjukkan kinerja baik, yakni tumbuh sebesar 5,08% selama semester pertama pada tahun ini didukung oleh kuatnya konsumsi rumah tangga dan investasi. Ekspor barang diperkirakan meningkat, didorong ekspor produk manufaktur dan pertambangan, terutama ke negara mitra dagang utama seperti India dan Tiongkok.
Dari sisi produksi, aktivitas ekonomi tetap ditopang oleh kuatnya sektor padat karya, yaitu manufaktur, konstruksi, dan perdagangan. Aktivitas belanja pemerintah--terutama pada kuartal keempat--menjadi pendorong tambahan aktivitas ekonomi di sepanjang 2024 ini, ekonomi diperkirakan tumbuh berkisar 5,0%-5,2%.
Kebijakan hilirisasi dinilai turut mendukung geliat ekonomi di daerah-daerah sentra pertambangan di luar Jawa. Untuk itu, dukungan pemerintah terhadap program hilirisasi melalui kebijakan fiskal, penyediaan insentif, dan dukungan sinergi regulasi menjadi penting untuk memperkuat ekspor dan perluasan lapangan kerja dengan upah lebih layak.
Insentif kebijakan makroprudensial oleh Bank Indonesia (BI) terhadap sektor penunjang hilirisasi diharapkan menjadi pemacu perbankan lebih ekspansif mendukung pembiayaan program hilirisasi (baik di sektor pertambangan maupun pertanian dalam arti luas). Insentif likuiditas yang disediakan oleh BI juga lebih memampukan perbankan melanjutkan fungsi intermediasinya tanpa harus merasa terkendala dengan ketersediaan likuiditas.
Di tengah membesarnya gelombang pengangguran, geliat aktivitas investasi langsung di sektor manufaktur yang bersifat padat karya sangat dibutuhkan untuk menyerap luapan tenaga kerja yang setiap tahun terus bertambah.
Makin canggihnya kemajuan teknologi digital--termasuk teknologi kecerdasan buatan--hendaknya dapat direspons dengan cepat oleh para pengambil kebijakan melalui kebijakan yang tepat sasaran, tepat waktu, dan tepat guna. Itu dimaksudkan untuk menghindarkan Indonesia dari middle income trap (MIT) atau jebakan negara berpendapatan menengah.
Terkini Lainnya
Meski banyak Hambatan, Perekonomian Tiongkok Diyakini segera Pulih
Bangun Peta Jalan Pemulihan Ekonomi UMKM Pascabencana
Konflik Timur Tengah Hambat Pemulihan Ekonomi Dunia
Pengajuan PKPU Meningkat, Ekonomi Belum Pulih Sepenuhnya
Pemulihan Industri Penerbangan Nasional Butuh Konektivitas Transportasi
Relaksasi Impor Jadi Biang Kerok Turunnya Indeks Manufaktur Indonesia
Presiden Jokowi Minta Penurunan Indeks Manufaktur Ditangani Serius
Siap-Siap, Lesunya Industri Manufaktur bakal Terus Berlanjut
Industri Manufaktur Loyo, Relaksasi Impor Biang Keroknya
Sepi Order, PMI Manufaktur di Zona Merah
PRT, Paus, dan Pancasila
Partai Islam Gagal, Islam Politik Jaya?
Partisipasi Masyarakat dan Peran Pemda dalam Upaya Pemberantasan Mafia Tanah
Rekonstruksi Penyuluhan Pertanian Masa Depan
Transformasi BKKBN demi Kesejahteraan Rakyat Kita
Fokus Perundungan PPDS, Apa yang Terlewat?
1.000 Pelajar Selami Dunia Otomotif di GIIAS 2024
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap