visitaaponce.com

Kematian Sinwar dan Perang Abadi

Kematian Sinwar dan Perang Abadi
(MI/Seno)

YAHYA Sinwar telah menjadi ikon baru bagi Palestina and beyond. Kematiannya yang dramatis dan heroik akan menjadi rujukan bagi nilai-nilai keberanian dan determinasi, bahkan oleh pihak yang tidak menyukainya. Ini akan menyulitkan penyelesaian perang Gaza dengan syarat-syarat yang ditentukan Israel, terutama syarat Hamas harus menyerah total dan melepaskan senjata.

Siapa pun yang akan menggantikan Sinwar sebagai pemimpin Hamas tak akan mendapat legitimasi rakyat Palestina, kecuali ia mendapatkan konsesi bermakna dari Israel dalam konteks perjuangan Palestina mendapatkan kemerdekaan.

Sinwar tewas dalam pertempuran face to face dengan militer Israel (IDF). Presiden AS Joe Biden mengaku keberhasilan membunuh Sinwar tak lepas dari jasa badan intelijen AS (CIA) yang sejak awal perang pada 7 Oktober 2023 dikirim ke Israel untuk membantu IDF melacak lokasi tokoh-tokoh Hamas di dalam maupun di luar negeri. Kendati membunuh tokoh Palestina sudah lama menjadi kebijakan Israel, dalam perang Hamas-Israel kali ini AS mengusulkan Israel fokus pada pembunuhan tokoh-tokoh Hamas untuk memungkinkannya mendeklarasikan kemenangan telak yang berujung pada gencatan senjata.

Tak mengherankan jika sembari merayakan kematian Sinwar, Biden menyatakan saatnya perang diakhiri dan memulai pembicaraan tentang Gaza pascaperang. Namun, PM Israel Benjamin Netanyahu menegaskan perang masih akan berlangsung bertahun-tahun lagi. Memang belajar dari pengalaman berurusan dengan Hamas, pembunuhan terhadap tokoh-tokoh penting kelompok itu tidak pernah melemahkan mereka. Misalnya, pada 2004, IDF membunuh Sheikh Ahmad Yassin, pendiri Hamas yang karismatik, dan Abdul Aziz al-Rantisi, pengganti Yassin, yang diharapkan menciutkan nyali perjuangan kelompok itu. Kenyataannya, Hamas makin militan.

Calon pengganti Sinwar yang banyak disebut ialah Khaled Meshaal yang bermukim di Qatar. Meshaal adalah mantan Kepala Biro Politik Hamas sebelum digantikan Ismail Haniyeh. Ketika berada di Yordania, badan intelijen Israel (Mossad) melakukan upaya pembunuhan yang gagal terhadapnya. Tapi bisa juga yang dipilih ialah Mohammad Sinwar, adik kandung Yahya Sinwar, yang kini menjadi salah satu tokoh di Brigade Izzuddin al-Qassam, sayap militer Hamas.

Israel memang menyadari, sebagai ideologi, Hamas tidak mungkin dilenyapkan. Karena itu, untuk menghilangkan ancaman dari Gaza, Israel berniat menduduki enklave itu dan bersiap menghadapi perang panjang menghadapi Hamas. Netanyahu tahu, menjelang pemilu AS pada 5 November, Biden tak berdaya untuk menekannya, karena ditakutkan akan menghilangkan peluang capres Kamala Harris yang didukung Biden dalam memenangi kontestasi menghadapi capres Donald Trump.

Kendati Biden dan Harris kokoh mendukungnya, Netanyahu melihat Trump lebih pro terhadap Israel. Lagi pula, dalam konteks krisis Timur Tengah saat ini, mengakhiri perang Gaza telah kehilangan relevansinya sejak Israel memindahkan fokus perang ke Lebanon menghadapi Hizbullah dan rencana pembalasan terhadap Iran menyusul serangan balasan Teheran ke Israel pascapembunuhan Haniyeh dan Hassan Nasrullah.

Tak mengherankan jika IDF terus membombardir Gaza dengan mengabaikan seruan AS, agar Israel membuka akses bantuan kemanusiaan ke Gaza yang kelaparan, kalau tidak mau menghadapi konsekuensi terhentinya bantuan militer AS ke Israel.

Selain ketidakberdayaan Biden, popularitas Netanyahu di dalam negeri meningkat pascakematian Sinwar. Publik Israel mulai percaya Netanyahu bisa membebaskan sisa sandera Yahudi di Gaza melalui jalan militer. Dalam selebrasi kematian Sinwar, semua sekutu Israel merujuknya sebagai teroris yang harus bertanggung jawab atas kehancuran Gaza saat ini.

Memasuki bulan ke-13, Israel telah menewaskan lebih dari 42 ribu warga Gaza. Seluruh infrastruktur sosial, ekonomi, dan budaya Gaza rata dengan tanah. Dengan kata lain, Israel bukan hanya melaparkan warga Gaza sebagai strategi perang, melainkan juga memusnahkan peradaban Palestina. Kini seluruh warga Gaza utara tak lagi memiliki makanan.

Menarik melihat respons Barat atas kematian Sinwar. Sinwar--bersama Haniyeh dan Mohammad Deif (Komandan Brigade al-Qassam)--ditetapkan Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) sebagai pelaku kejahatan perang. Akan tetapi, hingga kini ICC belum juga mengeluarkan surat perintah penangkapan (arrest warrants) atas mereka.

Berlarut-larutnya penundaan arrest warrants tak bisa dipisahkan dari resistensi dan ancaman Israel dan AS terhadap ICC karena Netanyahu dan Menhan Israel Yoav Gallant masuk dalam daftar yang harus ditangkap. Rupanya tatanan internasional berbasis hukum hanya berlaku bila kepentingan Barat jadi taruhan.

Israel adalah proksi Barat, yang eksistensinya dipertahankan dengan menghalalkan segala cara guna menjaga hegemoni, kolonialisme, dan imperialisme Barat di kawasan strategis itu.

Sejak proklamasi kemerdekaan Israel pada 1948, Barat memberikan impunitas terhadap negara itu untuk apa pun yang dilakukannya. Pascaproklamasi, 530-an desa di Palestina dibumihanguskan oleh organisasi-organisasi teror Zionis. Sekitar 750 ribu warga Palestina dipaksa mengungsi setelah rumah mereka dihancurkan. Palestina memperingati tragedi ini sebagai ‘Nakba’ atau ‘Malapetaka’. Sinwar, Haniyeh, dan Deif adalah keturunan para pengungsi itu.

Pembunuhan terhadap tokoh Palestina tidak sampai di situ. Dalam 76 tahun terakhir, tak terhitung jumlah warga Palestina yang dibunuh, dipenjarakan, diusir, atau tanah mereka dirampas Israel tanpa konsekuensi. Saat ini Israel bukan hanya menguburkan Gaza, tapi juga melancarkan operasi militer di Tepi Barat segera setelah Mahkamah Internasional (ICJ) menyatakan pendudukan Israel atas tanah Palestina di Tepi Barat dan Yerusalem Timur ialah ilegal. Juga memerintahkan Israel menarik mundur pemukim Yahudi dari sana, karena tidak sesuai dengan Konvensi Jenewa yang melarang kekuatan pendudukan mentransfer warganya ke wilayah yang diduduki.

Barat, khususnya AS, bahkan tak menggubris perintah ICJ agar Israel menghentikan genosida di Gaza. Impunitas Israel ini sejatinya menjadi pendorongnya untuk merealisasikan target-targetnya, sekalipun untuk itu ia menghadirkan kehancuran dan kematian di mana-mana. Malah, AS terus mengalirkan persenjataan dan bantuan ekonomi puluhan miliar dolar AS, serta memberi payung diplomatik terhadap sekutunya itu. Dus, tidak adil merayakan kematian Sinwar, Haniyeh, dan Deif, sementara mengagungkan Netanyahu dan Gallant. Apalagi, semangat Piagam PBB membenarkan pemberontakan sebuah bangsa untuk membebaskan diri dari penjajahan.

Sejak peristiwa 9/11, isu terorisme telah menjadi alat berbagai rezim di dunia untuk menghantam lawan-lawan politik mereka. Dengan menetapkan Hamas dan Hizbullah sebagai organisasi teroris, Israel, AS, dan Uni Eropa menjustifikasi sanksi dan pembunuhan atas tokoh-tokoh dua organisasi tersebut.

Israel, yang sejak berdirinya menjalankan kebijakan teror terhadap Palestina, justru dianggap sebagai satu-satunya negara Timteng yang demokratis dan beradab. Demi Israel, Biden bahkan tidak jujur ketika menyatakan Sinwar merupakan rintangan terbesar dalam upaya gencatan senjata di Gaza.

Padahal, Sinwar menerima proposal gencatan senjata yang diajukan Biden, yang dikatakan telah disetujui Israel. Yang membuyarkan perundingan gencatan senjata justru Netanyahu. Ia menambahkan dua syarat terhadap proposal tersebut, yaitu pasca perang, Israel tetap mengontrol Koridor Philadelphia yang memisahkan Gaza dengan Mesir dan Koridor Netzarim yang membagi Gaza menjadi dua: Gaza utara dan Gaza selatan, untuk mengontrol mobilitas warga Palestina. Dua syarat itu tentu saja mustahil diterima Sinwar, bahkan oleh tokoh Palestina mana pun, karena menjustifikasi Israel mengontrol Gaza secara permanen.

Lalu, pada akhir Juli, ketika mediator AS, Mesir, Qatar tiba di Roma, Italia, untuk memulai perundingan gencatan senjata, Netanyahu memerintahkan serangan terhadap Haniyeh di Teheran dan Fuad Shukr (komandan senior Hizbullah) di Beirut.

Tujuannya memprovokasi Iran dan Hizbullah untuk melancarkan perang skala penuh yang akan menarik AS ke dalamnya. Pada September, AS menyatakan negosiasi gencatan senjata Hamas-Israel mendekati selesai. Tak lama, Israel menyerang perangkat komunikasi Hizbullah dan disusul pembunuhan terhadap Nasrullah.

Perang berkelanjutan memang menjadi pilihan Netanyahu untuk mempertahankan kekuasaannya. Apalagi tujuan perang di Lebanon untuk menghancurkan Hizbullah belum tercapai. Juga pembalasan terhadap Iran belum dilaksanakan. Ambisi Netanyahu ini membahayakan semua pihak untuk target yang mustahil bisa ia capai.

Apa yang akan terjadi bila pecah perang skala penuh Iran-Israel yang akan mengundang masuk AS dan negara-negara besar lain, serta menyeret negara-negara regional ke dalamnya? Tak ada cara lain untuk mengakhiri tragedi kemanusiaan terbesar pasca-holocaust terhadap orang Yahudi oleh Nazi Jerman, kecuali komitmen AS dan sekutu Barat terhadap tatanan dunia berbasis hukum, kemanusiaan universal yang dikhotbahkan Barat, dan perdamaian dunia. Enough is enough!



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat