visitaaponce.com

Menuju Pendidikan Tinggi Transformatif

Menuju Pendidikan Tinggi Transformatif
(MI/Seno)

PENDIDIKAN tinggi mengalami ketidakjelasan arah dalam lima tahun terakhir. Di satu sisi didorong internasionalisasi, tetapi sivitas akademika terjebak dalam kesibukan administrasi. Bagi perguruan tinggi tidak disediakan sumber daya yang memadai untuk melahirkan penelitian dan publikasi bermutu tinggi. Terbukti, tidak ada satu pun universitas di Indonesia yang masuk Top 100 QS World University Ranking. Bahkan, Times Higher Education hanya menempatkan Universitas Indonesia pada urutan 801-1.000.

Di sisi lain, peran kampus sebagai pusat pemikiran yang melahirkan gagasan besar tereduksi. Seluruh mahasiswa, tidak peduli dari jenis pendidikan vokasi atau akademik, diarahkan menjadi pekerja industri. Padahal, kampus sejatinya menjadi penyedia sumber daya manusia (SDM) yang dapat memajukan peradaban secara komprehensif. Kampus yang hanya menyiapkan pekerja siap pakai bagi perusahaan menjadi problematik ketika negara dan perusahaan gagal menciptakan lapangan kerja. Terbukti, pengangguran lulusan pendidikan tinggi masih menjadi yang tertinggi.

Kehadiran menteri pendidikan tinggi yang berlatar akademisi seperti membawa angin segar. Dalam beberapa wawancara, sang menteri menyampaikan tekadnya membenahi perguruan tinggi. Salah satunya mengembalikan kampus sebagai pusat pemikiran. Penulis berharap peran perguruan tinggi ke depan tidak hanya menjadi sebatas 'lembaga pelatihan' yang menyiapkan lulusan siap kerja. Lebih dari itu, perguruan tinggi harus diberi tanggung jawab untuk melahirkan gagasan-gagaran besar, karya-karya inovatif, dan agen-agen perubahan.

Pertanyaannya, model perguruan tinggi seperti apa yang sesuai untuk Indonesia saat ini? Bagaimana mewujudkannya? Tulisan ini bermaksud mendiskusikan hakikat pendidikan tinggi di negara berkembang seperti Indonesia, serta apa peran yang harus dimainkan. Penulis berharap tulisan ini dapat membantu menteri dan jajaran dalam memperjelas arah perguruan tinggi ke depan, serta tidak terombang-ambing oleh gimmick perangkingan dan internasionalisasi yang salah jalan.

 

Alat transformasi

Pendidikan tinggi di Indonesia dan negara maju memiliki peran berbeda. Australia, misalnya, mencatatkan pendidikan tinggi dalam kategori ekspor jasa. Menurut Departemen Pendidikan Australia (2024), sektor pendidikan tinggi telah berkontribusi bagi perekonomian Australia sebesar US$36,4 miliar pada 2023. Nilai itu telah menempatkan pendidikan tinggi di Australia sebagai penghasil pendapatan ekspor barang dan jasa terbesar keempat setelah batu bara, bijih besi, dan gas alam.

Bagi Australia, universitas ialah produk bisnis untuk mengkreasi pendapatan. Dalam konteks itu, Australia harus mem-branding universitas mereka. Rangking menjadi penting sebagai alat branding untuk menarik mahasiswa internasional. Rangking yang tinggi berbanding lurus dengan jumlah mahasiswa internasional yang datang.

Hal itu berimplikasi langsung pada pendapatan nasional Australia. Artinya, pendidikan tinggi berkontribusi bagi perekonomian nasional Australia melalui banyaknya mahasiswa internasional yang datang.

Di Indonesia, pendidikan tinggi merupakan alat transformasi sosial. Pendidikan tinggi semestinya menghasilkan SDM unggul pembawa perubahan dan kemajuan. Dengan mengingat tidak semua rakyat Indonesia berkesempatan mengenyam pendidikan tinggi, lulusan perguruan tinggi harus mampu mengemban amanah lebih besar.

Dalam konteks Indonesia saat ini, perguruan tinggi harus melahirkan SDM yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan membantu negara keluar dari ancaman middle income trap.

Sayangnya, BPS (2024) menyebut tingkat pengangguran lulusan perguruan tinggi justru tinggi (11,8%). Bahkan, Dirjen Dikti-Ristek, dalam diskusi Arah Pengembangan Pendidikan Tinggi untuk Lima Tahun ke Depan, mengakui perguruan tinggi masih menghasilkan pengangguran (Medcom.id, 26/8/24).

Hal itu tidak sepenuhnya disebabkan perguruan tinggi tidak mampu menghasilkan SDM kompeten, tapi juga karena kegagalan pemerintah dan kaum industrialis dalam menciptakan lapangan kerja baru yang cukup. Sepuluh tahun Jokowi berkuasa menciptakan 10,56 juta lapangan kerja baru, jauh lebih rendah daripada lima tahun terakhir SBY berkuasa (15,62 juta).

Sebagai alat transformasi, perguruan tinggi sangat diharapkan berperan dalam mengubah nasib bangsa melalui SDM transformatif dan inovasi berdampak yang dihasilkan. Perguruan tinggi yang hanya meluluskan mahasiswa, tapi tak peduli lulusan mereka berdaya guna di masyarakat atau tidak, sama saja dengan sekadar 'penjaja ijazah'.

Perguruan tinggi juga tidak boleh hanya menjadi kolektor pengetahuan, dengan penelitian hanya diperuntukkan menemukan kebaruan dan berakhir di publikasi jurnal. Penelitian dasar penting, tetapi dalam konteks negara berkembang, penelitian terapan siap guna untuk menjawab berbagai persoalan jauh lebih penting.

 

Kampus transformatif

Meminjam istilah Juergen Mittelstrass (2018), kampus transformatif bukan sekadar mesin produksi pengetahuan dan teknologi. Kampus transformatif menciptakan pengetahuan dan teknologi untuk kemajuan masyarakat. Orientasi utamanya penyelesaian masalah kemasyarakatan melalui SDM, pengetahuan, dan teknologi yang dihasilkan. Kampus transformatif menggunakan pendidikan dan penelitian sebagai kekuatan untuk melakukan perubahan sosial.

Alih-alih memproduksi pengangguran dan menciptakan masalah baru, perguruan tinggi sedianya dapat melahirkan agen transformasi sosial. Kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat yang dilakukan harus berdampak pada perubahan dan kemajuan. Dengan begitu, keberadaan kampus akan berkorelasi positif dengan kemajuan pembangunan. Singkatnya, hakikat kampus transformatif terletak pada peran mereka dalam melakukan transformasi sosial.

Banyaknya program studi pertanian, misalnya, semestinya berkorelasi dengan meningkatnya minat bertani di kalangan kaum muda. Pendidikan tinggi pertanian sedianya tidak hanya memiliki mandat untuk menghasilkan tenaga kerja yang akan mengisi sektor pertanian, tapi juga melahirkan agen-agen perubahan yang mampu membangun dunia pertanian. Dengan demikian, kehadiran pendidikan tinggi pertanian dapat berkontribusi positif pada pemenuhan kebutuhan pangan nasional.

Begitu pun, berlimpahnya sarjana gizi dan kesehatan harus berkorelasi positif dengan penyelesaian stunting, gizi buruk, dan masalah kesehatan publik lainnya. Sebaliknya, jika banyak program studi kewirausahaan dan bisnis berdiri, tapi pengangguran memadat di penjuru negeri, artinya program studi tersebut tidak memiliki relevansi. Kebermanfaatan bagi masyarakat serta relevansi pada kebutuhan pembangunan dapat menjadi indikator kinerja kampus transformatif.

 

Pusat pemikiran dan pergerakan 

Kampus di negara maju bersifat komersial, sementara di Indonesia ialah alat perubahan sosial. Oleh karenanya, ada perbedaan mendasar dari cara mengelola perguruan tinggi di Indonesia dan negara maju. Perguruan tinggi di Indonesia harus diarahkan menjadi kampus transformatif, dengan indikator kinerja berfokus pada kontribusi dalam transformasi sosial. Kurikulum perlu didesain untuk melahirkan aktor perubahan. Sementara itu, penelitian diarahkan untuk menciptakan pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan pembangunan.

Mewujudkan kampus transformatif memerlukan visi dan paradigma baru dalam pengelolaan perguruan tinggi. Kampus bukan lagi semata tempat penelitian dan pengajaran, melainkan berubah menjadi pusat pemikiran dan pergerakan. Dalam kampus transformatif, mahasiswa tidak lagi menjadi objek yang hanya menyerap pengetahuan. Mahasiswa dan dosen perlu berkolaborasi dalam menciptakan pengetahuan baru (co-creation) guna menjawab persoalan kemasyarakatan.

Sebagai pusat pemikiran dan pergerakan, kampus bertanggung jawab atas kemajuan wilayah sekitarnya. Dengan ragam ilmu yang tersedia, kampus perlu membuat proyek percontohan yang dapat direplikasi, dengan ilmu diterapkan dan perubahan diciptakan. Kampus juga perlu terlibat dalam setiap proyek pembangunan, dengan memberikan kontribusi pemikiran dan pergerakan sumber daya. Hal itu memungkinkan hadirnya kampus yang berkorelasi positif pada kemajuan pembangunan. Bukan kampus yang memproduksi antrean pengangguran.

 

Agenda ke depan

Dalam pidato perdananya, Minggu (20/10), Presiden Prabowo Subianto menyebutkan prioritas pembangunan ekonomi, yaitu pengurangan kemiskinan, swasembada pangan dan energi, hilirisasi komoditas untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi, serta pemanfaatan digitalisasi. Dalam kaitan itu, tentu perguruan tinggi di Indonesia memiliki kapasitas untuk mendukung prioritas pembangunan tersebut.

Ke depan, perguruan tinggi perlu diarahkan untuk berkontribusi dalam merealisasikan agenda prioritas pembangunan melalui beberapa peran sebagai berikut.

 

Penyedia SDM profesional

Perguruan tinggi transformatif sedianya mampu berperan sebagai penyedia SDM profesional. Perguruan tinggi perlu menyiapkan kurikulum dan model pembelajaran yang bisa menghasilkan lulusan dengan kompetensi yang dibutuhkan pembangunan nasional dan dunia.

Dalam konteks pemenuhan kebutuhan dalam negeri, lulusan perguruan tinggi perlu memiliki kompetensi dalam bidang pangan, energi, hilirisasi komoditas, dan digitalisasi. Dengan demikian, mereka mampu berkontribusi dalam mempercepat pencapaian proyek prioritas pembangunan.

Pemerintah perlu memberikan prioritas lebih kepada perguruan tinggi yang mau dan mampu memfokuskan diri mereka dalam melahirkan SDM profesional yang sesuai dengan kebutuhan prioritas pembangunan. Dalam hal itu, skema beasiswa ikatan dinas untuk program-program prioritas dapat dihidupkan kembali. Dengan demikian, potensi terbaik akan tertarik dan program prioritas pembangunan tidak kekurangan SDM.

Dalam konteks dunia yang lebih luas, perguruan tinggi transformatif sedianya turut terlibat dalam penyelesaian masalah global, seperti perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan. Perguruan tinggi perlu melahirkan lulusan yang memiliki kompetensi untuk dapat berkontribusi pada penyelesaian masalah tersebut. Agar bisa berkontribusi dalam penyelesaian masalah global, perguruan tinggi di Indonesia juga perlu menyeleraskan kurikulum dan pembelajaran mereka agar memenuhi kualifikasi standar internasional.

 

Penyedia wirausaha

Salah satu kunci penurunan angka kemiskinan ialah penciptaan lapangan kerja dengan penghasilan yang layak. Hanya semata menghasilkan lulusan yang siap kerja ternyata tidak cukup ketika pemerintah dan perusahaan tidak mampu menyediakan lapangan kerja yang cukup.

Pendidikan tinggi transformatif perlu mengubah orientasi mereka, dari sekadar penyedia SDM siap kerja menjadi SDM yang siap menciptakan lapangan kerja. Dalam hal itu, perguruan tinggi perlu mengembangkan kurikulum dan metode pembelajaran yang mendorong lahirnya lebih banyak wirausaha.

Menurut Kementerian Koperasi dan UKM (2024), rasio wirausaha Indonesia masih 3,35%. Sebagai referensi, rasio wirausaha Malaysia 4,74%, Singapura 8,76%, dan Amerika Serikat 12%. Rendahnya rasio wirausaha di Indonesia menyebabkan rendahnya kapasitas nasional dalam menurunkan angka pengangguran dan kemiskinan. Pada kenyataannya, perusahaan tidak selalu dapat diandalkan dalam penciptaan lapangan kerja. Bahkan, investasi asing dalam sepuluh tahun terakhir tidak memberi pengaruh nyata pada penciptaan lapangan kerja baru.

Untuk menghasilkan lebih banyak wirausaha, perguruan tinggi perlu dibekali dengan inkubator bisnis yang memadai. Melalui inkubator bisnis itu, mahasiswa digembleng untuk memiliki pola pikir wirausaha, berlatih memulai usaha, dan mengelola pertumbuhan usaha mereka. Dengan inkubator bisnis yang memadai, diharapkan, saat lulus, mahasiswa telah mampu menjalankan bisnis dan membuka lapangan kerja.

 

Penyedia inovasi siap guna

Perguruan tinggi memiliki kapasitas untuk melakukan penelitian dan mengembangkan inovasi yang berdampak bila sumber daya dan ekosistem memungkinkan untuk itu. Namun, saat ini kedua hal tersebut belum tersedia dengan baik. Menurut World Bank (2023), rasio anggaran penelitian di Indonesia masih sangat rendah, yaitu 0,2%-0,3% terhadap produk domestik bruto (PDB) dalam 10 tahun terakhir. Rasio itu jauh di bawah Tiongkok (2,08%), Singapura (1,98%) ataupun Malaysia (1,15%).

Perguruan tinggi transformatif perlu diarahkan untuk berperan sebagai penyedia inovasi tepat guna dan siap guna. Dosen dan mahasiswa perlu berkolaborasi untuk melahirkan inovasi-inovasi pada bidang pangan, energi, hilirisasi komoditas, dan digitalisasi. Indikator kinerja dosen bukan semata publikasi di jurnal internasional terindeks Scopus Q1, melainkan juga bagaimana hasil penelitian berkontribusi dalam penyelesaian masalah dan mendukung agenda pembangunan secara nyata.

Dalam kampus transformatif, mahasiswa harus dipandang sebagai sumber daya kreatif, yang memiliki ide-ide segar dalam penyelesaian masalah yang sesuai dengan zaman mereka. Perguruan tinggi dapat menyediakan platform yang memungkinkan terjadinya kolaborasi ide dan pelaksanaan penelitian kolaboratif, antara dosen dan mahasiswa. Dengan begitu, inovasi tepat guna dan siap guna bisa dihasilkan bersama.

 

Penutup

Pendidikan tinggi transformatif sebagai pusat pemikiran dan pergerakan, tempat lahirnya SDM tranformatif dan inovasi siap guna, akan memberikan dampak nyata pada kemajuan nasional. Jika hal itu terjadi, Indonesia akan bertumbuh menjadi negara maju, bahkan tidak mustahil menjadi pusat peradaban. Pada titik itu, mahasiswa, dosen, dan peneliti dari berbagai belahan dunia akan berdatangan. Mereka membanjiri kampus-kampus Indonesia untuk belajar, bekerja, dan meneliti. Internasionalisasi pun terjadi dengan sendirinya dan rangking hanyalah dampak ikutan, sama sekali bukan tujuan!



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat