Trumpisme dalam Tafsiran Protagorian Relativitas dalam Ekonomi Global

MENAFSIR Trump pasca-inaugurasi awal pekan ini tak ubahnya definisi Protagoras terhadap persepsi hangat atau dingin. Ketika tiba setelah berlari di tengah hujan ke air yang dingin, maka air di ruangan tersebut akan terasa hangat. Sebaliknya, bila datang dari kamar yang hangat, air yang sama akan terasa dingin. Persepsi terhadap kemenangan Trump sebagaimana air yang memiliki suhu absolut, tetapi dirasakan berbeda oleh tiap individu, bergantung pada dari mana kita memandangnya.
Beberapa bulan sebelum Trump kembali terpilih pada November tahun lalu, dalam sebuah perbincangan informal dengan kawan dari Tiongkok, saya mendapatkan impresi bahwa Trump lebih disukai ketimbang lawannya, Joe Biden. Mengingat latar belakang kawan tersebut yang sangat ‘pelat merah’, tentu jawaban ini bisa mewakili opini pemerintah Tiongkok.
Pada kesempatan lain, seorang kawan dari Jepang yang juga memiliki atribut serupa memberikan jawaban yang sama. Ini cukup mengejutkan, mengingat karakter dinamis—kalau tidak bisa dibilang tidak dapat diprediksi—dari Trump, yang pada periode pertamanya kerap membuat riuh dunia dengan pendekatan ala koboi, menebar ancaman tarif dagang, serta mengguncang stabilitas pasar global.
Namun, di balik ketidakpastian yang selalu mengiringi kepemimpinan Trump, ada satu hal yang bisa diantisipasi: pola kebijakan yang lebih terarah pada kepentingan domestik AS dengan pendekatan negosiasi bilateral yang tegas. Dalam jangka pendek, dampaknya jelas akan menimbulkan tekanan, khususnya bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Kebijakan fiskal ekspansif Trump, yang sering diasosiasikan dengan peningkatan inflasi, akan mendorong The Fed untuk mempertahankan suku bunga tinggi lebih lama daripada yang diperkirakan sebelumnya. Hal itu akan menyedot kembali arus modal dari emerging markets ke AS, menciptakan tekanan pada nilai tukar rupiah, serta likuiditas di pasar saham dan obligasi.
Akan tetapi, dalam jangka menengah dan panjang, dinamika ini juga bisa mengarah pada konvergensi yang lebih baik. Trumpisme, meskipun sering kali terlihat sporadis, dalam banyak hal justru menciptakan ekosistem ekonomi yang lebih fleksibel dan berbasis negosiasi langsung.
Jika dimainkan dengan strategi yang tepat, negara berkembang seperti Indonesia dapat menyesuaikan diri, membangun kemitraan bilateral yang lebih menguntungkan, serta menarik investasi asing yang sebelumnya terkonsentrasi di negara-negara tradisional pengangkut investasi.
Kemenangan Trump kembali membawa ekspektasi kebijakan fiskal ekspansif, yang berimplikasi langsung pada kebijakan moneter Federal Reserve (The Fed). Dengan kombinasi pemangkasan pajak dan belanja infrastruktur besar-besaran, ekspektasi inflasi AS meningkat sehingga The Fed sangat mungkin akan menahan suku bunga tinggi lebih lama.
Bagi Indonesia, ini berarti tekanan terhadap nilai tukar rupiah akibat capital outflow dari emerging markets ke AS. Penguatan dolar yang diikuti dengan ekspektasi inflasi di AS akan membuat arus modal asing kembali ke AS. Meskipun data AS terbaru menyiratkan tren inflasi masih sesuai dengan konsensus pasar, kemungkinan beberapa pernyataan lepas ala Trump pasca-inagurasi sangat bisa meningkatkan persepsi inflasi yang kembali panas sehingga selalu menjadi tantangan bagi stabilitas ekonomi domestik.
Sejarah mencatat bahwa retorika Trump sering kali berpengaruh terhadap pasar. Dalam periode pertama kepemimpinannya, hanya dengan satu cuitan atau pernyataan dalam wawancara media, pasar bisa bergejolak. Jika tren ini terulang, kita bisa menyaksikan skenario di mana meskipun data fundamental masih cukup solid, pasar bereaksi berlebihan terhadap ekspektasi inflasi yang dipicu oleh narasi agresif Trump tentang belanja infrastruktur, insentif pajak besar-besaran, atau bahkan potensi perang dagang yang lebih intensif dengan Tiongkok.
Jika itu terjadi, pasar obligasi Indonesia juga berisiko kembali mengalami tekanan. Dengan yield obligasi pemerintah AS yang berpotensi meningkat, investor global akan lebih memilih aset yang lebih aman seperti US Treasury, mengurangi daya tarik surat utang Indonesia.
Selisih imbal hasil (yield spread) yang menyempit, antara obligasi AS dan Indonesia bisa menyebabkan investor menahan diri untuk menempatkan dana di pasar surat berharga negara berkembang. Dampak lainnya ialah pelemahan likuiditas di pasar saham. Dengan kebijakan ekonomi Trump yang menstimulasi pertumbuhan domestik AS, investor global akan lebih tertarik pada saham-saham di Wall Street ketimbang instrumen pasar modal di negara berkembang. Akibatnya, Bursa Efek Indonesia (BEI) bisa mengalami tekanan dari sisi kapitalisasi dan minat investasi.
Konsekuensi dari tekanan ini ialah terbatasnya ruang bagi Bank Indonesia dalam mengelola kebijakan moneter. Dengan suku bunga The Fed yang tetap tinggi, BI tidak bisa terlalu agresif dalam menurunkan suku bunga domestik karena hal itu bisa semakin menekan rupiah. Sebaliknya, jika BI mempertahankan suku bunga tinggi, daya beli dan pertumbuhan ekonomi domestik bisa terganggu.
PELUANG YANG BISA DIMANFAATKAN
Meskipun tantangan jangka pendek tidak bisa dihindari, ada beberapa peluang yang bisa dimanfaatkan dalam jangka menengah dan panjang. Salah satunya ialah kemungkinan pelemahan dolar AS di masa depan. Dengan kebijakan fiskal ekspansif yang berpotensi meningkatkan defisit anggaran AS, tekanan terhadap dolar dalam jangka panjang bisa semakin besar. Jika itu terjadi, rupiah dan mata uang emerging markets lainnya akan lebih stabil dan mendapat ruang untuk menguat.
Selain itu, perang dagang antara AS dan Tiongkok yang sangat mungkin kembali bereskalasi, bisa memberikan celah bagi Indonesia untuk mengambil peran lebih besar dalam rantai pasok global. Banyak perusahaan multinasional yang selama ini terpusat di Tiongkok akan mencari alternatif rantai produksi yang lebih aman.
Jika Indonesia mampu menawarkan regulasi yang lebih fleksibel serta infrastruktur yang kompetitif, peluang untuk menarik investasi asing langsung (FDI) menjadi lebih terbuka.
Dalam konteks perdagangan, pendekatan Trump yang lebih mengutamakan negosiasi bilateral juga bisa menjadi keuntungan bagi Indonesia. Tidak seperti Biden yang lebih pro multilateralisme, Trump lebih condong pada perjanjian bilateral yang lebih transaksional. Jika dimainkan dengan strategi yang tepat, Indonesia bisa mendapatkan akses pasar yang lebih baik untuk komoditas strategis seperti nikel, kelapa sawit, dan produk manufaktur.
Sementara itu, meskipun Trump bukan pendukung kebijakan lingkungan yang agresif, tren global tetap mengarah pada transisi energi hijau. Dengan insentif pajak yang menarik dan regulasi yang mendukung, Indonesia bisa menjadi tujuan utama bagi investor energi terbarukan yang mencari pasar berkembang dengan potensi besar.
Jika kita melihat kembali periode pertama Trump, dunia belajar bahwa meskipun kebijakannya sering kali disruptif, pasar pada akhirnya mampu beradaptasi. Kebijakan proteksionisme AS memang memicu ketegangan global, tetapi negara-negara berkembang yang mampu menyesuaikan diri tetap bisa menjaga stabilitas ekonomi, dengan diversifikasi perdagangan dan penguatan kerja sama regional.
Kemenangan Trump di 2024, sekali lagi, membawa tantangan sekaligus peluang. Dalam jangka pendek, tekanan terhadap sektor keuangan dan moneter Indonesia tidak bisa dihindari. Modal asing yang semula mengalir ke emerging markets akan kembali tersedot ke AS, menyebabkan pelemahan rupiah dan meningkatnya volatilitas pasar keuangan domestik.
Namun, dalam jangka menengah dan panjang, Indonesia masih memiliki banyak celah untuk memperkuat daya saing ekonominya. Strategi yang perlu dilakukan antara lain memperkuat daya tahan ekonomi domestik dengan kebijakan fiskal dan moneter yang adaptif, menjalin kemitraan bilateral yang lebih strategis, serta mendorong diversifikasi ekonomi di sektor manufaktur, jasa, dan teknologi digital.
Akan tetapi, lebih dari sekadar strategi ekonomi, fenomena Trumpisme harus dipahami dalam kerangka yang lebih filosofis—sebuah realitas yang dapat berubah bentuk tergantung perspektif kita dalam melihatnya. Dalam perspektif protagorian, realitas bukanlah sesuatu yang mutlak, melainkan sesuatu yang ditentukan oleh sudut pandang manusia yang mengamatinya.
Bagi mereka yang melihatnya dari sudut pandang instabilitas, Trumpisme adalah ancaman: kebijakan proteksionisme dan isolasionisme AS berpotensi mengguncang pasar global, menarik arus modal keluar dari emerging markets, serta menimbulkan ketidakpastian dalam kebijakan perdagangan internasional. Namun, bagi mereka yang mampu membaca arah kebijakan dengan jeli, kemenangan Trump dapat menjadi momentum untuk memperkuat posisi ekonomi di panggung global.
Indonesia memiliki peluang untuk menavigasi kebijakan luar negeri AS yang lebih transaksional dengan pendekatan yang lebih adaptif dan oportunis. Dalam dunia di mana globalisasi mengalami pergeseran besar dan negara-negara cenderung bergerak menuju model kerja sama bilateral, Indonesia dapat menempatkan diri sebagai mitra strategis yang lebih fleksibel, menyesuaikan diri dengan dinamika baru yang lebih pragmatis.
Jika kita kembali ke gagasan Protagoras, realitas bukanlah sesuatu yang absolut, melainkan dibentuk oleh pemahaman dan respons kita terhadapnya. Dalam hal ini, kemenangan Trump bukanlah semata-mata sebuah risiko atau keuntungan mutlak, melainkan sebuah situasi yang dapat dibentuk dan dimanfaatkan sesuai dengan cara kita menghadapinya. Jika Indonesia mampu merespons dengan strategi yang tepat, ketidakpastian ini dapat diubah menjadi peluang untuk pertumbuhan yang lebih berkelanjutan.
Dunia pasca-inaugurasi Trump tidak serta-merta mengubah fundamen ekonomi Indonesia. Akan tetapi, cara kita meresponsnya akan menentukan apakah kita akan tenggelam dalam volatilitas global atau justru menjadi pemain yang lebih strategis di tengah ketidakpastian ini.
Dengan demikian, memahami Trumpisme tidak hanya soal menilai dampaknya terhadap pasar atau kebijakan ekonomi, tetapi juga tentang bagaimana kita menempatkan diri dan merespons perubahan sebagai bagian dari strategi besar dalam menghadapi dinamika global.
Seperti air yang terasa hangat atau dingin tergantung dari mana kita datang, kemenangan Trump bisa menjadi ancaman atau justru peluang—semuanya bergantung pada sudut pandang dan cara kita menghadapinya. Pada akhirnya, manusia adalah ukuran dari segala sesuatu, dan bagaimana kita menafsirkan realitas akan menentukan arah masa depan yang kita ciptakan.
Terkini Lainnya
Pemecatan Ratusan Karyawan FAA oleh Pemerintahan Trump Dapat Berdampak pada Keselamatan Penerbangan
Netanyahu Tegaskan Komitmennya pada Rencana Trump untuk Gaza
Trump Ajukan Kasus ke Mahkamah Agung untuk Pecat Kepala Pengawas Etik Pemerintah
Pasukan Perdamaian Inggris segera Ditempatkan di Ukraina
Delegasi AS akan ke Arab Saudi untuk Siapkan Pertemuan Trump-Putin
Netanyahu Sebut Rencana Trump Ambil Alih Gaza Penting untuk Masa Depan Israel
Pemerintah Waspadai Kondisi Global yang masih Alami Perlambatan Ekonomi
Fleksibel dan Terukur, Ini Strategi BRI Jaga Pertumbuhan Bisnis Di Tengah Dinamika Ekonomi Global
Pertumbuhan Ekonomi 2025 akan Didorong dari Program MBG dan 3 juta Rumah
Ekonomi Dunia belum akan Pulih Meski Gencatan Senjata di Gaza Tercapai
INFOBRAND SUMMIT 2025: Mempersiapkan Bisnis Menghadapi Tantangan Tahun 2025
Raja Kecil dan Sarang Lebah Birokrasi
100 Batalion Teritorial: Ketahanan Pangan atau Reposisi Militer?
Drama Demokrasi (Dramoksi) Indonesia 2024
Proyek Genom Manusia, Pedang Bermata Dua
Kebijakan Imperialisme Trump
Penyehatan Tanah untuk Peningkatan Produktivitas Pertanian
1.000 Pelajar Selami Dunia Otomotif di GIIAS 2024
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap