visitaaponce.com

Mencari Ruang Aman Digital bagi Perempuan

Mencari Ruang Aman Digital bagi Perempuan
Sr. Herdiana Randut, SSpS(dok. pribadi)

PERKEMBANGAN dunia digital saat ini, telah membawa banyak pengaruh dalam kehidupan manusia, baik itu pengaruh yang positif maupun pengaruh yang negatif. 

Tidak bisa dipungkiri, bahwa setiap orang membutuhkan media sosial dan beragam aplikasi lainnya. Setiap orang juga menggunakan media sosial sesuai kebutuhan dan keinginannya. Derasnya arus informasi yang ada di dunia maya menjadikan orang tidak bijak dalam menggali informasi, membuat, dan menyebarkankan. Ujaran kebencian, berita bohong, pornografi, penipuan, adalah beberapa contoh dari sekian banyak penyimpangan yang sering terjadi di dunia maya. 

Tulisan ini tidak berambisi untuk menguraikan semua bentuk dan jenis penyimpangan itu, tetapi hanya ingin menyebutkan satu di antaranya, yaitu kekerasan berbasis gender online atau pelecehan seksual. 

Baca juga : Program Kompetisi Ini Bantu Perempuan Pelaku UKM Kembangkan Usaha

Yang menarik, bahwa peningkatan aktivitas seseorang di dunia digital sepertinya selaras dengan peningkatan jumlah kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). 

Dalam buku panduan Memahami dan Menyikapi Kekerasan Berbasis Gender Online yang dibuat oleh SAFEnet, KBGO merupakan sebuah bentuk kekerasan yang terjadi atas dasar relasi gender, antara korban dan pelaku di ranah online yang menggunakan teknologi digital dan merupakan perpanjangan dari kekerasan berbasis gender di ranah luar jaringan. 

Mengapa perempuan

Baca juga : Bawaslu Bangun Lingkungan Kerja Bebas Kekerasan Seksual

Memang korban dari kekerasan seringkali terjadi dan menimpa laki-laki dan perempuan. Namun, perempuan seringkali menjadi korban dari masalah tersebut. Kasus ini menyerang identitas korban sebagai perempuan yang fokus utamanya yaitu tubuh dan seksualitas perempuan. 

Hal ini menjadi jelas jika kita melihat aktivitas KBGO. Apa yang dilakukan di sana? Ialah penonjolan perempuan sebagai obyek seksual melalui penggunaan gambar tidak senonoh untuk merendahkan wanita. Tentu ini sangat mempermalukan wanita, karena mengekspresikan pandangan yang tidak sopan. Bentuk lainnya ialah serangan-serangan kasar yang berbau seks, komentar-komentar pada postingan-postingan yang menggunakan kata-kata yang ditujukan pada tubuh perempuan dan lain sebagainya. 

Dalam pengamatan saya, hal ini disebabkan karena maraknya platform-platform yang berseliweran di media sosial, yang tidak aman dan banyak pengguna memakai akun palsu atau identitas palsu. 

Baca juga : 5 Cara Membersihkan Makeup di Wajah

Tentu pertanyaannya mengapa korban KBGO selalu perempuan? Secara biologis perempuan adalah manusia yang dilahirkan dengan memiliki bentuk tubuh atau fisik yang indah dan elok dipandang mata, identik dengan kecantikan dan kelemahlembutan. Perempuan menjadi target potensial dari konten-konten tersebut. 

Tentu saja, hal itu dapat membunuh karakter perempuan tersebut. Apalagi perempuan disimbolkan sebagai orang yang lemah dan tak berdaya, sehingga mudah sekali muncul keraguan mengenai dirinya sendiri. Ditambah media sosial yang tidak bisa memberi rasa aman terhadap perempuan. Media sosial kebanyakan menurut hemat saya tidak berperspektif perempuan atau korban dalam kasus ini. 

Menurut Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), sepanjang Maret hingga Juni 2019, kekerasan gender online mencapai 169 kasus. Hal ini meningkat 400% jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Sedangkan menurut Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPPA) kasus tersebut pada tahun 2018 sebanyak 500, 2019 sebanyak 629 kasus dan 2020 sebanyak 566 kasus. Kebanyakan dari mereka 263 adalah korban perempuan dewasa atau 43%. 

Baca juga : Daftar 5 Vaksin Penting yang Perlu Dilakukan oleh Perempuan

Mencari ruang aman

Lantas, di manakah ruang aman bagi perempuan dalam media sosial? Pertanyaan ini sulit dijawab karena berdasarkan fakta, KBGO masih terus terjadi. Tentu saja hal ini menjadi keprihatinan bersama. 

Kalau Anda menanyakan kepada saya mengapa demikian? Maka jawaban saya adalah, hampir tidak ada ruang aman bagi perempuan dalam media sosial sekarang ini. Lalu apa yang harus dilakukan? Tingkatkan literasi digital bagi perempuan. Mereka perlu terus didukung agar berani melawan dan melaporkan kasus kekerasan yang menimpanya. 

Literasi ini menjadi urgen karena menurut catatan tahunan 2023 Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan, laporan kasus kekerasan berbasis gender online menempati posisi tertinggi dalam pengaduan ke Komnas Perempuan di ranah publik, yakni 69% dari total kasus (Kompas.id). 

Berdasarkan studi terbaru dari Plan Internasional (Antaranews.com) yang bertajuk “Future Online For Girls” tahun 2021, kekerasan seksual berbasis gender online mulai meningkat sejak merebaknya pandemi covid-19. Hal ini disebabkan beberapa faktor, antara lain, penggunaan internet dan media sosial semakin meningkat di masa pandemi, dan orang mencari sensasi agar menjadi terkenal di media sosial.

Cenderung menyepelekan

Meskipun terdapat payung hukum, perlindungan dan upaya menciptakan ruang aman terhadap perempuan dan korban kekerasan di Indonesia belum berjalan efektif. Masih saja terjadi banyak korban, yang kurang atau kesulitan mencari perlindungan dan keadilan. Bahkan, dalam beberapa kasus berakhir dengan respon menyepelekan kasus kekerasan gender atau cendrung menyalahkan korban. 

Payung hukum yang belum maksimal melindungi perempuan, proses penanganan kasus dalam mencari keadilan belum ideal, dan dipenuhi bermacam ‘tantangan’ yang membuat korban lelah untuk menindaklanjuti kasus. 

Tantangan-tantangan tersebut membuat mereka tertekan, mengalami kerugian finansial karena proses penanganan kasus tidak berperspektif korban dan prosedur berbelit-belit. Selain itu, status sosial korban menjadi bahan olokan masyarakat, dan simbol perempuan sebagai orang yang lemah dan tak berdaya semakin melekat kuat di masyarakat. 

Melihat beragam masalah tersebut, menurut saya, sangat penting adanya ruang aman bagi perempuan dalam bermedia sosial. Tentunya, hal ini membutuhkan kerja sama semua pihak yang terlibat, selain pemerintah yang membuat UU. 

Saatnya untuk bangkit, ayo perempuan-perempuan Indonesia, teriaklah menuntut adanya ruang aman bagi perempuan di media sosial. Tuntutan ini tidak berlebihan dan muluk-muluk. Itu adalah hak perempuan demi kehidupan yang lebih manusiawi dan bermartabat. (P-5)

 

Sr. Herdiana Randut, SSpS
Member of Woke Asia Feminist, Puandemik Indonesia, dan Komsos SSpS Flores Barat



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat