visitaaponce.com

Man of Integrity Faisal Basri dan Hal-Hal yang belum Selesai

Man of Integrity Faisal Basri dan Hal-Hal yang belum Selesai
Ilustrasi MI(MI/Seno)

TERKAIT dengan wafatnya Faisal Basri (FB), begitu banyak testimoni dari pelbagai kalangan (sesama ekonom, akademisi pelbagai bidang, aktivis dengan beragam latar belakang, wartawan, pejabat pemerintahan, mantan wapres, dan lain-lain). Begitu juga obituarium di koran-koran maupun media-media online. Semuanya merasa kehilangan. Antara lain disebutkan bahwa FB adalah seorang ekonom kelas begawan yang andal, FB selalu kuat beropini dengan didukung data dan analisis yang masuk akal, juga ‘superberani’, lugas, dan tanpa tedeng aling-aling dalam menyampaikan kritik. Hal itu disampaikan oleh FB sejak Soeharto masih berkuasa, Habibie, SBY, hingga Jokowi.

Untuk 10 tahun Jokowi berkuasa, memang awalnya FB bersahabat dengan Jokowi baik secara pribadi maupun memberikan langsung saran-saran kebijakan. Salah satu yang fenomenal ialah ketika Jokowi selaku presiden menugaskan FB pada 2015 untuk menjadi Ketua Komite Reformasi Tata Kelola Migas. Juga secara tidak langsung memasukkan FB sebagai anggota Tim Ahli Satgas TPPU untuk menyelidiki transaksi janggal Rp349 triliun di Kementerian Keuangan.

Dengan diketuai FB, Tim Reformasi Tata Kelola Migas menghasilkan tiga rekomendasi. Pertama, tender penjualan dan pengadaan impor minyak mentah dan BBM tidak lagi oleh PES, melainkan dilakukan oleh ISC (integrated supply chain) Pertamina.

Baca juga : Menafsir Sandal Jebol Faisal Basri

Kedua, mengganti secepatnya manajemen Petral dan ISC dari tingkat pimpinan tertinggi hingga manajer. Ketiga, melakukan audit forensik agar segala proses yang terjadi di Petral menjadi terang benderang. Hasil audit forensik bisa dijadikan sebagai pintu masuk membongkar potensi pidana, khususnya membongkar praktik mafia migas.

Rekomendasi ini kemudian ditindaklanjuti Menteri ESDM saat itu Sudirman Said dan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) saat itu Dwi Soetjipto dengan membekukan bisnis Petral pada tengah Mei 2015 (https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/).

Kemudian terkait tugas Satgas TPPU, salah satu hasil signifikan dalam kerja satgas ialah penanganan kasus impor emas dengan transaksi keuangan mencurigakan sebesar Rp189 triliun. Menurut laporan, sebelum ada Satgas TPPU, kasus itu tidak berjalan. Namun, setelah satgas tersebut melakukan supervisi, kasus mulai diproses. Penyelidikan ini mengungkap dugaan tindak pidana kepabeanan oleh penyidik dari Direktorat Jenderal Bea Cukai dan dugaan tindak pidana perpajakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.

Baca juga : Kinerja Industri Terus Turun, Ekonom: BMAD Apa Sih?

FB juga punya beberapa tugas lain yang strategis sebagai ‘ekonom aktivis’, yang salah satu cirinya ialah sangat peduli akan pemberantasan korupsi. Bagi FB, hal tersebut adalah prasyarat untuk membangun peradaban bersih bangsa dan negara Indonesia yang bercita-cita mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.


FB salah seorang pendiri Indef

Perjumpaan pertama kali saya (DSD) dengan FB ialah sekitar tahun 1994, ketika FB baru pulang menyelesaikan studi MA-nya dari Vanderbilt University, Amerila Serikat, dan saya juga baru menyelesaikan S-3 pada 1993 dari Prancis. Kami sama-sama bertemu dengan Dr Dipo Alam, Deputi Menko Perekonomian kala itu, di Gedung Bappenas. Setelah itu, cukup sering kami berinteraksi termasuk sama-sama jadi narasumber di berbagai seminar.

Baca juga : Begini Kenangan Chatib Basri dan Sri Mulyani Tentang Faisal Basri

Sekali waktu tahun 1995, saya, FB, bersama Didik J Rachbini dan Fadhil Hassan di Rumah Soetrisno Bachir (pengusaha nasional) bersepakat untuk membentuk lembaga think tank ekonomi Indef (Institute for Development Economics and Finance). Ekspose pertama Indef ialah studi tentang impor gandum dari AS oleh PT Bogasari milik Liem Sioe Liong, konglomerat terbesar masa Orba.

Posisi impor gandumnya hampir monopsonistik (pengimpor tunggal). Yang sangat mengejutkan dari hasil studi tersebut, ditemukan adanya subsidi terselubung dari negara terhadap PT Bogasari sebesar Rp760 miliar (kalau nilai tahun 2024 harus dikalikan 8 kali, karena kurs 1 dolar waktu itu sebesar Rp2.159, atau sekitar Rp6,8 triliun per tahun) akibat adanya impor gandum 2,7 ton pada 1994.

Tentu hal itu sangat merugikan rakyat sebagai pembayar pajak. Sontak hasil kajian Indef tersebut menjadi headline hampir seluruh koran nasional waktu itu. Hal tersebut kontradiktif justru karena ketika itu Presiden Soeharto berada di puncak kekuasaan karena berbagai prestasi perekonomiannya sehingga mendapat pujian lembaga-lembaga internasional.

Baca juga : JK kenang Faisal Basri: Ekonom yang Sangat Jarang Ditemui

Sejak itulah Indef menjadi sangat terkenal dengan analisis ekonomi kritis di kancah nasional. Indef juga mempunyai tradisi membuat publikasi tiap tahun dari hasil studinya: proyeksi tengah tahun (PTT) dan akhir tahun (outlook) yang selalu mengundang pejabat terkait studi, akademisi, kalangan BUMN, swasta, dan kalangan awak media.

Di 2024 ini, Indef berumur 29 tahun dengan 6 generasi ekonom yang memimpin organisasi think tank, yang dalam 15 tahun terakhir hampir tidak ada kompetitor di bidangnya. Dari sisi waktu yang mempunyai rentang hampir 3 dasawarsa Indef secara konstan memberikan sumbangan pemikiran dan rekomendasi kebijakan kepada pemerintah khususnya, dan kepada bangsa dan rakyat Indonesia umumnya.

Kami para pendiri dan ekonom Indef yang sudah puluhan jumlahnya selalu bersama FB dan melihat FB sebagai ekonom kritis dan berintegritas sangat tinggi. Tentu bersama FB, publik akhirnya mengenal ekonom Indef lainnya: DSD, Didik J Rachbini, Fadhil Hassan, Nawir Messi, Aviliani, Bustanul Arifin, Drajat Wibowo, Enny Sri Hartati (alm), Ahmad Erani Yustika, Tauhid Ahmad, Eko Listianto, Esther Sri Astuti, Bhima Yudhistira, dan mulai muncul juga nama-nama lain yang lebih muda.

Tidak ada gading yang tak retak. Demikian pepatah yang klasik. FB adalah perokok berat. Pada waktu acara tahunan Indef bersama-sama sekitar 40 orang ke Thailand, kami tiba-tiba kehilangan FB dan seorang ekonom senior lainnya. Setelah dicari tak ketemu dan akhirnya seorang teman kami melihat dua orang yang sedang asyik di sebuah tempat agak jauh dari rombongan. Kemudian FB dan seorang teman tersebut mengatakan, “Kami sesama ‘ahli isap’ sedang menghitung pertumbuhan ekonomi ‘Negeri Gajah’ (Thailand),” kilahnya. “Kalau tanpa mengisap dulu, kami enggak bisa memprediksi dengan tepat pertumbuhan ekonomi ‘Negeri Gajah’ tersebut,” canda FB.

 

FB dan hal-hal yang belum selesai

Karakteristik FB sebagai ekonomi memiliki 3 ciri, yaitu anti terhadap korupsi, anti terhadap kebijakan ekonomi yang merugikan rakyat banyak (kemiskinan, ketimpangan, pengangguran, kerusakan lingkungan), dan anti terhadap tata kelola yang buruk dalam pembangunan.

FB pun seorang dosen di FEB UI yang sangat bereputasi tinggi, bahkan sempat disebut sebagai ‘gudangnya’ calon menteri-menteri ekonom. Namun, dalam pengembangan ilmu ekonomi di negara-negara sedang berkembang masih kuat adanya ‘keterjajahan epistemologi keilmuan’. Dengan begitu, ilmu ekonomi yang berasal dari negara-negara Barat (Eropa maupun Amerika Serikat) sangat memengaruhi dalam perumusan kebijakan-kebijakan perekonomian, termasuk di Indonesia, yang tidak selalu memberikan solusi yang tepat buat rakyatnya.

Dalam dunia perguruan tinggi dikenal konsep Tridharma Perguruan Tinggi (PT), yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masayarakat. Pendidikan merupakan wahana transformasi ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebudayaan yang menghasilkan generasi para ilmuwan, teknolog, dan budayawan. Adapun penelitian adalah wahana pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebudayaan sehingga terjadi kontinuitas atau disrupsi keilmuan yang dalam perspektif Thomas Khun disebut adanya ‘anomali menuju terbentuknya teori baru’ (Khun, 1962). Juga bisa dengan menemukenali keilmuan yang belum masuk dalam framework keilmuan yang mapan.

Dengan bermodal ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebudayaan, maka agar tidak menjadi ‘menara gading’, perguruan tinggi wajib melakukan pengabdian kepada masyarakat sehingga berkontribusi terhadap kemajuan, keadilan, dan kesejahteraan dalam masyarakat bangsa secara keseluruhan.

Mahasiswa di Indonesia dalam pembuatan skripsi S-1, tesis S-2, dan disertasi S-3 baik di PT Indonesia maupun studi di PT luar negeri yang merupakan penggerak ilmu pengetahuan (IP) berbasis riset, maupun riset-riset yang berjalan di PT dan lembaga riset lainnya, semuanya lebih sebagai seni (art) (Mubyarto 1988). Dalam arti, riset-riset tersebut hanya berjalan untuk mengulang dan mengokohkan paradigma IP yang telah mapan, yang notabene tidak lepas dari bangsa yang telah mengonstruksi IP-nya. Jadi, ada semacam jebakan epistemologi yang hanya mengulang dan lebih mengokohkan kebenaran teoretis sebuah riset yang berbasis ‘masyarakat Barat’ Eurocentrism, bahkan Western-centralism), yang tidak selalu menguntungkan untuk mencapai kemakmuran rakyat sebesar-besarnya.

Dalam konteks tulisan ini, terutama dalam kaitan dengan tugas Tridharma PT. Dalam ranah pendidikan dan penelitian, dengan melakukan apa yang disebut oleh kalangan ilmuwan ‘French School’ (Derrida, 1989, Foucault, 2018), yakni melakukan proses deconstruction (pembongkaran) sekaligus dilanjutkan dengan reconstruction (membangun kembali/merekonstruksi) teori-teori keilmuan sosial dan ekonomi, sehingga lebih berbasis kepentingan rakyat (people driven economy, dan bukan kepentingan segilintir pemilik modal yang malah membentuk struktur oligarki) atau dalam frasa Konstitusi-UUD ‘45 dengan ‘memakmurkan rakyat sebesar-besarnya’ (bukan memakmurkan orang per orang).

Dengan demikian, tugas perguruan tinggi dalam pelaksanaan Tridharma PT dalam ranah pendidikan ialah dengan melakukan transformasi keilmuan berbasis hasil riset, teori, dan keilmuan berbasis lokal dan hybrid dengan pendekatan eclectic, yakni mempergunakan metodologi dan teori-teori yang relevan (dan mengabaikan yang tidak relevan).

Dalam ranah penelitian, pengembangan ilmu berbasis konstitusi, nilai lokal, dan hybrid mampu menghasilkan kritik teori dan teori-teori baru berbasis lokal. Adapun dalam ranah pengabdian kepada masyarakat, secara makro ditujukan dalam rangka mencapai kondisi bangsa yang mandiri, sejahtera, dan berdaya ‘coopetitio’, yakni sinergi dari kapasitas untuk kemitraan/kerja sama (cooperation) dan persaingan (competition) yang menghasilkan watak bangsa yang unggul di tingkat regional dan global, tapi diabdikan untuk kepentingan nasional, yakni menyejahterakan rakyat sebesar-besarnya.

Menurut hemat saya, di samping Indonesia memerlukan ‘Faisal-Faisal’ lain untuk menjaga Indonesia tidak tergelincir jadi ‘negara gagal’ karena kebijakan-kebijakan perekonomiannya yang keliru, lebih jauh FB sebagai entitas dosen perguruan tinggi, khususnya dosen ilmu ekonomi, juga seyogianya merefleksikan lebih mendalam untuk membangun ‘ilmu ekonomi berbasis kepada nilai-nilai dan kebajikan masyarakat Indonesia sendiri’. Atau setidak-tidaknya terhadap nilai-nilai dan kebajikan masyarakat Asia (Asian way) yang berbeda dengan nilai nilai dan kebajikan bangsa-bangsa Barat yang tidak selalu relevan dengan bangsa-bangsa di Asia.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat