Makna di Balik Pembebasan Pilot Susi Air
HARI Sabtu (21/9/2024) kita patut bersyukur dengan berita pembebasan sandera pilot Susi Air Philip Mark Mehtrens yang sejak 7 Februari 2023 disandera oleh OPM (Organisasi Papua Merdeka) pimpinan Egianus Kogoya. Makna apa di balik pembebasan sandera pilot Susi Air? Penyanderaan selama satu tahun tujuh bulan telah menyita perhatian dan konsentrasi pemerintah, Pemerintah Kabupaten Nduga, Provinsi Papua Pegunungan, TNI/Polri, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh gereja, dan masyarakat sipil.
Substansi dari kasus pembebasan sandera dan implikasi sosial politik serta trauma psikologis yang telah ditimbulkan akibat peristiwa penyanderaan, terutama bagi masyarakat Nduga yang kehidupan mereka dilingkari oleh kekhawatiran dan ketakutan. Bahkan, tidak ada harapan dan masa depan terutama anak-anak yang mestinya memperoleh pendidikan dan pengajaran. Juga, masyarakat yang mesti bertani dan bercocok tanam untuk menghidupi keluarga, serta kegiatan sosial dan masyarakat berbalut dalam ingatan kolektif yang sangat sulit untuk dilupakan. Dan pengungsian besar-besaran yang terjadi di beberapa kabupaten di Papua.
Sementara masyarakat Papua umumnya menyaksikan mobilisasi pasukan TNI dalam jumlah besar ke wilayah ini, seolah-olah Papua berada dalam situasi darurat perang. Pemerintah pun dihadapkan pada pertanyaan dari negara sahabat terutama dari pemerintah Selandia Baru mengenai kapan warga negaranya dibebaskan.
Baca juga : Menko Polhukam Tegaskan Tak Bayar Uang Tebusan untuk Bebaskan Pilot Susi Air
Kasus pembebasan sandera pilot Susi Air memiliki sejumlah makna. Pertama, menegasikan bahwa dialog dan negosiasi perlu memperoleh prioritas utama dalam rangka penyelesaian masalah sandera maupun soal Papua secara komprehensif dalam kerangka NKRI. Upaya pembebasan sandera pilot Susi Air dalam konteks mikro merefleksikan bahwa dialog dan negosiasi melalui saluran kekeluargaan dan kekerabatan dapat dijalin dengan pimpinan OPM Egianus Kogoya dan sukses membuahkan hasil.
Sebaliknya, pertanyaan kritis mengapa dialog dan negosiasi untuk mewujudkan solusi masalah Papua, pemerintah masih enggan melakukannya? Padahal cara dan mekanisme seperti penyelesaian kasus pembebasan pilot menjadi refleksi, pelajaran dan pengalaman serta pendekatan berbasis konstitusional dan yuridisnya telah diletakan pada UU RI No 21/2001 Juncto UU RI No 2/2021 tentang Otonomi Khusus Papua guna solusi masalah Papua.
Kapan dialog dan negosiasi dapat diwujudkan antara Pemerintah dan masyarakat Papua dalam kerangka NKRI? Masyarakat Papua memahami sepenuhnya dialog kebangsaan dalam rangka menyelesaikan masalah Papua tak perlu dilakukan dengan melibatkan pihak ketiga. Mereka perlu dihormati dan dihargai serta diperlakukan sebagai sesama anak bangsa dalam konteks keluarga besar bangsa Indonesia untuk mengakhiri konflik dan kekerasan.
Baca juga : Pembebasan Kapten Philip Momentum Pembangunan Kesejahteraan Papua
PR ini merupakan tugas dan kewajiban pemerintah, untuk menyelesaikan kasus–kasus pelanggaran HAM, finalisasi konflik dan kekerasan di wilayah ini. Menyatukan pandangan yang sama selama ini terhadap kekeliruan yang menuntut klarifikasi dan verifikasi tentang latar historis-politis integrasi Papua dengan RI. Melalui dialog dan negosiasi saling memahami dalam konteks negara-bangsa sebagai satu keluarga maka menurut penulis, masalah Papua akan dapat terselesaikan.
Urgensi penyelesaian damai masalah Papua sebagai syarat agar tidak terulang lagi peristiwa yang sama di masa depan. Karena, tanpa disadari selama ini telah terjadi penyanderaan terhadap masyarakat Papua dan hak–haknya sejak wilayah ini menyatu (tahun 1963) dengan RI.
Hak-hak masyarakat adat tersandera. Bahkan, akhir–akhir ini kita dengan mata telanjang menyaksikan semakin terkristalisasi kehadiran proyek strategis nasional (PSN) yang bercorak kapitalis oligarki, seperti kelapa sawit, lahan sejuta hectare untuk penanaman padi dan tebu. Didukung dengan kehadiran 2.000 alat berat dan traktor.
Baca juga : Pembebasan Pilot Susi Air belum Berdampak pada Penyelesaian Konflik Papua
Padahal, bila dicermati penyelesaian pembebasan sandera Philip Mark Mehtrens, metode dan cara solusinya sama dan identik. Basisnya melalui ikatan kekeluargaan dan kekerabatan sebagai pintu masuk dengan pendekatan antropologi, kultural, dan religius serta multistakeholders yang melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh gereja, dan masyarakat sipil.
Memang dibutuhkan interval waktu dan energi yang cukup serta mengekang diri untuk tidak menggunakan kekuatan militer dan kekerasan. Energi positif menghendaki ada kesabaran dan diplomasi yang tak dapat dilakukan hanya sekadar memenuhi target dan tujuan, tetapi prosedur dan mekanisme yang demokratis dan bermartabat melalui dialektika merupakan solusi jangka panjang.
Kedua, perlu apresiasi kepada pemerintah pusat telah melakukan evaluasi dan koreksi tentang cara mengelola Papua melalui pemberian kepercayaan dan tanggung jawab pada masyarakat guna mengatur dan mengurus diri sendiri, prakarsa dan inisiatifnya sesuai kekhususan dan kekhasannya lewat Otonomi Khusus Papua.
Baca juga : Pilot Susi Air Bebas, Satgas Damai Cartenz: Semoga KKB Kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi
Termasuk, upaya solusi masalahnya dengan melibatkan pemangku kepentingan lokal dalam proses dialog dan negosiasi. Dengan berbasis pada pendekatan antropologi, kultural, dan religius. Sehingga, penyelesaian masalah pada level pemimpin atau pemangku adat perlu menjadi role model di Papua.
Di aras pemangku adat sebagai media membangun komunikasi untuk menyatukan persepsi serta terwujudnya kesepahaman kolektif untuk mencapai tujuan bersama tentang mana yang terbaik untuk masyarakat. Di meja para pemangku adat dalam masyarakat menyelesaikan masalahnya dalam dialog saling menasihati bahwa tindakan seperti penyanderaan dan kekerasan tidak sesuai dengan nilai kultural dan religiusitasnya.
Bahkan, menyandera manusia dan masyarakat adalah tindakan kriminal yang tidak dapat ditoleransi oleh komunitas adatnya. Tabiat menyandera, menggunakan kekerasan dan konflik adalah pembodohan yang tak dibenarkan oleh tradisi adat istiadat maupun norma-norma kultural.
Negosiasi menjadi kata kunci dalam bahasa dan kearifan lokal di antara masyarakat untuk menyakinkan sesamanya sebagai satu keluarga dan kerabat. Tanpa intervensi dari pihak lain sehingga mesti dijauhkan dari rasa saling curiga.
Dengan demikian lewat proses dialektika di level pemangku adat terjadi rekonstruksi terhadap dua elemen dasar yang dapat dijadikan pegangan untuk negosiasi. Pertama, retrospektif melihat ke dalam untuk mengevaluasi dan mengintrospeksi apa untung rugi dengan kasus penyanderaan yang akan memperpanjang konflik dan kekerasan yang berkepanjangan.
Kedua, prospektif fokus bahwa tak ada keuntungan dengan terlalu lama menyandera sang pilot. Tidak saja memperpanjang konflik dan kekerasan tetapi impikasinya terhadap masa depan masyarakat untuk menggapai kesejahteraan, kesetaraan, dan keadilan semakin kabur.
Ketiga, akibat dari lamanya kasus penyanderaan telah menimbulkan dampak sosial, ekonomi, politik, pemerintahan, dan trauma psikologis terhadap masyarakat Nduga khususnya dan Papua umumnya. Selain itu, terjadi pengungsian lokal besar-besaran dari Kabupaten Nduga ke Wamena (Jayawijaya/Provinsi Papua Pegunungan), Timika (Provinsi Papua Tengah), Kabupaten Jayapura (Provinsi Papua).
Terkait dampak yang ditimbulkan sebagai akibat dari kasus penyanderaan, langkah pemerintah untuk melakukan rehabilitasi fisik memulihkan fasilitas pendidikan dan kesehatan yang selama ini dimanfaatkan sebagai markas dan posko tentara serta memulihkan keamanan dan ketertiban sosial agar masyarakat dapat melakukan kegiatan ekonomi untuk menunjang kehidupan sehari-hari. Juga, pentingnya rehabilitasi sosial terhadap pengalaman empiris akibat trauma psikologis kepada masyarakat yang menjadi korban dari kasus penyanderaan.
Upaya pemulihan jangka panjang mesti diwujudkan, sekalipun terkendala dengan eskalasi konflik yang meluas. Tidak saja masalah separatisme, tetapi juga menyangkut perebutan kepentingan di sektor eksploitasi sumber daya alam (SDA). Konflik dan kekerasan tidak saja berakhir temporer pasca penyanderaan, tetapi juga penyelesaian 'akar' masalah Papua yang menyebabkan pelanggaran HAM pun mesti dituntaskan. Termasuk, dari segi sosial ekonomi dan kepemilikan tanah adat.
Perdamaian (damai) harus menjadi nilai yang membangun kesamaan dan persamaan yang melekat pada dimensi kebudayaan masyarakat Papua, yang menurut para antropolog dan budayawan mesti dijadikan entry point solusi konflik untuk mengakhiri kekerasan jangka panjang di Papua. Sehingga, tidak terulang kasus yang sama di masa depan.
Terkini Lainnya
Menko Polhukam Tegaskan Tak Bayar Uang Tebusan untuk Bebaskan Pilot Susi Air
Pembebasan Pilot Susi Air belum Berdampak pada Penyelesaian Konflik Papua
Pilot Susi Air Bebas, Satgas Damai Cartenz: Semoga KKB Kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi
Ini Asal Ayam yang Dibawa Pilot Susi Air saat Prosesi Pembebasan
Susi Pudjiastuti Apresiasi Semua Pihak dalam Pembebasan Pilot Susi Air
Pembebasan Kapten Philip Momentum Pembangunan Kesejahteraan Papua
19 Bulan Disandera di Hutan, Pilot Philip Mehrtens Kangen Pizza
Pembangunan di Papua akan Terus Digenjot dan Libatkan TNI-Polri
Kapten Philip Mark Mehrtens Dibawa ke Jakarta dengan Pesawat TNI AU
Kapolri Apresiasi Kerja Keras TNI-Polri dalam Membebaskan Pilot Susi Air
75 Tahun Tiongkok dan Ambisi Globalnya Langkah Strategis Indonesia
Menyiapkan Generasi Mewujudkan Indonesia Emas 2045
Kerancuan Pendidikan, Pelayanan, dan Pembiayaan Kesehatan
Pembangunan Manusia dan Makan Bergizi Anak Sekolah
Menunggu Perang Besar Hizbullah-Israel
Rekonstruksi Penyuluhan Pertanian Masa Depan
1.000 Pelajar Selami Dunia Otomotif di GIIAS 2024
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap