Balada Generasi Sandwich di Indonesia
BADAN Pusat Statistik (BPS) melaporkan penurunan jumlah kelas menengah dari 57,33 juta jiwa di 2019 menjadi 47,85 juta jiwa pada 2024, atau turun 9,48 juta jiwa. Jumlah kelas menengah dan menuju kelas menengah di 2024 sekitar 66,35% dari total penduduk. BPS menyebutkan nilai konsumsi pengeluaran dari kedua kelompok tersebut mencakup 81,49% dari total konsumsi masyarakat. Kondisi itu membuat kelas menengah memiliki peran krusial sebagai bantalan ekonomi nasional.
Survei Kompas pada 2022 menunjukkan generasi sandwich sering kali berasal dari kelas menengah-bawah. Laporan PEW Research Center mengklasifikasikan generasi sandwich adalah mereka yang memiliki orangtua yang masih hidup berusia 65 tahun atau lebih, dan membesarkan anak di bawah usia 18 tahun atau menghidupi anak yang sudah dewasa. Di Amerika Serikat terdapat sekitar 23% merupakan bagian dari generasi sandwich.
Laporan survei CNBC Indonesia, dari penduduk usia produktif (25-45 tahun) yang tersebar di seluruh Indonesia, sekitar 48,7% merupakan generasi sandwich, yang memiliki tanggungan finansial atas keluarganya.
Baca juga : Pemerintah Memantau Kondisi Kelas Menegah, Berharap Tidak Turun Kelas
Laporan BPS 2022 menunjukkan bahwa 44,6% masyarakat Indonesia memiliki ketergantungan terhadap usia produktif. Itu artinya dari setiap 100 orang usia nonproduktif terdapat 44 orang yang bergantung pada mereka yang produktif. Bahkan data BPS 2017 menunjukkan setidaknya 77,82% sumber pembiayaan rumah tangga lansia ditopang oleh anggota rumah tangga yang masih bekerja. Survei Kompas pada Agustus 2022 menyebutkan bahwa 7 dari 10 responden mengakui bahwa mereka merupakan bagian dari generasi sandwich.
Secara umum, dapat dikatakan generasi sandwich belum mampu merdeka secara finansial. Mereka memiliki tanggung jawab sosial, emosional, dan finansial untuk dua generasi dan/atau anggota sosial lain dalam waktu bersamaan. Tantangan dinamika ekonomi dan sosial yang makin berat membuat peran generasi sandwich semakin berat. Meningkatnya biaya hidup yang tidak sebanding dengan peningkatan gaji juga berdampak besar pada generasi sandwich.
Beban yang ditanggung oleh generasi sandwich semakin meningkat karena biaya pendidikan anak-anak mereka yang terus naik. Laporan BPS menunjukkan adanya kenaikan 10%-15% biaya pendidikan setiap tahunnya. Bahkan pada Agustus 2024, biaya pendidikan menjadi salah satu penyumbang inflasi tertinggi. Selain biaya pendidikan untuk anak, generasi sandwich juga dihadapkan pada biaya perawatan kesehatan untuk orangtua. Laporan BPS menunjukkan pada 2023 tercatat sekitar 41,49% lansia mengalami keluhan kesehatan.
Baca juga : Pertumbuhan Ekonomi Stagnan 5% karena Masalah Struktural di Era Jokowi
MI/Seno
Baca juga : Ini Tantangan Bagi Generasi Sandwich dalam Memiliki Rumah
Dampak psikologis dan kesehatan
Dampak tekanan yang dihadapi generasi sandwich tidak main-main. Budaya Indonesia yang unik membuat generasi sandwich di Indonesia kadang tidak hanya membantu dua generasi. Sering kali mereka juga memberikan bantuan kepada anggota keluarga lain, seperti saudara kandung dan kerabat. Banyak studi menunjukkan bahwa menjadi generasi sandwich berdampak pada kesehatan mental dan memiliki peluang lebih besar untuk mengalami tekanan psikologis.
Generasi sandwich dituntut untuk bisa membagi peran dan waktu, tuntutan waktu yang saling bersilang antara generasi di atas maupun di bawah, peran sebagai anak-orangtua, dan peran lain seperti peran pekerjaan. Hal itu tentunya dapat berdampak negatif pada kesehatan mental individu.
Baca juga : Kelas Menengah Terus Terhimpit
Berbagai studi menyatakan menjadi generasi sandwich lebih rentan terhadap depresi, merasa kesepian, burnout, stres, kecemasan, kesedihan, yang berpengaruh pada emosional, perasaan sedih, bersalah, dan emosi yang tidak stabil, juga dalam hal kognitif, pelupa, kehilangan konsentrasi.
Selain kesehatan mental yang tergganggu, generasi sandwich juga berhadapan dengan kesulitan untuk menyeimbangkan pekerjaan dan tanggung jawab keluarga, yang dapat mengakibatkan penurunan produktivitas kerja dan kualitas hidup. Mereka dituntut untuk dapat menyeimbangkan menejemen waktu antara beban mengasuh dua generasi dan tuntutan pekerjaan yang mereka miliki. Tindakan yang dilakukan oleh generasi sandwich untuk menyeimbangkan diri dalam peran keluarga dan pekerjaan profesional merupakan tantangan yang berat. Mereka membutuhkan energi, emosi, dan komunikasi yang diberikan kepada tiap-tiap kelompok secara berbeda, dan jika hal tersebut terjadi secara bersamaan, akan sulit untuk mengelola keduanya.
Generasi sandwich dituntut untuk dapat menyeimbangkan tanggung jawab pekerjaan dan keluarga, serta mengurus diri sendiri. Memiliki keseimbangan dalam pekerjaan dan kehidupan (work life balance) menjadi tantangan. Tanggung jawab besar yang diemban secara bersamaan ini berdampak tidak hanya menjadi tekanan mental yang besar, tapi juga penuruan kesehatan fisik. Sering kali generasi sandwich tidak memikirkan diri mereka sendiri dan mengabdikan diri dalam bentuk pelayanan kepada kelompok lain.
Dukungan sosial dan kebijakan publik
Peran unik yang diemban oleh generasi sandwich sering kali tidak mendapatkan dukungan sosial dari lingkungan dan bantuan dari pemangku kebijakan. Di Indonesia, sistem dana pensiun/jaminan hari tua bagi usia nonproduktif, yang masih belum maksimal, menjadi salah satu alasan usia nonproduktif masih harus bergantung pada mereka yang berusia produktif.
Melansir laporan Tempo, pada 2020 tercatat bahwa hanya ada 14,8% penduduk Indonesia di atas usia pensiun yang mendapatkan jaminan hari tua. Artinya masih ada sekitar 85% penduduk Indonesia yang belum memiliki jaminan hari tua. Kurangnya literasi generasi lama tentang mempersiapkan dana pensiun juga menjadi alasan lain ketergantungan lansia pada usia produktif.
Selain isu ekonomi pada lansia, isu kesehatan pada lansia juga menjadi tantangan lain. Generasi sandwich dituntut untuk mampu merawat orangtua yang memiliki kesehatan rentan. Laporan BPS menyebutkan 41,49% lansia mengalami keluhan kesehatan. Meskipun data BPS menunjukkan penurunan angka kesakitan lansia, tidak bisa dimungkiri kondisi semakin tua usia seseorang akan semakin rentan terpapar penyakit, dan semakin tinggi pula presentase keluhan penyakit yang diderita.
Tantangan selanjutnya ialah sulitnya mengakses pendidikan yang berkualitas untuk anak. Sebagai orangtua generasi sandwich pasti ingin menempatkan anak mereka agar mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Biaya sekolah yang naik tidak sebanding dengan kenaikan gaji membuat anak-anak yang berasal dari keluarga kurang mampu sukar mendapatkan pendidikan berkualitas.
Adapun wajib belajar 12 tahun yang digadang-gadang pemerintah belum maksimal. Laporan BPS dalam Susenas 2021, terdapat sekitar 76% keluarga mengakui anak mereka putus sekolah karena alasan ekonomi, sebagian besar (67,0%) di antaranya tidak mampu membayar biaya sekolah, dan sisanya (8,7%) lantaran harus mencari nafkah. Padahal, pendidikan adalah salah satu jalan terbaik untuk mengubah nasib seseorang. Namun, untuk mendapatkan akses pendidikan berkualitas masih sulit didapatkan.
Masa depan generasi sandwich
Merawat orangtua dan mengasuh anak secara bersamaan memang bukan hal yang mudah, meskipun laporan Kompas menunjukkan sebagian besar responden menyatakan bahwa yang mereka lakukan bukanlah sebuah beban, tapi bentuk kewajiban. Terdapat hubungan yang tidak sehat, khususnya untuk generasi yang akan datang.
Selain itu, kondisi tersebut akan membuat seseorang sukar untuk lompat ke kelas ekonomi atas serta menghampat perkembangan dan pertumbuhan ekonomi. Selain tidak sehat secara finansial, ada banyak energi dan emosi yang perlu dicurahkan untuk tiap-tiap peran secara terpisah. Terlebih, ada hubungan lain seperti hubungan dengan pekerjaan yang membutuhkan kekuatan emosi dan energi lain.
Meski demikian, ada beberapa alternatif untuk meningkatkan kualitas anak dari generasi sandwich, salah satunya melalui Kurikulum Merdeka Belajar yang digalakkan Kemendikbudristek. Kurikulum Merdeka Belajar yang cenderung fleksibel dapat menjadi alternatif menyesuaikan dengan kebutuhan tiap-tiap keluarga. Dengan memanfaatkan akses terhadap teknologi dan pembelajaran online diharapkan mampu meningkatkan kualitas pendidikan pada anak.
Selain itu, pembelajaran yang berbasis proyek atau mandiri yang memungkinkan anak-anak untuk belajar dengan lebih fleksibel tanpa harus terikat pada jam sekolah atau tuntunan dari orangtua yang ketat, sehingga mampu mengembangkan soft skills dan karakter pada anak. Melalui kurikulum ini, orangtua dan anak akan lebih terbantu dengan sistem yang lebih fleksibel dan adaptif dalam menghadapi setiap tantangan masa depan.
Ketika generasi sandwich sudah berusaha semaksimal mungkin dan telah mencapai pada titik tertentu, merasa sudah benar-benar tidak dapat bertahan, tahap ini berdampak pada kesehatan psikologis. Sebaiknya mereka segera berkonsultasi dengan profesional seperti psikolog atau psikiater.
Mencoba memberikan border dan menegaskan pada diri sendiri sampai pada tahap mana dapat membantu, menentukan skala prioritas, dapat menjadi salah satu alternatif untuk meringankan beban generasi sandwich. Melakukan manajemen waktu dan menjaga keseimbangan kehidupan kerja yang sehat, mencoba fokus memberikan waktu pada diri sendiri, dan mencoba menata ulang, mempelajari literasi keuangan, akan dapat memutus rantai lingkaran panas generasi sandwich. Karena setiap generasi sandwich tidak ingin menjadikan generasi di bawahnya sebagai generasi sandwich.
Generasi sandwich menghadapi tantangan besar di tengah rontoknya kelas menengah. Tanpa dukungan kebijakan yang memadai, generasi ini akan terus tertekan, yang tidak hanya akan berdampak pada kesehatan dan kesejahteraan individu, tetapi juga pada stabilitas sosial dan ekonomi secara keseluruhan. Dukungan yang lebih besar dari pemerintah dan masyarakat sangat dibutuhkan untuk meringankan beban mereka.
Terkini Lainnya
White Casa Residence Sasar Masyarakat Berpenghasilan Menengah
Jelang Penerapan PPN 12%, Airlangga Tegaskan Pemerintah Siapkan Paket Insentif
Penaikan UMP Untuk Tingkatkan Daya Beli Masyarakat
Mensos Enggan Berandai-andai Soal Bansos Kelas Menengah
Kelas Menengah akan Dapat Bansos Subsidi Listrik dari Prabowo sebelum PPN Naik 12%
Pemerintah Bidik Pertumbuhan Ekonomi 2025 5,3 Persen, CORE: Sulit
Babak Baru Eksplorasi Rupiah Digital
Menggagas (Re)posisi Santri sebagai Penggerak Kesejahteraan Sosial
Tinjauan Kekuatan Jejaring People to People Relations RI-Korsel Dari Darurat Militer ke Darurat Demokrasi
Guru Hebat Indonesia Kuat: Kunci Peningkatan Kualifikasi dan Kesejahteraan untuk Pendidikan Berkualitas
Pasang-Surut Pendidikan Perempuan di Arab Saudi
Bangkitnya BRICS dan Pudarnya Pesona Politik AS di Pentas Global
Drama Nasib Honorer Pasca-UU ASN
Takdir Mahmoud Abbas Pascaperang Gaza
Menyimak Pidato Megawati
PLTN di Tengah Dinamika Politik dan Korupsi, Siapkah Indonesia Maju?
Setelah 30 Kali Ditolak MK
Dokter Buruh
1.000 Pelajar Selami Dunia Otomotif di GIIAS 2024
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap