visitaaponce.com

Akuntabilitas Cerdas

Akuntabilitas Cerdas
(Dok. Pribadi)

AKUNTABILITAS pendidikan melalui penilaian standar (standardized assessment) sering kali dijadikan dasar bagi pemerintah untuk mendapatkan data makro mengenai hasil pembelajaran siswa. Namun, efektivitas pendekatan ini semakin dipertanyakan. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh praktik penilaian standar yang cenderung menjadi sekadar rutinitas tahunan, tanpa ada refleksi dan tindak lanjut yang mendalam terhadap hasil-hasil tersebut. Begitu hasil diumumkan, hiruk pikuk penilaian pun berakhir, dan jarang sekali diikuti dengan diskusi serius yang bertujuan memahami atau memperbaiki pencapaian siswa.

Masalah utamanya ialah rendahnya minat pengelola pendidikan, baik di tingkat dinas maupun sekolah, untuk mengevaluasi hasil penilaian secara menyeluruh dan merespons dengan langkah-langkah perbaikan. Ini mengakibatkan pencapaian siswa stagnan dari waktu ke waktu. Sebagai hasilnya, meskipun penilaian standar dilaksanakan, dampaknya terhadap peningkatan kualitas pembelajaran nyaris tidak terasa.

 

Risiko kontraksi kurikulum dan validitas data

Jika hasil penilaian standar digunakan sebagai penentu kelulusan siswa, ada potensi terjadinya kontraksi atau penyempitan kurikulum. Guru-guru di kelas akhir sering kali hanya fokus pada tema atau keterampilan yang diprediksi muncul dalam soal, sebuah pendekatan yang dikenal dengan teaching to the test.

Praktik ini menimbulkan tiga masalah utama. Yaitu, pertama, penyempitan materi. Guru fokus pada topik ujian, mengabaikan bagian kurikulum penting untuk keterampilan kritis dan kreatif. Kedua, pengabaian keterampilan jangka panjang. Tes standar mengukur keterampilan akademis, sementara kerja tim dan komunikasi diabaikan. Dan, ketiga, pembelajaran jangka pendek. Siswa diarahkan menghafal demi tes sehingga pengetahuan cepat dilupakan dan sulit diterapkan.

Dalam konteks penilaian standar, validitas data yang dihasilkan sering kali dipertanyakan karena beberapa alasan berikut. Pertama, kualitas pelaksanaan buruk. Pengawasan lemah dan persiapan kurang menyebabkan data tidak akurat. Kedua, pengaruh eksternal. Faktor seperti stres dan kondisi sosial-ekonomi diabaikan membuat hasil tes menyesatkan. Ketiga, pengabaian konteks lokal. Penilaian seragam mengabaikan perbedaan antarsekolah, menciptakan perbandingan tidak adil. Dan, keempat, manipulasi data. Tekanan hasil baik mendorong manipulasi sehingga data tidak valid dan keputusan yang diambil bisa menyesatkan (misleading).

 

Mengapa akuntabilitas cerdas?

Dengan segala kekurangan tersebut, bagaimana pemerintah bisa menjamin bahwa praktik pendidikan sudah berjalan dengan baik dan benar? Adakah pendekatan yang lebih bermakna untuk memastikan akuntabilitas pengelola pendidikan dalam mendukung pembangunan bangsa?

Konsep akuntabilitas cerdas (intelligent accountability) menawarkan jawaban yang menarik. Pendekatan ini tidak hanya berfokus pada pengukuran hasil akhir, tetapi juga pada proses menciptakan pembelajaran dan penilaian yang lebih bermakna (meaningful learning and assessment).

Dalam akuntabilitas cerdas, guru-guru memegang peran kunci. Mereka didorong untuk terus mengembangkan keterampilan profesional, bekerja dalam kerangka organisasi pembelajaran (learning organization) yang berkolaborasi melalui kepemimpinan terdistribusi dan komunitas pembelajaran profesional (Tolo S, dkk, 2019).

Dalam konteks ini, menurut Tolo (2019), pimpinan sekolah memainkan peran strategis sebagai penghubung antara dinas pendidikan dan guru. Mereka bertanggung jawab memastikan pengembangan profesional guru berjalan berkelanjutan dan efektif. Oleh karena itu, akuntabilitas tidak hanya diukur dari hasil penilaian standar, tetapi juga dari sejauh mana proses pembelajaran di kelas mendorong kemandirian siswa dalam berpikir, dan kemampuan transfer pengetahuan untuk menyelesaikan masalah nyata dalam kehidupan mereka.

 

Penilaian bermakna

Salah satu elemen kunci dari akuntabilitas cerdas ialah penilaian bermakna. Dalam sistem pendidikan tradisional, penilaian standar sering kali menggunakan pendekatan norm-referenced measurement, di mana siswa dibandingkan dengan siswa lain dan ditempatkan dalam peringkat tertentu. Namun, paradigma ini mulai bergeser. Sekarang, masyarakat dan pemangku kepentingan pendidikan lebih tertarik pada pencapaian kompetensi individu siswa berdasarkan kriteria yang sudah ditentukan oleh kurikulum, atau criterion-referenced measurement.

Pengguna hasil penilaian kini lebih memperhatikan kemampuan siswa yang relevan dengan kebutuhan dunia nyata daripada sekadar melihat ranking. Sebuah peringkat akan kehilangan makna jika kompetensi siswa tidak sesuai dengan ekspektasi pembelajaran. Oleh karena itu, penilaian yang baik harus dirancang untuk tidak hanya mengukur hasil akhir, tetapi juga mendukung proses pembelajaran siswa secara keseluruhan.

Menurut Stiggins (2007), penilaian bertujuan mengumpulkan bukti yang dapat digunakan untuk membuat keputusan terkait pembelajaran siswa. Penilaian juga dapat mendorong siswa untuk belajar dengan lebih baik. Sekolah yang efektif adalah sekolah yang bisa melayani kedua tujuan ini secara seimbang dan terukur. Agar hasil penilaian tepat sasaran, Stiggins menekankan bahwa penilaian berkualitas--setidaknya--memenuhi tiga standar kualitas berikut. Yakni, pertama, penilaian perlu dirancang dengan tujuan yang jelas dan dapat diukur. Kedua, penilaian harus mampu menggambarkan pencapaian belajar siswa sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Ketiga, penilaian juga harus disusun secara spesifik untuk mencapai tujuan tertentu berdasarkan target dan konteks unik di setiap sekolah.

 

Dalam kerangka akuntabilitas cerdas, keseimbangan antara kebutuhan akuntabilitas publik dan peningkatan kualitas pembelajaran siswa menjadi sangat penting. Akuntabilitas cerdas berorientasi pada proses belajar di kelas yang lebih sensitif terhadap kebutuhan individu siswa dan perkembangan mereka.

 

Penilaian formatif

Pergeseran menuju pendekatan yang lebih bermakna dalam penilaian pendidikan juga diperkuat oleh penelitian tentang efektivitas penilaian formatif. Penelitian oleh Black dan William (1998), serta Hattie dan Timperley (2007), menunjukkan bahwa penilaian formatif memiliki dampak positif yang signifikan terhadap mutu pendidikan secara makro. Popham (2008) menegaskan bahwa penilaian standar saja tidak akan cukup untuk meningkatkan mutu pendidikan jika penilaian pada tingkat kelas diabaikan.

Dengan demikian, akuntabilitas cerdas menekankan pentingnya penilaian yang tidak hanya mengukur pencapaian, tetapi juga berfungsi sebagai alat untuk memperbaiki proses pembelajaran secara keseluruhan. Penilaian formatif yang terintegrasi dengan pembelajaran harian menjadi kunci dalam menciptakan pendidikan yang berkualitas dan berdampak jangka panjang.

Akuntabilitas dalam pendidikan tidak bisa hanya dilihat dari hasil penilaian standar yang kerap menimbulkan masalah kontraproduktif. Akuntabilitas cerdas menawarkan paradigma baru yang lebih holistik, di mana fokus tidak hanya pada pencapaian angka, tetapi juga pada pengembangan kompetensi dan proses pembelajaran yang bermakna. Melalui pendekatan itu, diharapkan pendidikan nasional dapat terus bertumbuh secara signifikan dan relevan dengan kebutuhan dunia yang terus berkembang.

Wallahu a’lam.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat