visitaaponce.com

Kabinet Merah Putih dan Tantangan Demokratisasi

Kabinet Merah Putih dan Tantangan Demokratisasi
(Dok. Pribadi)

ADA tiga kata yang bisa menggambarkan Kabinet Merah Putih bentukan Presiden Prabowo Subianto: pelangi, gado-gado, dan 'gemoy'. Pelangi karena mencerminkan spektrum ideologi yang beragam dari 'sayap kiri' hingga 'sayap kanan'. Gado-gado karena mewakili berbagai unsur, dari politikus, aktivis ormas, akademisi, tokoh agama, influencer, hingga selebritas. 'Gemoy' karena personel menteri-wakil menteri, dan lembaga setingkat menteri, jumlahnya lebih dari 100 orang.

Kabinet itu patut diapresiasi karena bisa dikatakan, gagasan rekonsiliasi nasional, yang selama ini hanya menggema di ruang-ruang diskusi, seminar, atau sarasehan, direalisasikan Presiden Prabowo dalam kabinetnya. Kelompok-kelompok yang bertentangan secara diametral pada era sebelumnya, bahkan saling sindir dan saling ejek pada saat debat capres-cawapres, kini 'disatukan' dalam kabinet. Polarisasi politik otomatis bisa diredam, semoga bukan untuk sementara waktu.

Penamaan 'Merah Putih' pun mengindikasikan adanya upaya yang kuat untuk mempersatukan beragam kepentingan. Itu termasuk yang selama ini saling bertabrakan, demi mewujudkan cita-cita bersama: menjadi bangsa yang bersatu, kuat, adil, makmur, dan sejahtera di bawah panji-panji merah putih.

Setelah melihat fakta itu, ungkapan klasik negarawan Jerman Otto von Bismarck (1815-1898) bahwa 'politik adalah seni dari segala kemungkinan' menemukan relevansinya. Di arena politik, tidak ada yang tidak mungkin. Tidak ada kawan atau lawan yang abadi. Dalam kurun waktu relatif singkat, seteru bisa jadi bendu, lawan bisa jadi kawan.

Namun, mungkin perlu juga dicermati apa yang diungkapkan Thomas Carothers dalam Confronting the Weakest Link: Aiding Political Parties in New Democracies (2006) bahwa polarisasi yang ekstrem dapat merusak demokrasi dengan menciptakan jurang yang dalam di antara kelompok masyarakat. Polarisasi, menurut Carothers, sering kali berujung pada perpecahan sosial yang menghambat kolaborasi dan kesepakatan dalam proses politik. Ketika polarisasi meningkat, sulit untuk mencapai konsensus atau membangun koalisi lintas partai yang solid. Jika gagal diantisipasi, suasana seperti itu bisa mengakibatkan kemacetan yang menghambat jalannya program.

Karena berangkat dengan kabinet yang secara politik saling kontradiktif itulah, di tahap-tahap awal, Prabowo akan menghadapi tantangan untuk memastikan stabilitas politik di tengah koalisi besar yang dibentuk. Retret Hambalang dan Magelang pun dicanangkan, terutama untuk mempersatukan visi dan misi.

Dengan spektrum politik yang luas, menjaga kepentingan berbagai pihak di dalam koalisi akan menjadi tantangan tersendiri. Ada potensi konflik internal dalam koalisi yang jika tidak diantisipasi bisa menimbulkan perpecahan yang dapat mengganggu stabilitas politik nasional. Sebagai tokoh militer yang dikenal tegas, Prabowo dapat memanfaatkan kepemimpinan kuatnya untuk memastikan koordinasi yang solid di dalam koalisi. Menyeimbangkan aspirasi koalisi melalui dialog yang inklusif akan membantu mengurangi potensi konflik.

MI/Seno

 

Tantangan demokratisasi

Yascha Mounk dalam The People Vs Democracy: Why Our Freedom is in Danger and How to Save It (2018) mengatakan gelombang populisme menjadi tantangan yang mengancam stabilitas demokrasi. Populisme sering mengangkat pemimpin yang cenderung otoritarian, dengan mengeklaim mewakili 'suara rakyat' sembari melemahkan norma-norma demokrasi seperti kebebasan pers dan penghormatan pada oposisi. Itu sering kali terjadi ketika pemimpin populis menyerang media, menyebarkan disinformasi, atau mengabaikan norma hukum.

Salah satu isu yang patut dicermati ialah bagaimana Presiden Prabowo akan menangani kebebasan sipil dan kritik terhadap pemerintah. Sebagai mantan pejabat militer, Prabowo memiliki reputasi yang dianggap skeptis terhadap demokrasi liberal, yang menimbulkan kekhawatiran mengenai kemungkinan pembatasan hak-hak sipil dan kebebasan berbicara.

Menurut Larry Diamond dalam Developing Democracy: Toward Consolidation (1999), kerapuhan lembaga demokrasi ialah tantangan yang signifikan, terutama di negara-negara yang baru mengalami transisi demokrasi. Lembaga seperti parlemen, pengadilan, dan komisi pemilihan cenderung rentan terhadap pengaruh kekuasaan, korupsi, dan intervensi politik. Diamond menekankan pentingnya kelembagaan yang kuat agar demokrasi tetap bertahan dari krisis.

Sementara itu, menurut Alina Mungiu-Pippidi dalam The Quest for Good Governance: How Societies Develop Control of Corruption (2015), korupsi merupakan tantangan terbesar bagi demokratisasi. Korupsi melemahkan kepercayaan publik terhadap pemerintah dan menghambat transparansi serta akuntabilitas. Negara yang gagal menangani korupsi cenderung sulit mempertahankan demokrasi yang efektif karena kekuasaan hanya akan berpusat pada segelintir elite, yang terus berusaha mempertahankan status quo.

Di Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lembaga-lembaga demokrasi lainnya, yang telah mengalami pelemahan selama beberapa tahun terakhir, perlu diperkuat. Tantangannya ialah bagaimana menjaga independensi lembaga-lembaga tersebut dari campur tangan politik.

Jika Prabowo berkomitmen pada demokrasi, kiranya penting untuk melakukan reformasi terhadap undang-undang represif seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), serta memberikan perlindungan lebih besar kepada aktivis dan media.

Dalam soal pemberantasan korupsi sebagaimana kerap disuarakan Presiden Prabowo termasuk pada saat meminta calon anggota kabinet dari partai-partai koalisi, saat pidato pertama setelah pelantikan di hadapan Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dan dalam acara retret baik di Hambalang maupun Magelang, semoga tak berhenti pada wacana belaka. Publik Indonesia sudah bosan dengan wacana pemberantasan korupsi. Yang dibutuhkan ialah komitmen untuk merealisasikannya, menindak tegas para koruptor dengan tanpa pandang bulu, tidak hanya tegas pada lawan politik, tetapi lembek pada kerabat dan kawan sendiri.

 

Pelanggaran HAM

Kasus pelanggaran HAM yang belum terselesaikan, termasuk Peristiwa 1998 dan konflik di Papua, akan menjadi salah satu ujian utama Kabinet Merah Putih. Diakui atau pun tidak, Prabowo yang kerap dikaitkan dengan beberapa isu pelanggaran HAM masa lalu masih menjadi gunjingan, terutama di kalangan aktivis dari masyarakat sipil. Bahkan, pernyataan salah satu menteri senior bahwa tidak ada pelanggaran HAM berat dalam huru-hara politik 1998, jika saja tidak segera diluruskan, akan menjadi blunder politik yang sulit dimaafkan.

Belum lagi soal penanganan konflik di Papua, yang melibatkan tindakan represif aparat keamanan, terus menjadi tantangan besar bagi pemerintah. Hak-hak masyarakat adat dan penyelesaian konflik secara damai ialah tuntutan utama.

Prabowo bisa menggunakan pendekatan rekonsiliasi dalam penyelesaian kasus-kasus HAM masa lalu, seperti yang diupayakan sebelumnya. Pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi bisa menjadi langkah nyata untuk mengatasi masalah ini. Dengan mengedepankan solusi dialogis ketimbang pendekatan militeristis di Papua akan menunjukkan komitmen pemerintah terhadap penegakan HAM.

Dalam menyelesaikan masalah HAM masa lalu, dibutuhkan tak cuma komitmen tapi juga langkah-langkah nyata. Caranya, bisa meniru apa yang pernah ditempuh Nelson Mandela ketika terpilih menjadi presiden Afrika Selatan, yakni melalui penegakan hukum secara proporsional, pengampunan, dan rekonsiliasi nasional. Memaafkan tanpa melupakan menjadi klausul yang penting agar kasus-kasus pelanggaran HAM menjadi pelajaran berharga bagi generasi mendatang.

 

Perlindungan minoritas

Dalam bidang kehidupan beragama, tantangan utamanya ialah kecenderungan meningkatnya intoleransi dan politisasi agama. Dalam menghadapi wacana konservatisme agama di ruang publik, dan praktiknya di arena politik, Prabowo harus menghadapinya dengan mengedepankan komitmen kebangsaan dengan mengacu pada konstitusi negara.

Kasus-kasus intoleransi terhadap kelompok minoritas agama, seperti pengusiran kelompok Ahmadiyah dan Syiah, para pemeluk agama minoritas yang sulit mendapatkan perizinan pembangunan tempat ibadah, merupakan masalah sensitif yang memerlukan perhatian khusus.

Kita tahu, beragama dan berkeyakinan, serta menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan agama masing-masing, merupakan hak asasi yang dijamin konstitusi. Namun, jaminan itu belum sepenuhnya ditaati pemerintah; alih-alih memenuhinya, malah ada di antara pejabat yang melanggarnya dengan ikut serta bersama anggota masyarakat yang intoleran melakukan persekusi dan pelarangan atau penyegelan tempat ibadah.

Dalam mengatasi masalah itu, Presiden Prabowo dapat memperkuat peraturan yang melindungi hak-hak kelompok minoritas, dan memastikan implementasi hukum yang adil terkait kebebasan beragama. Pemerintah harus terus-menerus mempromosikan narasi kebinekaan yang lebih inklusif, untuk meredam ketegangan berbasis agama.

 

Ketimpangan sosial-ekonomi

Ketimpangan sosial dan ekonomi masih menjadi masalah besar di Indonesia. Kabinet Merah Putih menghadapi tantangan untuk menyelesaikan kesenjangan itu, terutama terkait dengan akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja. Ketimpangan antara daerah perkotaan dan perdesaan juga tetap signifikan.

Pada Maret 2024, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat rasio Gini Indonesia berada di angka 0,379. Angka itu menunjukkan sedikit penurunan dari 0,388 pada Maret 2023. Ketimpangan di daerah perkotaan tercatat lebih tinggi dengan rasio Gini sebesar 0,399, sementara di perdesaan lebih rendah, yaitu 0,306. Hal itu menandakan bahwa ketimpangan di perkotaan masih lebih besar jika dibandingkan dengan perdesaan di Indonesia.

Presiden Prabowo bisa mengatasi ketimpangan dengan memperluas program jaminan sosial dan pengembangan ekonomi daerah, serta mendorong investasi yang selain padat modal juga padat karya, terutama di sektor-sektor yang menciptakan lapangan kerja di wilayah-wilayah yang kurang berkembang.

 

Menghapus trauma

Sebagai catatan akhir dari tulisan sederhana ini, Indonesia memiliki pengalaman buruk dengan kabinet yang beranggotakan lebih dari seratus menteri pada era Orde Lama yang dikenal dengan Kabinet Dwikora II. Sebagian besar masyarakat, terlebih aktivis 66, masih menyimpan trauma dengan kabinet itu.

Dengan visi-misi yang jelas dan koordinasi politik yang baik, Presiden Prabowo dengan kabinetnya diharapkan bisa menghapus trauma masa lalu dengan cara memperbaiki beberapa kelemahan struktural di era sebelumnya, dan terus memupuk kepercayaan masyarakat pada pemerintahan baru dengan merealisasikan program-program yang telah dicanangkannya.

Kunci sukses pemerintahan ini ialah kecakapan dan ketepatan mereka dalam menangani isu-isu krusial seperti polarisasi politik, korupsi, penegakan hukum dan HAM, pluralisme agama, dan ketimpangan sosial, dengan tetap mempertahankan kebebasan sipil dan politik yang menjadi fondasi utama proses demokratisasi di Indonesia.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat