Olimpiade Astronomi dan Islam Berkemajuan
SEJARAH mencatat bahwa Olimpiade pertama kali berlangsung di Yunani kuno sekitar 776 Sebelum Masehi, pada musim panas. Begitu pula era modern, Ilimpiade pertama diadakan di Athena Yunani. Dalam bahasa Arab, istilah olimpiade semakna dengan istilah 'musabaqah'. Namun, dalam praktiknya, keduanya memiliki perbedaan.
Adapun A Dictionary of Modern Written Arabic karya Hans Wehr menggunakan istilah 'competition' untuk menerjemahkan kata 'musabaqah'. Sementara itu, Kamus Besar Bahasa Indonesia pada halaman 797 menjelaskan bahwa olimpiade ialah pertandingan olahraga amatir antarbangsa yang diadakan setiap empat tahun sekali.
MI/Seno
Semula olimpiade hanya dikhususkan persoalan olahraga. Seiring dengan perkembangan zaman, istilah olimpiade juga digunakan di bidang lainnya, seperti olimpiade sains dan matematika yang dikenal dengan International Mathematics and Science Olympiad (IMSO).
Selama ini, istilah olimpiade cenderung diasosiasikan dengan kompetisi yang memiliki berbagai standar ketat dan melibatkan seleksi berjenjang (lokal, nasional, regional, dan internasional). Olimpiade biasanya juga diselenggarakan secara rutin (misalnya, setiap 2 atau 4 tahun).
Sementara itu, dalam tradisi Islam, musabaqah mencerminkan semangat kompetisi sehat yang dapat diterapkan bukan hanya dalam skala internasional, melainkan juga pada konteks sehari-hari. Olimpiade modern membawa semangat global yang relevan dengan nilai-nilai Islam, seperti sportivitas dan persaudaraan, yang dapat dijadikan inspirasi bagi kompetsi berbasis ilmu, termasuk olimpiade astronomi Islam.
Kaitannya dengan astronomi Islam, Muhammadiyah sebagai peletak dasar penggunaan hisab di Indonesia sudah saatnya merintis penyelenggaraan Olimpiade Astronomi Islam sebagai implementasi Islam Berkemajuan. Dalam Risalah Islam Berkemajuan, dinyatakan salah satu bagian dari perwujudan Islam berkemajuan ialah gerakan ilmu.
Islam berkemajuan meniscayakan gerakan ilmu yang berfungsi mencerahkan umat agar tidak tertinggal di bidang sains dan teknologi. Untuk itu, kehadiran Olimpiade Astronomi Islam merupakan sebuah keniscayaan dan langkah awal memajukan sains di dunia Islam. Olimpiade Astronomi Islam bisa menjadi langkah strategis untuk memajukan literasi dan pemahaman umat Islam, khususnya di lingkungan Muhammadiyah terkait dengan astronomi, terutama yang berkaitan dengan penghitungan waktu ibadah, kalender Islam, dan fenomena alam lainnya.
Penyelenggaraan olimpiade itu dapat meningkatkan antusiasme generasi muda terhadap astronomi Islam dengan mengintegrasikan terhadap keislaman dan pendekatan ilmiah kontemporer. Hal itu sangat relevan mengingat ilmu falak memiliki akar yang kuat dalam sejarah sains Islam dan perannya sangat besar dalam praktik ibadah sehari-hari seperti penentuan waktu salat, puasa, Idul Fitri, dan gerhana.
Olimpiade Astronomi Islam membangun tradisi keterbukaan pada pendekatan ilmiah modern. Meskipun astronomi Islam (ilmu falak) berbasis pada tradisi Islam, olimpiade tersebut dapat menggabungkan konsep-konsep astronomi modern yang bisa memperkuat pemahaman masyarakat akan pentingnya sains dalam menentukan kalender Islam dan observasi hilal.
Generasi muda yang memahami konsep-konsep itu dapat menjadi jembatan dalam mempertemukan metode hisab dan rukyat. Dalam jangka panjang, olimpiade tersebur dapat mencetak kader-kader ahli di bidang astronomi Islam yang tidak hanya memahami ilmu falak secara tradisional, tetapi juga mampu menerapkan teknologi dan pemikiran sains modern. Mereka bisa menjadi agen perubahan yang memperbarui ilmu falak dalam konteks global.
Olimpiade tersebut juga bisa menumbuhkan rasa bangga di kalangan generasi muda terhadap kontribusi Islam dalam dunia sains. Pada masa keemasan Islam (golden age), ilmuwan seperti Abu Ja'far Muhammad bin Musa al-Khawarizmi (w 232/848), Ibn Yunus (w 399/1009), Abu Raihan Muhammad bin Ahmad al-Biruni (w 440/1048), dan Nashiruddin at-Tusi (w 672/1273) sudah mengkaji astronomi dengan cermat, seperti konsep periode sinodis yang digagas al-Biruni.
Menurutnya, periode sinodis bulan rata-rata ialah 29,530555 hari. Jika dibandingkan dengan konsep modern, terjadi selisih 0,000333 hari setiap bulan. Selisih itu, menurut Saiyid Samad Rizvi, tidak begitu berarti karena baru selama 2.500 tahun akan selisih 1 hari antara kalender Hijriah yang disusun al-Biruni dan kalender Hijriah yang mendasarkan teori astronomi modern.
Olimpiade itu dapat menjadi momen untuk mengingatkan kembali sejarah itu dan mendorong kebangkitan sains Islam. Selain itu, Olimpiade Astronomi Islam bisa membangun 'dialog antarmazhab' dalam mencari solusi terhadap perbedaan penentuan awal bulan Hijriah dan kalender Islam global.
Selain manfaatnya, penyelenggaraan Olimpiade Astronomi Islam menghadapi berbagai tantangan, seperti kebutuhan kurikulum yang mengintegrasikan nilai-nilai astronomi Islam dengan pendekatan sains modern. Begitu pula keterlibatan para ahli multidisiplin serta dukungan dari lembaga keagamaan dan ilmiah. Dengan dukungan yang tepat, Olimpiade Astronomi Islam bisa menjadi titik awal untuk memajukan astronomi Islam di dunia Islam serta membawa Islam lebih akrab dengan sains pada masa depan.
Agar Olimpiade Astronomi Islam dapat terealisasi secara efektif dan mencapai tujuannya, beberapa langkah berikut dapat dipertimbangkan. Pertama, pembentukan tim perumus kurikulum dan materi. Membentuk tim khusus yang terdiri atas pakar astronomi Islam, ilmuwan astronomi, dan ahli pendidikan untuk merumuskan kurikulum olimpiade.
Kurikulum tersebut harus mencakup dasar-dasar astronomi Islam (seperti perhitungan waktu salat, penentuan hilal, dan kalender Hijriah) serta astronomi modern, yang mendukung kajian astronomi Islam, seperti astrofisika dasar dan teknologi observasi.
Kedua, kolaborasi antara lembaga ilmiah dan keagamaan. Untuk itu, perlu menggandeng lembaga seperti Badan Riset dan Inovasi (BRIN), Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Planetarium, Observatorium Bosscha, Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama, serta lembaga astronomi internasional.
Kerja sama itu tidak hanya memperkuat dukungan, tetapi juga memperkaya disiplin keilmuan serta memastikan bahwa kegiatan tersebut memperoleh pengakuan dan dukungan lintas organisasi. Tidak kalah penting, menyusun kompetisi berjenjang. Olimpiade bisa dimulai dengan level sekolah hingga universitas. Tingkat awal mungkin dapat difokuskan pada pengetahuan dasar astronomi dan falak, lalu di tingkat lanjut mencakup pemecahan masalah yang lebih kompleks, seperti penggunaan software Stellarium, simulasi penentuan hilal atau kalkulasi fenomena gerhana. Tahapan itu juga dapat menciptakan proses seleksi yang adil dan menghasilkan talenta terbaik.
Ketiga, menyediakan program pelatihan bagi peserta, baik melalui sekolah-sekolah maupun komunitas astronomi, sehingga mereka memiliki pemahaman yang mendalam sebelum mengikuti olimpiade. Pembimbing juga perlu mendapatkan pelatihan terkait dengan materi dan metode pengajaran astronomi yang relevan agar dapat memberikan bimbingan yang maksimal.
Penggunaan alat bantu pembelajaran digital dengan membuat aplikasi atau platform e-learning yang memuat modul-modul astronomi Islam dan astronomi umum, latihan soal, serta simulasi interaktif yang dapat diakses oleh peserta di seluruh Indonesia. Itu akan memudahkan peserta dalam memahami materi dan memberikan kesempatan yang sama, baik bagi mereka yang tinggal di perkotaan maupun di perdesaan. Untuk itu, perlu melakukan kampanye pendidikan melalui media sosial, sekolah, dan masjid untuk memperkenalkan astronomi Islam dan manfaatnya bagi masyarakat luas. Kampanye itu juga penting untuk membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya astronomi Isam dalam kehidupan sehari-hari dan dalam pelaksanaan ibadah.
Untuk menjaga kesinambungan dan relevansi Olimpiade Astronomi Islam, diperlukan rencana jangka panjang yang meliputi program tahunan, pengembangan materi, evaluasi, serta penyesuaian terhadap perkembangan teknologi. Dalam jangka panjang, Muhammadiyah dapat merintis penyelenggaraan Olimpiade Astronomi Islam Internasional atau International Islamic Astronomy Olimpiad (IIAO) dengan peserta dari berbagai negeri muslim.
Tema yang diusung fokus tentang kalender Islam global, fenomena fajar, dan kontribusi ilmuwan muslim di bidang sains. Untuk itu, perlu dibuatkan standardisasi materi dan kriteria kompetisi yang diakui secara internasional dengan melibatkan para ulama dan ilmuwan untuk memadukan khazanah Islam dan sains modern. Inilah 'proyek peradaban Islam berkemajuan'. Dengan pendekatan yang terstruktur dan kolaborasi lintas sektor, Olimpiade Astronomi Islam dapat menjadi ajang yang bukan hanya kompetisi, melainkan juga sarana edukasi yang bermanfaat luas bagi kemajuan astronomi dan ilmu falak di dunia Islam.
Jika Muhammadiyah mengadakan Ilimpiade Astronomi Islam, pelaksanaannya bisa dilakukan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid karena majelis itu memiliki tanggung jawab dalam pengembangan astronomi Islam dan kajian keislaman berbasis sains. Selain itu, Majelis Pendidikan Dasar Menengah dan Pendidikan Formal (Dikdasmen), Majelis PendidikanTinggi Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Observatorium Ilmu Falak (OIF) UMSU, Observatorium UAD, dan Observatorium Unismuh Makassar juga bisa terlibat sebagai penyelenggara Olimpiade Astronomi Islam, terutama dalam hal sosialisasi dan pelaksanaan di berbagai sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah. Majelis tersebut memiliki jaringan luas di lembaga pendidikan yang bisa membantu memperkenalkan astronomi Islam sejak dini kepada siswa dan mahasiswa.
Kolaborasi antara Majelis Tarjih dan Tajdid, Majelis Pendidikan Dasar Menengah dan Pendidikan Nonformal, Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, OIF UMSU, Observatorium UAD, dan Observatorium Unismuh Makassar akan menciptakan sinergi yang kuat.
Majelis Pendidikan bisa berfokus pada aspek pelaksanaan dan pengembangan kompetisi di tingkat sekolah dan kampus, sementara Majelis Tarjih dan Tajdid memberikan konten dan panduan teknis yang spesifik di bidang astronomi Islam berkolaborasi dengan lembaga-lembaga terkait, seperti Observatorium Bosscha dan program studi ilmu falak. Dengan demikian, olimpiade itu dapat berjalan efektif dan merata di berbagai jenjang pendidikan Muhammadiyah.
Olimpiade Astronomi Islam dapat dilaksanakan menjelang Muktamar Muhammadiyah, yang merupakan agenda nasional paling bergengsi di Muhammadiyah yang menarik perhatian nasional bahkan internasional, sehingga Ilimpiade Astronomi Islam yang diselenggarakan berdekatan dengan muktamar akan mendapatkan lebih banyak perhatian dari anggota, pimpinan, serta masyarakat umum.
Hal itu juga bisa memperkuat citra Muhammadiyah sebagai organisasi yang memajukan ilmu pengetahuan Islam. Penghargaan bagi pemenang olimpiade dapat dilaksanakan saat muktamar, menjadikannya lebih bermakna dan bergengsi.
Pemberian penghargaan dalam acara besar itu akan menjadi inspirasi bagi para peserta muda untuk berprestasi di bidang astronomi Islam. Dengan demikian, mengadakan Olimpiade Astronomi Islam menjelang Muktamar Muhammadiyah dapat menjadi tradisi unggulan, memperkuat peran Muhammadiyah dalam memajukan astronomi Islam serta mendukung misi dakwah berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi.
Terkini Lainnya
112 Tahun Muhammadiyah dan Pentingnya Menjadi Gerakan Ilmu
Pilkada 2024, Momentum Menyelamatkan Demokrasi
Pesan Ketum PP Muhammadiyah untuk Kaum Muda
Prabowo-Gibran Resmi Dilantik, Muhammadiyah Ucapkan Selamat
Menjaga Asa Mandatori Sertifikasi Produk Halal
Rumi, Perempuan, dan Kesehatan Mental: Refleksi Haul Ke-750 Rumi
Profesor Kehormatan
Realitas Baru Timur Tengah
Indonesia Kekurangan Dokter: Fakta atau Mitos?
Serentak Pilkada, Serentak Sukacita
1.000 Pelajar Selami Dunia Otomotif di GIIAS 2024
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap