visitaaponce.com

Miftah, Taim, atau Siapa pun Dia, dan Kita

Miftah, Ta’im, atau Siapa pun Dia, dan Kita
(MI/Duta)

SUMPAH, saya baru sekali mendengar langsung ceramah Miftah, Ta'im, atau siapa pun dia. Moga itu yang pertama dan terakhir saya mendengar langsung ceramahnya.

Ketika itu, pada 2022, Menteri Komunikasi dan Informatika meminta saya sebagai dirjennya mewakilinya menghadiri peringatan Hari Ulang Tahun Ke-50 Himpunan Pengusaha Muda Indonesia di Jakarta. Presiden Jokowi dan sejumlah menteri hadir.

Karena mewakili menteri, saya didudukkan di deretan para menteri di baris depan sayap kanan menghadap panggung. Presiden bersama sejumlah menteri lain duduk di bagian tengah di deretan depan, sebaris dengan tempat duduk saya, tapu dipisahkan lorong tempat tamu berlalu lalang.

Bahlil Lahadalia ialah salah satu menteri yang duduk bersebelahan dengan presiden. Bahlil Ketua Umum Hipmi periode sebelumnya. Ketua Hipmi saat peringatan HUT Hipmi itu ialah Mardani Maning yang juga duduk satu deret dengan Presiden. Mardani, 19 hari setelah peringatan HUT Ke-50 Hipmi itu, ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi.

Miftah, Ta'im, atau siapa pun dia kebagian peran membaca doa. Sebelum berdoa, dia berceramah singkat. Yang paling saya ingat, dalam ceramahnya dia mengatakan kira-kira, Bahlil diangkat Presiden Jokowi menjadi Menteri Investasi karena kejenakaannya, bukan kompetensinya.

Bahlil dalam sambutannya di acara itu memang banyak melucu. Saya lirik Presiden tertawa mendengar ceramah Miftah, Ta’im, atau siapa pun dia. Bahlil juga tertawa. Hadirin pun tertawa. Saya terbawa arus ikut tertawa. Siapa yang kami tertawai? Miftah, Ta’im, atau siapa pun dia? Bukan.

Hadirin sesungguhnya menertawai korban lawakan Miftah, Ta’im, atau siapa pun dia. Lawakannya senantiasa membawa korban serupa Sonhaji penjual es teh yang diolok-oloknya dalam satu ceramahnya.

Siapa korban Miftah, Ta’im, atau siapa pun dia? Pertama-tama Menteri Bahlil. Miftah, Ta’im, atau siapa pun dia mengorbankan Bahlil sebagai menteri yang diangkat presiden karena kejenakaannya, bukan kompetensinya.

Korban kedua Presiden Jokowi. Miftah, Ta’im, atau siapa pun dia mengorbankan Jokowi sebagai Presiden yang mengangkat menteri berdasarkan kejenakaannya, bukan kompetensinya. Berani betul Miftah, Ta’im, atau siapa pun dia menjadikan pimpinan tertinggi negara ini sebagai korban candaannya.

Korban ketiga hadirin dan rakyat Indonesia. Miftah, Ta’im, atau siapa pun dia serupa menyebut rakyat telah memilih dan atau mempunyai presiden yang mengangkat pembantunya karena kelucuannya, bukan kompetensinya.

Presiden Jokowi, Menteri Bahlil, saya, hadirin, dan rakyat Indonesia semestinya tersinggung dengan Miftah, Ta’im, atau siapa pun dia yang telah mempermalukan kita semua dengan lawakannya.

Akan tetapi, kita memakluminya sebagai candaan. Kita pun tertawa, menertawai diri sendiri, mendengar candaan Miftah, Ta’im, atau siapa pun dia. Itu serupa hadirin menertawai Sonhaji, korban olok-olok Miftah, Ta’im, atau siapa pun dia dalam satu pengajian yang viral itu.

Kita memang bangsa pemaklum. Kita bahkan memaklumi dan menoleransi ketidakpantasan atau ketidaketisan yang lebih besar, misalnya pembegalan peraturan perundang-undangan. Pemakluman dan toleransi semacam itu membuat ketidakpantasan dan ketidaketisan berlangsung berulang. Itu merupakan salah satu problem besar bangsa ini.

Miftah, Ta’im, atau siapa pun dia enteng saja berulangkali melucu dengan mengolok-olok dan mempermalukan korbannya karena, toh, ujung-ujungnya kita bakal memakluminya. Pengulangan perilaku mengolok-olok dan mempermalukan orang lain oleh Miftah, Ta’im, atau siapa pun dia terbukti dari video-video lama yang diunggah kembali oleh warganet. Dalam datu video, dia terlihat memperolok dan mempermalukan artis senior Yati Pesek.

 

Untung ada warganet

Lebih dari sekadar memaklumi, kita kiranya lebih mendambakan, menginginkan, menyukai ceramah agama yang mengandung kejenakaan, yang menghadirkan gelak tawa, ketimbang yang berisi peringatan yang menghadirkan perenungan. Bila kita memang menginginkan ceramah yang membuat kita terkekeh-kekeh, boleh jadi Miftah, Ta’im, atau siapa pun dia sekadar berakting memenuhi keinginan kita.

Dalam buku The Presentation of Self in Everyday Life, Erving Goffman berteori bahwa serupa aktor berakting di atas panggung drama ingin dipersepsi penonton sebagai tokoh dengan karakter tertentu, orang berperilaku di pentas sosial ingin dipersepsi publik sebagai pribadi dengan karakter tertentu. Miftah, Ta’im, atau siapa pun dia melucu di panggung ceramah agama karena ingin dipersepsi publik sebagai penceramah jenaka yang berkuasa mengolok-olok orang lain.

Ada relasi kuasa di sini. Miftah, Ta’im, atau siapa pun dia merasa lebih pintar, lebih saleh, lebih tinggi kedudukannya jika dibandingkan dengan hadirin sehingga dia merasa berkuasa mengolok-olok dan mempermalukan orang lain.

Beruntung ada warganet. Bila pendengar memaklumi lalu menertawai Sonhaji penjual es yang diolok-olok goblok oleh Miftah, Ta’im, atau siapa pun dia dalam satu ceramah agama, warganet justru mengkritiknya. Begitu keras dan derasnya kritk warganet sampai-sampai Miftah, Ta’im, atau siapa pun dia mengundurkan diri dari posisi utusan khusus presiden.

Kita dan para pejabat publik semestinya mengambil pelajaran dari kasus Miftah, Ta’im, atau siapa pun dia. Kita, publik, rakyat, jangan lekas terpesona, terharu, lalu memaklumi segala hal tak pantas. Kita jangan lekas menormalisasi hal-hal yang sesungguhnya abnormal. Untuk itu, kita harus mengasah pikiran kritis (critical thinking) supaya bisa bertindak serupa warganet yang mengritik Miftah, Ta’im, atau siapa pun dia di jagat media sosial.

Kata seorang teman, ketika seseorang menjadi pejabat, menduduki posisi pimpinan, dia sendirian, nyaris tak ada yang menemaninya; satu-satunya yang menemaninya ialah perangainya. Oleh karena itu, pejabat atau pimpinan wajib hukumnya menjaga perangainya.

Celakanya, perangai buruk melucu dengan mengolok-olok oranglah yang menemani Miftah, Ta’im, atau siapa pun dia. Perangai buruk itu menemaninya terpuruk dari posisi kursi empuk. Ketika warganet merujak Miftah, Ta’im, atau siapa pun dia, rekan sejawatnya di kabinet menjauhinya dengan menegur atau menyesalkan perangainya sembari basa-basi memuji pengunduran dirinya sebagai kesatria.

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat