visitaaponce.com

Rumi, Perempuan, dan Kesehatan Mental Refleksi Haul Ke-750 Rumi

Rumi, Perempuan, dan Kesehatan Mental: Refleksi Haul Ke-750 Rumi
(Dok. Pribadi)

MARIA berlari menghindari kejaran para lelaki yang ingin mencelakainya. Ia perempuan tawanan sebatang kara yang dipekerjakan secara paksa di rumah-rumah bordir. Sejak lama Maria ingin menyelamatkan diri. Ketika akhirnya keberanian datang, perempuan malang itu harus berjuang sendirian. Di tengah situasi terdesak, Maria bertemu dengan dua malaikat pelindung yang tidak lain ialah Jalaluddin Rumi dan Shams Tabrizi. Maria kemudian hidup bahagia dalam lingkaran Maulana Rumi bersama istri Rumi, anak, serta menantunya.

Begitulah potongan cerita yang digambarkan dalam Film Mast-e Eshq yang dirilis pada April 2024. Film karya bersama sineas Iran dan Turki itu mengisahkan sejarah kehidupan tokoh sufi besar, Jalaluddin Rumi. Dalam Film itu, Rumi digambarkan sebagai sosok yang mengasihi sesama, termasuk melindungi dan memberikan ruang untuk perempuan. Sebuah film tentu tidak dapat sepenuhnya menyajikan fakta-fakta sejarah. Pertanyaannya, apakah gambaran relasi Rumi dengan para perempuan itu hanya imajinasi dari sutradara film ataukah memang berangkat dari fakta sejarah?

Meskipun tidak sama persis dengan penggambaran dalam film, sebenarnya ada banyak riset yang menjelaskan relasi positif Rumi dengan para perempuan pada masanya. Salah satu yang terkuat ialah sebuah buku karya Zahra Taheri berjudul Kehadiran Perempuan dalam Literatur Tasawuf yang juga merupakan hasil disertasinya di Tokyo University. Taheri menampilkan para tokoh sufi perempuan dalam berbagai periode sejak awal lahirnya tasawuf sampai abad ke-18. Kesimpulan riset Taheri menyebutkan periode Rumi merupakan puncak keemasan kehadiran perempuan dalam lingkaran tasawuf.

Jauh setelah ratusan tahun berlalu, pesona ajaran Rumi masih menginspirasi banyak perempuan di berbagai belahan dunia. Annemarie Schimmel, pemikir perempuan asal Jerman dalam bukunya Akulah Angin, Engkaulah Api menceritakan perjalanannya mencari jejak-jejak Rumi di Kota Konya. Segala hal yang berkaitan dengan Rumi digambarkan dengan indah sebagai bentuk ekspresi kecintaan mendalam Schimmel pada sosok Rumi. Kata Schimmel, kita dapat menemukan banyak tempat di Konya yang membawa pada keharuman hadirnya Maulana Rumi.

Bukan hanya Schimmel, hari ini kita semua merasakan kehadiran Rumi lewat quote-quote-nya yang dipasang di sudut-sudut kafe, kaus, mug, media sosial, bahkan mungkin di sudut kamar kita. Syair-syair Rumi telah membersamai begitu banyak pembacanya, termasuk para perempuan.

Saya cukup bergetar saat mendengar penuturan salah seorang influencer perempuan yang menceritakan awal mula perjumpaannya dengan Rumi pada acara Rumi Day yang diadakan Rumi Institute, Oktober 2024. Dengan menahan isak tangis, ia mengisahkan perkenalannya dengan Rumi justru ketika menemani almarhum kakaknya yang sering mengikuti kajian Rumi pada hari-hari terakhirnya berjuang melawan kanker.

Kisah itu mengingatkan saya pada peristiwa beberapa tahun silam, tepatnya pads Desember 2017. Saat itu saya harus menjalani tindakan operasi untuk kedua kalinya karena kehamilan ektopik. Kehilangan dua janin berturut-turut ketika saya amat menginginkannya sangat memukul mental. Beberapa bulan saya mengurung diri di rumah dan rasanya berat sekali melanjutkan hidup. Di saat itulah, tumpukan buku-buku Rumi secara perlahan menemani saya kembali untuk pulih. Rumi yang awalnya hanya saya kenal sebagai penyair dengan pilihan diksi indah ternyata menyimpan peti harta karun 'makna' yang begitu berharga.

Saya kira banyak para perempuan di luar sana yang juga memiliki cerita serupa bersama Maulana Jalaluddin Rumi. Menarik untuk digali lebih jauh lagi, apakah pengalaman perjumpaan dengan Rumi tersebut hanya bersifat pengalaman subjektif ataukah ada penjelasan ilmiahnya? Dengan kata lain, sejauh mana relasi antara ranah tasawuf dan psikologi?

MI/Duta

 

Perjumpaan pemikiran Rumi dengan ranah psikologi

Erich Fromm dalam pengantar buku Rumi the Persian, the Sufi karya Reza Arasteh yang terbit pertama kali di Iran pada 1965 dan di Inggris pada 1974 menyebutkan Rumi bukan hanya seorang penyair dan mistikus, ia juga memiliki wawasan mendalam tentang hakikat manusia. Ia berbicara tentang hakikat diri, kesadaran, alam bawah sadar, dan kesadaran kosmik. Fromm juga menegaskan bahwa buku itu menunjukkan hubungan antara pemikiran Rumi dan berbagai persoalan yang menjadi perhatian psikoanalisis. Pengakuan Fromm itu sangat penting sekaligus membuka ruang kajian baru lintas disiplin. Tidak salah kiranya jika buku tersebut digadang-gadang sebagai sumber utama memahami pemikiran Rumi dari kacamata psikologi.

Ada banyak bagian pemikiran Rumi yang menjelaskan kondisi manusia secara psikologis, misalnya dalam kitab Matsnawi, jilid pertama bait 150, Rumi menceritakan seseorang yang dengan susah payah berusaha mengeluarkan duri yang menancap di telapak kakinya. Rumi berkomunikasi dengan pembacanya sembari mengajukan pertanyaan: "Jika duri di kaki saja begitu sulit untuk dikeluarkan, bagaimana dengan duri dalam hati?" Rumi menganalogikan duri sebagai segala sesuatu yang dapat melukai roh dan jiwa manusia.

Menurut Rumi, manusia sering kali mengabaikan dan tidak menyadari tumpukan duri yang memenuhi jiwa mereka. Mereka merasa diri mereka baik-baik saja. Dalam bait-bait berikutnya, Rumi kembali bertanya: "Jika engkau memang benar-benar menyadari setiap duri yang menancap dalam hatimu, seharusnya tidak ada lagi rasa kesedihan dan kemurungan dalam dirimu."

Rumi dalam dua bait di atas menggambarkan secara eksplisit bahwa kesehatan mental merupakan persoalan yang krusial sekaligus kompleks. Tidak salah jika Karim Zamani, salah seorang penafsir kitab Matsnawi, menyebutkan bait Matsnawi di atas merupakan syair Rumi yang paling bersinggungan dengan ranah psikologi.

Belakangan kajian syair-syair Rumi dengan pendekatan psikologi semakin berkembang luas. Nevzat Tarhan, penulis asal Turki dalam bukunya berjudul Terapi Masnawi menawarkan metode bibliotherapy dengan mengkaji kisah-kisah Matsnawi. Metode itu sebagai cermin yang membuka kesadaran para pembacanya sekaligus mencari alternatif solusi dari serpihan-serpihan pesan cerita yang disajikan.

Lebih jauh, dengan berkembangnya aliran psikologi transpersonal, itu memberi harapan baru terhadap penggalian potensi tertinggi manusia melalui pendekatan holistis yang mengintegrasikan seluruh potensi manusia. Bukan hanya potensi intelektual dan emosional, melainkan juga spiritual yang bersumber dari berbagai tradisi keagamaan, termasuk pengalaman sufistik. Di sinilah, penggalian kembali syair-syair Rumi dalam kajian psikologi semakin menemukan relevansinya.

 

Perempuan dan kesehatan mental dalam syair Rumi

Pengkajian kembali syair-syair Rumi melalui pendekatan psikologi diharapkan bisa memberikan kontribusi yang lebih luas dan nyata terhadap berbagai isu sosial, termasuk masalah perempuan dan kesehatan mental. Kajian itu bisa didekati melalui berbagai metode.

Pertama, melalui penghayatan cerita atau bibliotherapy. Model itu barangkali telah banyak dirasakan para pembaca Rumi mengingat cukup banyak cerita dalam Matsnawi yang dapat dijadikan cermin melihat persoalan kesehatan mental saat ini. Dari berbagai kisah tersebut, ada satu cerita yang menyentuh langsung pengalaman khas perempuan.

Kisah yang dituturkan Rumi dalam Matsnawi jilid ketiga bait 3399-3418 itu bercerita tentang seorang perempuan yang berturut-turut kehilangan bayinya. Awalnya, ia amat berduka dan menggugat kenyataan pahit hidupnya. Lalu ia mendatangi seorang bijak bestari dan mencurahkan segala keresahannya. Sampai suatu malam, perempuan itu bermimpi melihat istana dalam sebuah taman yang indah, namanya terpahat di atas gerbang. Ia memasuki istana tersebut dan melihat anak-anaknya yang telah meninggal, bersukacita menyambutnya. Kesaksian itu membuka tabir batinnya pada keagungan dan keluasan rahmat Tuhan.

Ketika menyampaikan cerita tersebut, Rumi tidak langsung menyuguhi pembacanya dengan penjelasan teologis, tetapi terlebih dahulu diajak membersamai tokoh perempuan dalam berproses memahami sebuah peristiwa secara natural lewat diksi-diksi penolakan dari sang tokoh. Pada tahapan berikutnya, barulah Rumi memasuki lapisan yang lebih dalam lagi dengan menyampaikan pengalaman keagamaan sang tokoh melalui mimpi. Proses dalam menemukan kesadaran itulah yang dalam cerita Rumi terasa istimewa.

Kedua, pendekatan holistis pengalaman 'terlahir kembali' dengan mengadopsi model psikologi transpersonal. Jika pendekatan pertama memiliki dampak parsial, misalnya pemulihan sebagian trauma, pendekatan kedua memungkinkan seseorang tidak hanya sembuh, tetapi juga menjadi pribadi yang lebih produktif, bahagia, berempati, dan menemukan kedamaian.

Pendekatan itu memang jauh lebih rumit dan menantang karena seseorang perlu mengintegrasikan seluruh potensi yang dimilikinya. Meski sulit, bukan berarti tidak mungkin dilakukan. Rumi menawarkan figur Maryam, perempuan yang mampu melewati berbagai kesulitan sampai akhirnya berhasil meraih kelahiran kedua. Kata Rumi dalam Matsnawi jilid ketiga bait 3204: "Keterdesakan dan luka yang dirasakan Maryam mendorong bayi Isa berbicara."

Rumi menempatkan Maryam melampaui personifikasi tokoh sehingga kisahnya dimaknai sebagai simbolisasi perjalanan spiritual. Maryam ialah pejalan yang mengoptimalkan seluruh potensinya hingga mampu melewati berbagai kesulitan, sementara Isa merupakan simbol 'kelahiran kembalin'. Simbolisasi Rumi terhadap sosok Maryam itu mampu mengeluarkan ketokohannya dari stagnasi sejarah.

Maryam membawa inspirasi perjuangan yang tak pernah lelah sekaligus tambang harapan yang tak pernah kering. Setiap kita memiliki potensi untuk menjadi Maryam yang melahirkan harapan-harapan baru. Kata Rumi dalam gazal 825, "Mari menjadi Maryam yang gigih meraih kurma-Nya (kebahagiaan sejati)".

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat