visitaaponce.com

Tinjauan Kekuatan Jejaring People to People Relations RI-Korsel Dari Darurat Militer ke Darurat Demokrasi

Tinjauan Kekuatan Jejaring People to People Relations RI-Korsel Dari Darurat Militer ke Darurat Demokrasi
(Dok. Pribadi)

DINAMIKA politik dalam negeri Korea Selatan (Korsel) masih berlangsung hingga saat ini. Ketegangan bermula dari pertikaian antara Presiden Yoon Suk-yeol (eksekutif) dan Majelis Nasional (legislatif) yang didominasi oleh partai oposisi, perihal isu pemangkasan anggaran, dan pemakzulan beberapa pejabat negara. Hal itu mendorong Presiden Yoon untuk mengumumkan kondisi darurat militer (martial law) yang berlangsung selama 6 jam sejak Selasa (3/12) pukul 22.30 KST hingga Rabu (4/12) pukul 04.30 KST.

Kebijakan itu memicu kontroversi di kalangan anggota parlemen atau masyarakat luas sehingga memunculkan mosi untuk pemakzulan Yoon dari jabatan Presiden Korea Selatan. Upaya pemakzulan yang pertama dilakukan oleh Majelis Nasional melalui pemungutan suara pada Sabtu (7/12), tetapi mengalami kegagalan karena tidak tercapai dua pertiga suara di badan legislatif tersebut.

Kemudian, upaya pemakzulan yang kedua berhasil dicapai melalui pemungutan suara di Majelis Nasional pada Sabtu (14/12). Sebanyak 204 suara dari 300 anggota Majelis Nasional memilih menyetujui opsi pemakzulan Presiden Yoon, sementara 85 suara memilih menolak, 3 suara abstain, dan 8 suara tidak sah.

MI/Seno

 

Dari darurat militer ke darurat demokrasi

Kini masyarakat Korea Selatan terbelah menjadi dua kelompok, kubu yang mendukung dan kubu yang menentang keabsahan pemakzulan Presiden Yoon di tingkat parlemen. Jika merujuk pada ketentuan hukum nasional di Republik Korea (ROK), upaya pemakzulan presiden harus melalui proses konstitusional oleh para hakim di Mahkamah Konstitusi.

Karena itu, selama 180 hari atau sekitar 6 bulan setelah pemakzulan di tingkat parlemen, 9 hakim MK harus mendapatkan kesepakatan bulat untuk bisa memberikan putusan hukum yang bersifat final dan mengikat atas pencopotan jabatan presiden. Namun, muncul ketegangan baru, yakni hanya terdapat 6 posisi hakim MK yang sudah terpenuhi sehingga 3 posisi hakim MK yang masih kosong menjadi ajang perebutan pengaruh politik antara partai pemerintah dan partai oposisi.

Di sisi lain, posisi Presiden Korea Selatan telah diambi lalih oleh Perdana Menteri Han Duck-soo sebagai pelaksana tugas (plt). Sementara itu, mantan Presiden Yoon Suk-yeol beserta beberapa kroninya harus menghadapi sejumlah tuntutan hukum dan pencekalan perjalanan ke luar negeri selama proses investigasi berlangsung.

Informasi mengenai 'darurat militer' hingga 'darurat demokrasi' di Korea Selatan masih menjadi topik yang populer bagi masyarakat Indonesia, khususnya kalangan generasi muda. Isu tersebut, bagi sebagian dari mereka, bahkan lebih menarik daripada berita mengenai pelanggaran gencatan senjata di Gaza dan Libanon, kemenangan kelompok pemberontak antirezim Assad di Suriah, perluasan wilayah kekuasaan Rusia di Ukraina, konflik elite politik nasional di Filipina, hingga ketegangan di Selat Taiwan dan Laut China Selatan.

Netizen Indonesia juga teralihkan dari berita hit sebelumnya mengenai kemenangan dramatis Donald Trump di Amerika Serikat atau dinamika politik dan pemerintahan nasional di Prancis. Hal itu menandakan adanya kedekatan hubungan antara Indonesia dan Korea Selatan yang lebih dari sekadar government-to-government relations (G2G).

 

Jejaring P2P Indonesia-Korea Selatan

Indonesia dan Korea Selatan memiliki people-to-people relations (P2P) yang berkembang signifikan seiring dengan upaya pemerintah kedua negara untuk memfasilitasi hubungan tersebut. Fenomena itu telah banyak dikaji oleh para peneliti dengan pendekatan people-to-people diplomacy yang menekankan analisisnya pada interaksi dan pertukaran langsung antara individu atau kelompok dari negara, budaya, atau masyarakat dengan tujuan meningkatkan saling pengertian, kerja sama, dan persahabatan (DiploFoundation, 2021).

Berdasarkan analisis dengan pendekatan tersebut, diketahui bahwa hubungan antarmasyarakat (P2P) Indonesia dan Korea Selatan menjadi lebih intens sejak pendirian Korean Cultural Center di Jakarta pada 2011 dan pendirian Indonesia Centre di Busan pada 2022 (CSIS, 2023). Selain itu, hubungan P2P antarkedua negara juga terjalin secara alami dalam bingkai interaksi antarpenggemar K-pop (fandom), khususnya melalui saluran media sosial.

Terdapat empat bidang P2P yang dapat menjelaskan mengapa isu 'darurat demokrasi' di Korea Selatan menjadi penting dan menarik bagi masyarakat Indonesia ketimbang isu-isu lainnya. Pertama, Korea Selatan merupakan salah satu negara tujuan wisata yang populer bagi wisatawan Indonesia.

Merujuk pada keterangan dari Korea Tourism Organization (KTO), Indonesia masuk daftar 10 besar negara penyumbang wisatawan asing terbanyak ke Korea Selatan selama beberapa tahun terakhir (Liputan6.com, 2024). Itu sama halnya dengan Korea Selatan yang juga menempati urutan ke-8 dari 10 besar negara kontributor wisatawan mancanegara terbanyak ke Indonesia pada 2023 (Kemenparekraf, 2024).

Dengan demikian, keamanan pariwisata Korea Selatan menjadi perhatian masyarakat Indonesia di tengah krisis politik yang masih terus bergulir. Hal itu tentu memengaruhi keputusan mereka yang ingin menikmati liburan Natal dan Tahun Baru di 'Negeri Ginseng' tersebut.

Kedua, faktor pengaruh K-pop menjadi daya tarik terbesar bagi masyarakat Indonesia untuk memperhatikan perkembangan situasi sosial-politik di dalam negeri Korea Selatan. Misalnya, pada saat darurat militer diumumkan, para fan K-pop mengkhawatirkan kondisi idol mereka. Kekhawatiran para fan K-pop itu terekspresikan dalam beberapa unggahan atau komentar mereka di media sosial seperti Instagram dan X.

Menyusul pengumuman darurat militer, industri hiburan di Korea Selatan berada dalam posisi siaga tinggi menyangkut keamanan para artis mereka atau keberlanjutan proyek-proyek yang sedang digarap. Akibatnya, beberapa kegiatan dan pertemuan yang menyangkut industri K-pop pun dibatasi, ditunda, hingga dibatalkan. Hal itu tentu mengecewakan para fan K-pop di Indonesia, sekaligus meningkatkan rasa empati mereka terhadap sesama fandom yang mengikuti aksi demonstrasi di Korea Selatan.

Ketiga, mahasiswa Indonesia yang menempuh pendidikan di Korea Selatan hingga Maret 2024 dilaporkan jumlahnya mencapai 1.078 orang. Mereka menempati urutan ke-10 dalam peringkat mobilitas mahasiswa Indonesia yang melanjutkan studi ke luar negeri (Hotcourses.co.id, 2024). Mereka merupakan generasi terpelajar yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta aktif membangun kontak/jejaring melalui forum-forum akademik dan media sosial untuk memberikan pendapat atau pandangan mereka mengenai situasi di Korea Selatan.

Mereka juga memiliki kesamaan visi dengan mahasiswa Korea Selatan, menjaga nilai-nilai HAM dan demokrasi setelah mengalami sejarah kepemimpinan otoriter pada masa lalu. Keduanya bahkan menjadi elemen penting dalam gerakan sosial-politik di negara masing-masing. Hal itu mendorong aksi solidaritas masyarakat lintas batas negara (Gerakan Transnasionalisme) terkait isu 'darurat demokrasi' di Korea Selatan.

Keempat, selain wisatawan, mahasiswa, staf kedutaan/diplomat dan ekspatriat, Indonesia juga memiliki pekerja migran yang bekerja di Korea Selatan. Jumlah pekerja migran Indonesia (PMI) di Korea Selatan mencapai lebih dari 9.000 orang hingga Oktober 2023 (BP2MI, 2023). Situasi ketidakstabilan sosial-politik di Korea Selatan tentu memengaruhi aktivitas kerja mereka.

Terlebih setelah adanya ancaman mogok kerja dari Konfederasi Serikat Buruh Korea (KCTU) yang mengeklaim memiliki 1,2 juta anggota serta pengurangan aktivitas di beberapa perusahaan akibat turunnya nilai investasi dan mata uang won Korea terhadap dolar AS. Selain itu, terdapat kekhawatiran akan terjadinya kerusuhan sosial akibat ribuan massa pro demokrasi yang turun ke jalan dan berhadapan dengan massa pendukung rezim.

Hal itu tentu mengkhawatirkan juga bagi keluarga PMI yang ada di Indonesia sehingga mereka secara intens turut memantau perkembangan situasi sosial-politik di Korea Selatan melalui berbagai saluran, terutama media sosial yang lebih mudah diakses.

 

Solidaritas transnasional dalam P2P RI-Korsel

Dinamika politik dalam negeri Korea Selatan dari 'darurat militer' ke 'arurat demokrasi' masih terus berlangsung dan terbukti berdampak pada hubungan P2P Indonesia-Korea Selatan, terutama di bidang pariwisata, pertukaran budaya, pendidikan, dan ketenagakerjaan.

Lebih lanjut pengalaman 'darurat demokrasi' di Korea Selatan saat ini harus menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia sebagai sesama negara Asia yang demokratis dan pernah mengalami masa-masa pahit kediktatoran dalam sejarah nasional masing-masing.

Di samping itu, Korea Selatan sering diidentifikasi sebagai negara di Asia yang berhasil mencapai kemajuan industrialisasi dan kemapanan demokrasi liberal secara bersamaan, tidak seperti negara-negara lainnya yang menempatkan kedua aspek tersebut dalam posisi yang bertentangan atau mereduksi salah satunya guna mencapai satu lainnya.

Sementara itu, Indonesia dikenal sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia dengan mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Indonesia berhasil menyelaraskan agama (terutama Islam) dan demokrasi sehingga tidak terjadi pertentangan keduanya sebagaimana kasus di negara-negara Timur Tengah. Indonesia bahkan secara aktif menyuarakan demokrasi melalui Bali Democracy Forum (BDF) sebagai ajang dialog multilateral.

Hubungan diplomatik antara Indonesia dan Korea Selatan yang terjalin sejak 1973 telah berlangsung dengan baik. Tidak banyak gejolak ekonomi-politik atau pertentangan kepentingan nasional yang menempatkan keduanya dalam posisi yang saling berhadapan atau berseberangan secara ekstrem. Bahkan, keduanya sepakat untuk meningkatkan hubungan bilateral dengan membangun kemitraan strategis sejak 2006.

Meskipun demikian, dalam upaya solidaritas untuk menguatkan demokrasi di Korea Selatan saat ini, strategi G2G menjadi pendekatan yang riskan dituduh sebagai upaya mencampuri politik dalam negeri negara lain. Dengan demikian, strategi P2P menjadi pendekatan yang tepat untuk membangun dialog antarmasyarakat yang sama-sama mencintai nilai-nilai HAM dan demokrasi, baik di Korea Selatan maupun Indonesia.

Strategi P2P dengan sendirinya juga telah menciptakan ruang solidaritas transnasional.

Lebih lanjut, sangat penting bagi rakyat Indonesia untuk bersolidaritas dengan rakyat Korea Selatan dalam upaya mempertahankan muruah demokrasi, integritas nasional, dan kedaulatan hukum dari ancaman kebangkitan otoritarianisme.

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat