visitaaponce.com

Menggagas (Re)posisi Santri sebagai Penggerak Kesejahteraan Sosial

Menggagas (Re)posisi Santri sebagai Penggerak Kesejahteraan Sosial
(Dok. Pribadi)

NARASI sejarah sering kali mencatat bahwa ada peran penting santri dalam perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia. Resolusi Jihad yang dikumandangkan pada 22 Oktober 1945 di tengah gegap gempita periode revolusi fisik telah diabadikan sebagai dokumen bukti kiprah santri dalam perjuangan kemerdekaan dan lantas tiap tahun peringatannya selalu digelar.

Namun, apakah jejak santri cukup berhenti sampai di situ? dan eksistensi santri cukuplah diposisikan dalam lintasan romantisme sejarah kaitannya dengan perjuangan kemerdekaan belaka? Pertanyaan itu mengawali diskusi untuk mengulik kembali perannya di era kekinian.

MI/Seno

 

Mengacu pada UU No 18 Tahun 2019 tentang Pondok Pesantren, santri merupakan peserta didik yang menempuh pendidikan dan mendalami ilmu agama Islam di pesantren yang merupakan lembaga yang berbasis masyarakat dan didirikan oleh perseorangan, yayasan, organisasi masyarakat Islam, dan/atau masyarakat yang menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, menyemaikan akhlak mulia serta memegang teguh ajaran Islam rahmatan lil'alamin atau rahmat bagi semesta, yang tecermin dari sikap rendah hati, toleran, keseimbangan, moderat, dan nilai luhur bangsa Indonesia lainnya melalui pendidikan, dakwah Islam, keteladanan, dan pemberdayaan masyarakat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Demikianlah definisi yang disematkan oleh negara terhadap santri.

Lantas, bagaimana melihat relevansinya dalam konteks situasi kontemporer bangsa Indonesia yang masih diselimuti oleh berbagai problematika dan isu yang menggerus derajat kesejahteraan sosial individu warga di dalamnya?

Berbagai masalah yang menjadi tantangan menuju visi besar Indonesia emas 2045, seperti kemiskinan, ketelantaran, diskriminasi, dan pengabaian hak-hak sosial warga, misalnya, masih menghinggapi struktur dan kultur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam situasi seperti itu, di manakah peran santri dan bagaimana posisinya dalam aras diskursus kesejahteraan sosial?

 

Membincang kesejahteraan sosial di RI

Para pendiri bangsa sudah menyepakati bahwa salah satu tujuan berdirinya negara Indonesia ialah untuk memajukan kesejahteraan umum. Hal itu terpatri dalam Alinea IV Mukadimah UUD 1945. Dalam turunannya, disebutkan istilah kesejahteraan sosial, yang menjadi Bab XIV di dalam konstitusi.

Untuk memudahkan memahami definisi kesejahteraan sosial itu, Midgley (1997) dalam literatur klasiknya menjelaskan bahwa kesejahteraan sosial merupakan sebuah situasi atau kondisi kehidupan manusia yang tercipta ketika berbagai permasalahan sosial dapat dikelola dengan baik ketika kebutuhan manusia dapat terpenuhi dan ketika kesempatan sosial dapat dimaksimalisasikan.

Sementara itu, mengacu pada UU No 11 Tahun 2009, kesejahteraan sosial didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.

Lebih lanjut negara mengatur bahwa untuk mewujudkan kesejahteraan sosial, salah satu sumber daya manusia dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial ialah pekerja sosial yang bertugas memulihkan keberfungsian sosial melalui praktik pekerjaan sosial.

Itu termaktub dalam UU No 14 Tahun 2019 tentang Pekerjaan Sosial yang menegaskan praktik pekerjaan sosial sebagai penyelenggaraan pertolongan profesional yang terencana, terpadu, berkesinambungan, dan tersupervisi untuk mencegah disfungsi sosial, serta memulihkan dan meningkatkan keberfungsian sosial individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat.

Saat ini, pendulum pengembangan pekerjaan sosial sebagai upaya mengembangkan kesejahteraan sosial di Indonesia sudah mengarah ke pengakuan dan penguatan profesi pekerja sosial yang saat ini sudah memiliki asosasi Independen Pekerja Sosial Profesional Indonesia (IPSPI) dengan kepengurusan di 34 DPD.

Adapun untuk mengembangkan kajian dan keilmuan pekerjaan sosial sekaligus mencetak pekerja sosial yang semakin dibutuhkan dalam tata upaya penyelenggaraan kesejahteraan sosial di Tanah Air, saat ini telah ada 32 perguruan tinggi se-Indonesia yang memiliki departemen atau program studi pekerjaan sosial ataupun kesejahteraan sosial yang tergabung dalam Asosiasi Pendidikan Kesejahteraan & Pekerjaan Sosial Indonesia (APKPSI) yang baru saja menghelat kongres kesembilan di kampus USU Medan, 3-6 Desember 2004 silam.

 

Meneropong pergulatan santri dan pekerjaan sosial

Dalam tataran praktik pekerjaan sosial, sebuah kebulatan yang menghimpun bangunan pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), dan nilai (values) pekerjaan sosial menjadi niscaya serta melalui pendidikan tinggilah, ketiga komponen tersebut disemaikan secara simultan ke para mahasiswa selaku calon insan pekerja sosial pada kemudian hari.

Sebuah pertanyaan pun muncul, relevansi apakah yang bisa menjadi titik persinggungan santri dan cita-cita luhur bangsa untuk memajukan kesejahteraan umum, khususnya dalam konteks penyediaan SDM untuk penyelenggaraan kesejahteraan sosial melalui pekerjaan sosial?

Salah satu karakteristik utama dari kehidupan santri ialah kuatnya nilai kolektivitas dan solidaritas. Santri belajar untuk hidup dalam komunitas pesantren yang mana mereka saling mendukung satu sama lain dalam berbagai aspek kehidupan, dari pendidikan hingga kehidupan sehari-hari.

Nilai kolektivitas itu sangat relevan dengan praktik pekerjaan sosial, yang menekankan pentingnya kerja sama komunitas dalam mengatasi masalah sosial. Adanya intervensi yang menuntut kolaborasi lintas stakeholder dalam pengelolaan kasus (case management) diri klien menuntut kesabaran dan ketelatenan dalam meniti ritme kebersamaan.

Selain itu, dalam konteks pekerjaan sosial, penguatan solidaritas komunitas dapat menjadi fondasi untuk pemberdayaan sosial yang mana anggota komunitas didorong untuk bersama-sama menemukan solusi atas tantangan yang mereka hadapi.

Pemberdayaan sendiri menjadi inti dari pendidikan pesantren. Santri tidak hanya dididik secara akademis, tetapi juga diajarkan untuk menjadi individu yang mandiri dan mampu memberikan kontribusi bagi masyarakat.

Pola mengaji bandongan yang mengajarkan santri untuk bersama-sama belajar kepada guru dan mengaji sorogan, yang mengajarkan santri untuk mengedepankan independensi dalam belajar menanamkan sebuah etos kombinasi antara kolektivitas dan kemandirian, menjadi pintu masuk untuk penanaman spirit keberdayaan.

Prinsip itu sangat sejalan dengan salah satu tujuan utama pekerjaan sosial, yaitu memberdayakan individu dan kelompok agar mereka dapat mengatasi permasalahan mereka sendiri dan mencapai kesejahteraan sosial.

Dalam tradisi belajar, santri juga dikenal musyawarah, misalnya melalui kegiatan bahsul masail atau membahas masalah. Hal itu pun relevan dengan konteks praktik pekerjaan sosial yang mana pekerja sosial sering kali bertindak sebagai fasilitator melakukan konferensi kasus (case conference) untuk membahas kasus perkembangan penanganan intervensi terhadap klien. Itu dilakukan secara kolektif dengan melibatkan profesi lain, misalnya konselor, psikolog, dokter, bahkan polisi, untuk kasus penanganan forensik.

Pendidikan karakter menjadi salah satu fondasi utama dalam tradisi pesantren. Para santri dibekali dengan nilai-nilai agama dan moralitas yang kuat, yang bertujuan membentuk pribadi yang berakhlak mulia dan bertanggung jawab.

Dalam pekerjaan sosial, pendidikan karakter juga menjadi bagian penting, terutama dalam intervensi sosial di kalangan anak-anak, remaja, dan keluarga. Pekerja sosial berperan dalam membangun moralitas individu dan komunitas melalui program-program pendidikan, pelatihan, dan intervensi psikososial.

Pesantren, sebagai institusi pendidikan Islam tradisional, juga sering berperan dalam pelayanan sosial di masyarakat. Banyak pesantren yang mengelola kegiatan sosial seperti panti asuhan atau lembaga kesejahteraan sosial anak (LKSA), layanan kesehatan gratis, hingga program pemberdayaan ekonomi.

Tidak jarang pesantren juga berperan sebagai wahana kesejahteraan sosial yang mana menjadi area keterlibatan pekerjaan sosial. Fokusnya ialah melayani kebutuhan masyarakat yang kurang mampu atau rentan. Pada masa sekarang, sinergi antara pesantren dan pekerjaan sosial dapat menjadi lebih kuat dalam menghadapi tantangan sosial modern, seperti kemiskinan, ketidaksetaraan, dan disabilitas.

Pekerja sosial dapat bekerja sama dengan pesantren dalam mengembangkan program-program sosial yang lebih luas dan berdampak besar bagi kesejahteraan masyarakat. Terlebih khusus, dalam beberapa kasus, pesantren yang mencanangkan diri sebagai pesantren ramah anak (PRA) yang merupakan program besutan Kementerian Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak (PPPA), keterlibatan pekerja sosial untuk menjadi desainer sekaligus supervisor program layanan menjadi krusial.

Keberadaan pekerja sosial juga diperlukan untuk melakukan pendampingan bagi stakeholder pesantren yang menghadapi kasus, baik itu berupa perundungan bagi santri maupun kasus kekerasan seksual yang mana pesantren juga tidak immune sebagaimana hal serupa juga terjadi di perguruan tinggi dan sekolah di Indonesia.

 

Rintisan menguatkan integrasi-interkoneksi santri dan pekerjaan sosial

Sebuah langkah kecil perlu untuk dicatat, yaitu adanya sebuah terobosan yang dirintis melalui kolaborasi Kementerian Agama dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan, berupa program veasiswa santri berprestasi yang selanjutnya disingkat PBSB.

Itu merupakan salah satu inisiatif unggulan dari Kementerian Agama Republik Indonesia melalui Direktorat Pendidikan Diniah & Pesantren, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam yang bertujuan memberikan kesempatan kepada santri berprestasi untuk melanjutkan studi ke jenjang pendidikan tinggi di berbagai disiplin ilmu di perguruan tinggi.

Mulai 2021, cakupan PBSB menyasar disiplin pekerjaan sosial dengan dimulainya PBSB untuk para santri berprestasi, untuk studi pekerjaan sosial di program studi ulmu kesejahteraan sisial UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang merupakan prodi kesejahteraan sosial pertama di lingkup PTKIN berdiri pada 2009.

Melalui PBSB itu, sebuah mekanisme kelembagaan bagi santri untuk mendalami ilmu dan keterampilan dalam bidang pekerjaan sosial untuk mendorong penyelenggaraan kesejahteraan sosial, dan berpotensi menghasilkan generasi pekerja sosial yang religius sekaligus nasionalis akhirnya terwadahi.

Keberadaan PBSB bisa dilihat sebagai ikhtiar untuk bersinergi antara karakter religiusitas dan etos profesionalisme. Salah satu hal yang menarik dari PBSB di UIN Sunan Kalijaga ialah bagaimana program itu mampu menggabungkan religiusitas yang melekat pada santri dengan profesionalisme di bidang kesejahteraan sosial.

Santri yang terbiasa dengan pendidikan agama di pesantren memiliki landasan moral dan spiritual yang kuat. Ketika mereka mendapatkan pendidikan formal di bidang pekerjaan sosial, mereka tidak hanya belajar tentang teknik dan strategi intervensi sosial, tetapi juga bagaimana mempraktikkan nilai-nilai Islam dalam membantu masyarakat.

Pekerja sosial religius-nasionalis merupakan karakteristik yang unik. Di satu sisi, mereka memiliki kepekaan terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapi masyarakat, seperti kemiskinan, ketidakadilan, dan kekerasan sekaligus tidak canggung menggunakan pendekatan yang berbasis nilai-nilai agama. Di sisi lain, mereka juga menjunjung tinggi semangat kebangsaan dan pluralisme, yang memungkinkan mereka untuk bekerja di berbagai konteks sosial dan budaya yang beragam di Indonesia.

Prospek itu menjadi semakin penting di masa depan mengingat Indonesia ialah negara dengan populasi muslim terbesar kedua di dunia yang menghadapi tantangan sosial yang kompleks. Kehadiran pekerja sosial religius-nasionalis dari kalangan santri akan membantu menjembatani kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan sosial yang berbasis pada nilai-nilai keadilan sosial sekaligus religiusitas.

Mereka juga memiliki potensi untuk menjadi pemimpin di berbagai lembaga sosial dan pemerintah yang berfokus pada pelayanan sosial dengan memiliki apresiasi terhadap sentimen dan sentuhan nilai keagamaan.

 

Menuju reposisi santri dalam dunia kesejahteraan sosial

Kolektivitas, solidaritas, pemberdayaan, dan pendidikan karakter yang merupakan inti dari kehidupan santri sejalan dengan prinsip-prinsip yang dijunjung tinggi dalam pekerjaan sosial.

Melalui sinergi identitas santri dan profesi pekerja sosial yang mengejawantah dalam praktik pekerjaan sosial, diharapkan dapat tercipta sebuah skema penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang tidak hanya bertautkan pada moralitas agama, tetapi juga etos profesionalisme yang tinggi. Santri sudah saatnya menjadi agen pelopor dan penggerak, bukan sekedar penonton belaka.

Keberadaan kerja sama kolaboratif semacam program beasiswa santri berprestasi (PBSB) di prodi ilmu kesejahteraan sosial UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, memberikan kesempatan besar bagi santri untuk mengembangkan dirinya kelak sebagai pekerja sosial yang religius dan nasionalis.

Dengan fondasi agama yang kuat dan pengetahuan ilmiah yang mendalam tentang pekerjaan sosial, santri PBSB memiliki potensi untuk berkontribusi dalam sebagai penggerak kesejahteraan sosial dengan berperan aktif mengedepankan empati, sensitivitas, dan moralitas untuk menciptakan masyarakat Indonesia yang lebih adil dan sejahtera.

Prospek pekerja sosial religius-nasionalis itu begitu dibutuhkan, terutama dalam menghadapi tantangan sosial yang kompleks di Indonesia.

Melalui PBSB, diharapkan tersemainya generasi insan SDM kesejahteraan sosial yang memiliki body of knowledge, body of skills, dan body of values pekerjaan sosial yang nantinya tidak hanya berkompeten secara profesional, tetapi juga memiliki integritas moral dan etika yang kuat sesuai dengan ajaran Islam sebagai rahmat bagi semesta, dan dengan komitmen tinggi terhadap kebangsaan.

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat