visitaaponce.com

Polemik Pagar Laut

Polemik Pagar Laut
(MI/Duta)

POLEMIK pemagaran laut yang terjadi di pesisir Tangerang harus dicermati dengan baik dan hati-hati.

Penolakan hak pengusahaan perairan pesisir (HP3) yang dilahirkan Undang-Undang No 27 Tahun 2007 melalui Keputusan MK No 3/2010, kemudian berevolusi menjadi persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut (PKKPRL) melalui UUCK. Penolakan ini jelas karena alasan melanggar prinsip demokrasi ekonomi, perampasan ruang pesisir untuk pemodal besar, serta pembatasan hak masyarakat adat. Kemudian kehadiran PKKPRL yang membuka ruang kepada siapa saja untuk mendapatkan akses. Namun, juga bukan berarti seperti tsunami izin tanpa dasar yang jelas terhadap semua pihak.

Mekanisme izin berbasis data dan informasi yang tepat, peruntukan ruang yang tepat, kesesuaian dengan rencana pembangunan dalam skala provinsi dan nasional, serta kemanfaatan bagi masyarakat luas, tetap jadi pertimbangan. Sehingga kemudian, ketika terjadi praktik pemagaran ruang laut oleh pihak yang ‘mengatasnamakan’ masyarakat, tanpa mekanisme yang robust menurut kebijakan, harus diluruskan. Karena, praktik pemagaran ini dapat menjadi preseden buruk terhadap tata kelola ruang laut dan bentuk kegagalan paham akan wujud pembangunan di pesisir dan laut.

Ada beberapa fakta yang dapat dilihat sebagai sikap gagal paham dari hadirnya pagar laut di Tangerang. Pertama, pemahaman terhadap kebijakan pengelolaan ruang pesisir dan laut. Kedua, pemahaman terhadap teknik dan metode panangkapan ikan. Ketiga, kepahaman terhadap pendekatan pengendalian abrasi dan akresi laut. Lalu keempat, kepahaman terhadap akses nelayan dan usaha penangkapan ikan di Tangerang. Kelima, kepahaman terhadap konektivitas sistem di pesisir dan laut.

 

Jangan sampai menumpang atas nama PSN

Pemahaman terhadap kebijakan pengelolaan ruang sangat jelas tidak tampak karena pemagaran tidak sesuai dengan tata ruang dan zonasi pesisir dan laut Provinsi Banten. Zonasi pesisir mengalokasikan daerah 12 mil sebagai ruang usaha perikanan skala kecil dan budi daya, serta dapat diakses oleh semua nelayan. Pemagaran sepanjang 30 km tentu akan membatasi daerah penangkapan ikan, jalur kapal perikanan, dan juga sistem usaha perikanan pada zona perikanan tradisional ini.

Selain itu, jika pemagaran ada kaitanya dengan kepemilikan lahan perairan pesisir, atau sertifikasi lahan perairan, maka perlu kita luruskan kembali paham ini. Peraturan Menteri ATR BPN No 17/2016 kemudian No 18/2021, yang memberikan hak atas tanah termasuk di pesisir, juga harus dicermati.

Makna dari pemberian hak atas tanah pada perairan pesisir yang diukur dari garis pantai ke arah laut sejauh 12 mil adalah dasar perairan laut. Pemberian hak dapat dilakukan apabila akan digunakan untuk proyek strategis nasional (PSN), kepentingan umum, dan lainnya.

Kegiatan pemagaran yang ditujukan untuk mencegah abrasi jelas untuk kepentingan umum. Dalam konteks proyek strategis nasional menurut Peraturan Menteri Koordinator Perekonomian No 12/2024, juga menempatkan Provinsi Banten sebagai daerah PSN.

Kelemahan dari peraturan ini ialah tidak menjelaskan batasan area PSN sehingga dapat menimbulkan spekulasi tinggi termasuk ke arah pesisir dan lautan. Perlu dicermati, jangan sampai pemagaran laut menumpang atas nama PSN. Karena, skenario PSN harus berbasis rencana tata ruang yang terukur dan terkoordinasi, dan untuk mendukung kepentingan masyarakat.

Kedua, diketahui nelayan pesisir Tangerang yang dominan nelayan harian one day fishing menangkap dengan menggunakan alat tangkap bagan, jaring nilon atau gillnet, serta alat tangkap dasar seperti garok. Berbagai riset menunjukan bahwa kekerangan seperti simping, keong laut, dan udang menjadi target penangkapan nelayan.

Kehadiran pagar laut yang dipersepsikan sebagai bagan, atau alat tangkap kerang hijau, juga tidak tepat. Karena metode penangkapan dengan bagan, karamba kerang hijau, atau alat tangkap jaring belat, jauh berbeda dengan pagar laut. Pagar laut tidak memiliki nomenklatur sebagai alat tangkap ikan yang dicatatkan pemerintah.

Ketiga, paham soal kehadiran pagar laut untuk pengendali abrasi, akresi, dan sedimentasi. Purwadinta (2013) menemukan adanya pesisir terabrasi sepanjang pantai Kronjo dengan laju abrasi 3,2-20,9 m/tahun. Karena dinamika pesisir dan kemampuan resiliensi, sepanjang pantai lainnya juga terjadi akresi atau penimbunan dan pembentukan endapan baru.

Laju akresi menurut Astuti (2021) di Kronjo berdasarkan pengamatan citra 2014-2019 mencapai 7,37 meter per tahun, di daerah Katapang 27,69 meter per tahun. Kesetimbangan ini menunjukkan resiliensi dari daerah pantai pesisir Tangerang. Pagar laut yang dibuat lurus, memanjang, dengan model jembatan bambu tidak memberikan efek terhadap pengendalian abrasi dan akresi. Kalau model pagar laut dianggap tepat maka dukungan ilmiah dari metode ini yang memuat efektivitas, kapasitas laju tahan terhadap arus, lama umur pagar, dan kapasitas pemulihan abrasi dengan teknik pagar laut harus dapat disajikan sebagai dasar izin pemasangan alat penahan abrasi.

Keempat, kekurangpahaman terhadap akses dan usaha penangkapan nelayan kecil di pesisir Tangerang. Pagar laut akan dapat mengubah daerah penangkapan nelayan, potensial meningkatkan modal usaha karena jalur yang terbatas, bahkan potensial menyebabkan terjadinya kecelakaan laut. Banyak nelayan yang mulai operasi penangkapan saat dini hari dan menggunakan sistem penerangan terbatas sehingga potensial pagar tertabrak oleh kapal nelayan.

Kelima, soal konektivitas sistem ekologi-ekonomi dan sosial di pesisir. Kawasan pesisir sebagai daerah penangkapan ikan juga menjadi area yang subur dan mengandung nutrien tinggi. Dengan keberadaan ekosistem mangrove sebagai habitat ikan, muara sungai menjadi ruang interaksi sistem ekologi ikan. Kawasan laut sebagai area transportasi antardaerah dalam mendaratkan hasil perikanan menjadi ruang interaksi ekonomi yang tidak boleh dihentikan.

 

Normalisasi

Kalau disimak situasi yang tengah berkembang saat ini, pemagaran ruang laut yang diinduksi dengan pemanfaatan berupa okupasi perairan harus diluruskan. Jika ada klaim bahwa dasar laut dianggap sebagai bagian agraria yang bisa diberikan hak atas tanah di dasar lautnya, juga harus diluruskan. Interpretasi lainnya bahwa pemagaran yang ada saat ini merupakan upaya restorasi dan rehabilitasi lahan darat yang hilang karena abrasi, juga tidak tepat.

Untuk mencegah terjadinya berbagai potensi kemelut horizontal akibat kesalahpahaman dari adanya pagar laut, maka langkah normalisasi harus segera dilakukan pemerintah. Pertama, mendefinisikan luasan objek dan area pembangunan di ruang laut termasuk PSN dan non-PSN. Kedua, melakukan sinkronisasi kelembagaan KKP dan ATR BPN agar pemanfaatan ruang laut sesuai dengan rencana zonasi dan memberikan kesejahteraan kepada masyarakat lokal.

Ketiga, memperkuat pengawasan untuk mencegah terjadinya tindakan yang dapat merugikan semua pihak. Keempat, melakukan normalisasi terhadap kawasan yang dipagar agar tidak terjadi okupasi dan pemanfaatan ruang laut secara bersama.

Ujung akhir dari normalisasi ini ialah mendorong pembangunan pesisir yang terpadu dengan melibatkan semua pihak untuk mencapai keharmonisan secara spasial dan menyejahterakan masyarakat di wilayah pesisir. Dengan demikian, polemik pagar laut ini akan berhenti dan kerja sama dalam pembangunan akan terjalin dengan baik.

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat