visitaaponce.com

Penghancuran Kreatif

Penghancuran Kreatif
(MI/Seno)

LEBIH dari satu abad lalu, seorang begawan ekonomi dunia Joseph Schumpeter melahirkan teori yang menakjubkan. Saya sebut menakjubkan karena teori itu mampu menembus waktu hingga seabad lebih kemudian tanpa tergoyahkan. Ia bahkan kukuh sebagai mahateori.

Teori Schumpeter itu dikenal dengan sebutan creative destruction atau penghancuran kreatif. Ia berarti pembongkaran praktik-praktik lama demi membuka jalan bagi inovasi yang melahirkan hal-hal baru nan menguatkan.

Penghancuran kreatif itulah yang meningkatkan. Ia proses mutasi yang terus-menerus merevolusi struktur dari dalam, tanpa henti menghancurkan sistem yang lama serta terus-menerus menciptakan yang baru. Schumpeter sebenarnya bicara tentang teori ekonomi. Akan tetapi, teori itu amat relevan diterapkan di banyak sisi wilayah yang lain.

Pada dasarnya, teori Joseph Schumpeter mengasumsikan bahwa pengaturan dan asumsi yang sudah lama ada harus dihancurkan demi membebaskan sumber daya dan energi yang akan digunakan untuk inovasi. Bagi Schumpeter, keseimbangan tidak lagi menjadi tujuan akhir. Sebaliknya, banyak dinamika yang berfluktuasi, yang terus-menerus dibentuk kembali atau digantikan oleh inovasi dan persaingan.

Dalam prinsip ilmu ushul fiqh, ada kalimat yang sangat terkenal, yakni al-muhafadzatu alal qadhimisshalih, wal akhdzu bil jadidil ashlah. Prinsip itu artinya 'memelihara yang lama yang sudah baik, dan mengambil hal baru yang lebih baik'. Jelas, bahwa prinsip 'mengambil hal-hal baru yang lebih baik' itulah inovasi. Itulah 'penghancuran kreatif' itu.

Dalam napas dan energi 'penghancuran kreatif' itulah Media Indonesia terus bertumbuh. Sejauh ini, kami sudah berjalan 55 tahun, tepat pada 19 Januari 2025, kemarin. Itu baru separuh dari umur teori Schumpeter yang awet meski tanpa 'formalin'. Kiranya itulah kenapa kami tertarik untuk terus 'menyembelih keusangan' melalui inovasi.

Inovasi yang jadi roh bagi 'penghancuran kreatif' itu pasti melibatkan pengenalan ide baru, produk, dan teknologi baru yang menggantikan ide, produk, dan teknologi yang sudah usang. Inovasi adalah kekuatan pendorong kehancuran kreatif. Tanpa inovasi, kehancuran kreatif tidak akan ada, dan tanpa kekuatan inovator, tidak akan ada agen perubahan yang dapat mewujudkan kehancuran kreatif.

Maka, kami melakukan peremajaan untuk teknologi atau produk lama agar berubah menjadi adaptif terhadap teknologi atau produk baru. Produk atau teknologi baru kami pun harus kami pastikan lebih baik dan efisien jika dibandingkan dengan produk atau teknologi lama.

Kami menyadari bahwa media seperti kami menghadapi tantangan hebat. Kami dikepung oleh beragam badai yang mendisrupsi kami makin cepat. Ada dominasi platform digital yang mendominasi pasar iklan digital di Indonesia (menurut laporan eMarketer pada 2023, lebih dari 70% belanja iklan digital di Indonesia dialokasikan ke platform-platform tersebut, mengurangi porsi pendapatan media di Tanah Air).

Ada juga persepsi ketidaknetralan media (meski media seperti kami tidak wajib netral, alih-alih independen). 'Kampanye' seperti itu ikut memperburuk tingkat kepercayaan publik. Juga, ada konten gratis yang tersedia di media sosial yang membuat masyarakat enggan berlangganan media berbayar.

Dalam kepungan seperti itu, membuat inovasi dan adaptasi ialah nyawa kami. Bahkan, kemampuan akal imitasi (AI atau artificial intelligence) yang di sejumlah titik dianggap musuh, layak untuk kami 'ajak berkolaborasi' agar kami tidak 'lenyap' dalam proses evolusioner.

Itulah mengapa kami berusaha menemukan cara terbaik untuk melakukan sesuatu dan bersedia secara kreatif menghancurkan apa yang telah kami lakukan di masa lalu demi menemukan solusi jangka panjang yang lebih baik, lagi dan lagi, dari waktu ke waktu.

Meminjam penggalan sajak Aku karya Chairil Anwar, kami 'ingin hidup seribu tahun lagi'. Agar kami terus bisa mengucapkan dirgahayu demi dirgahayu.

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat