One-State Vs Two-State Menimbang Masa Depan Palestina

“AS coordinated by the parties to the agreement and the mediators, the ceasefire in the Gaza Strip will begin at 8:30 a.m. on Sunday, January 19, local time in Gaza.”
Kalimat di atas adalah cuitan juru bicara Kementerian Luar Negeri Qatar, Majed Al Ansari.
Dunia bersukacita menyambut berita gencatan senjata di Gaza. Namun, banyak juga yang menyangsikan. Toh, gencatan senjata baru bisa dicapai setelah hampir 47 ribu korban tak berdosa meninggal dunia, 69% bangunan luluh lantah, termasuk 90% sekolah, 100% universitas, dan 70% fasilitas kesehatan.
Gencatan senjata, di satu sisi, patut disyukuri. Di sisi lain, kesempatan itu perlu digunakan dengan baik untuk mendiskusikan nasib Palestina yang telah terlunta-lunta setidaknya selama 80 tahun terakhir. Kini, para ahli semakin tegas menyebut bahwa solusi dua negara (two-state solution) telah mati. Solusi itu digantikan oleh sesuatu yang sama berat tapi lebih realistis, yaitu solusi satu negara (one-state solution).
Skema satu negara memang tidak populer, setidaknya karena sejak awal terjadinya konflik di tahun 1930-an, hampir seluruh dunia meyakini solusi dua negara yang tak kunjung tercapai itu sebagai solusi terbaik. Sebuah keyakinan yang belakangan layak untuk diuji kembali.
MI/Seno
HASIL OSLO AGREEMENT
Hal utama yang membuat para ahli sangsi dengan solusi dua negara ialah kegagalan Oslo Agreement yang ditandatangani oleh Ketua PLO Yasser Arafat dan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin pada 1993. Perjanjian Damai Oslo menghasilkan beberapa hal penting. Di antaranya pendirian Palestinian Authority (PA) yang menjadi pemerintahan sipil tanpa militer di Tepi Barat, pemilu di Palestina, dan penarikan Israel dari Gaza dan sebagian Tepi Barat. Mari kita uji tiga hasil tersebut secara saksama.
PA sudah berdiri di Tepi Barat, menjadi pemerintah sipil resmi yang diharapkan dapat menjadi embrio dari negara Palestina kelak. Sayangnya lembaga ini menghadapi beberapa masalah serius. Pertama, ketergantungan ekonomi kepada Israel. Karena tidak memiliki kemandirian ekonomi, mau tidak mau, ia terus bergantung pada kemauan Israel, sehingga berbagai kebijakan yang diambil adalah kebijakan yang menyenangkan Israel meskipun merugikan warganya sendiri.
Kedua, PA tidak berhasil mendapatkan dukungan yang luas dari publik. Di 2023, sebuah survei yang digelar oleh Palestinian Center for Policy and Survey Research menunjukkan bahwa 60% penduduk Tepi Barat melihat PA sebagai beban, 51% meyakini bahwa PA dan Hamas tidak layak mewakili rakyat Palestina, dan 90% responden ingin Mahmoud Abbas, Presiden PA, mundur.
Ketiga, budaya korupsi yang merajalela membuat warga Tepi Barat semakin menderita. Sementara itu, Pemilu Legislatif 2006 yang dimenangi oleh Hamas, alih-alih menghasilkan sistem politik yang kuat, justru membuat Hamas dan Fatah berseteru hingga sekarang, dengan masing-masing menguasai wilayah yang berbeda. Hingga saat ini, pemilu tidak dapat digelar lagi karena berbagai alasan. Padahal, Mahmoud Abbas, Presiden PA, sudah berusia 89 tahun.
ISRAEL BERGERAK KE KANAN
Dari sisi Israel, alih-alih menarik diri dari Tepi Barat, Israel justru terus membangun permukiman ilegal di Tepi Barat, yang jumlah penduduknya mencapai 775 ribu jiwa. Hal itu secara begitu jelas dipengaruhi oleh ideologi Yahudi yang semakin kanan. Rabin, yang berhasil melakukan terobosan dengan penandatanganan Oslo 1993, sebuah langkah terjauh yang pernah dicapai oleh seluruh PM Israel sepanjang sejarah, dibunuh oleh ekstremis kanan pada 1995.
Satu tahun kemudian, seorang pemimpin ekstrem kanan, Benjamin Netanyahu, berhasil mengambil alih kursi PM. Likud, partai yang ia pimpin, merupakan ahli waris ideologi zionisme revisionis yang dipelopori oleh Vladimir Jabotinsky, dengan dua ciri utama. Pertama, menciptakan The Greater Israel, Israel Raya yang meliputi Gaza dan Tepi Barat, dan dalam batas tertentu juga termasuk Dataran Tinggi Golan di Suriah. Kedua, menggunakan pendekatan the iron wall, militer yang kuat sebagai solusi menghadapi Palestina. Bukan pendekatan diplomasi damai.
Ideologi ekstrem kanan ini pula yang membuat perundingan damai menjadi tidak mungkin. Kematian Rabin menjadi sinyal kuat bagi setiap PM Israel agar tidak sekali-kali mencoba bersikap lunak terhadap Palestina, karena hal itu akan membuat marah kelompok kanan Israel yang belakangan semakin menguat. Solusi dua negara yang mengharuskan penarikan hampir satu juta pemukim ilegal di Tepi Barat juga sangat berisiko bagi elite Israel, sehingga tidak akan ada pemimpin yang mau mengambil langkah tersebut.
Di tahun 2016, PBB mengeluarkan Resolusi 2334 tentang upaya penyelamatan two-state solution, yang salah satu caranya ialah dengan Israel menarik seluruh permukiman ilegal di Tepi Barat, termasuk Jerusalem Timur. Alih-alih menaati resolusi, Israel justru terus membangun permukiman baru hingga sekarang, membuat probabilitas solusi dua negara semakin jauh panggang dari api. Dampaknya yang lain ialah pembahasan isu-isu kunci menuju solusi dua negara, meliputi hak kembali untuk pengungsi Palestina, status Jerusalem, dan perbatasan hampir mustahil dilakukan.
Toh, melihat ke belakang, solusi dua negara ini sebenarnya sudah diusulkan setidaknya sejak tahun 1937 oleh Peel Comission di bawah Kerajaan Inggris, ketika Palestina berada di bawah Mandat Inggris. Sepuluh tahun kemudian, PBB mengeluarkan resolusi yang intinya adalah sama, membagi Palestina menjadi dua negara; satu untuk Arab, satu untuk Yahudi.
Berbagai proposal lain menuju two-state solution juga sudah diajukan oleh banyak negara, baik negara-negara Arab maupun Barat. Maka, meminjam istilah Ian Lustick, profesor ilmu politik di Universitas Pennsylvania, para ahli harus mulai move on, harus menyadari bahwa two-state solution telah mati, dan mencari jalan yang lebih adil bagi implementasi one-state solution.
ONE-STATE REALITY
Menurut Lustick, masa depan dari Palestina-Israel ialah one-state solution. One-state solution berarti menciptakan satu negara yang demokratis dan menjamin hak-hak penduduk secara setara dan tanpa diskriminasi. Seluruh penduduk Israel dan Palestina akan diintegrasikan ke dalam satu negara binasional. Binasional berarti ada dua kebangsaan, Arab dan Yahudi, yang bergabung menjadi satu negara dengan kekuasaan politik yang dibagi secara merata.
Sebenarnya, realitas yang terjadi selama ini juga merupakan perwujudan dari one-state solution. Gaza dikuasai oleh Israel dari tahun 1967 hingga blokade total 2005. Hamas mendapatkan kekuasaan di Gaza baru pada 2006. Kendati memiliki legitimasi yang kuat oleh publik, Hamas sama sekali tidak diakui di panggung internasional.
Selain itu, ruang geraknya juga sangat terbatas karena blokade yang menjadikan Gaza sebagai ‘penjara terbuka’. Adapun Tepi Barat secara tidak langsung juga dikuasai oleh Israel melalui PA, yang oleh Edward Said disebut sebagai pemerintah daerah bagi negara Israel. PA yang sangat bergantung pada Israel tidak memiliki kekuasaan yang nyata di lapangan.
Singkatnya, sejak 1967, hanya ada pemerintah tunggal yang benar-benar berdaulat di kawasan yang membentang dari Sungai Yordania hingga Laut Mediterania, yaitu negara Israel. Negara ini memerintah penduduk Israel, penduduk Palestina di wilayah pendudukan, dan penduduk Palestina di pengungsian di luar negeri.
Dalam bahasa Yousef Munayyer, seorang analis politik keturunan Palestina di Amerika, “You need to take reality as it is, not the way you imagine it to be,” kita harus melihat realitas seperti apa adanya, bukan seperti yang kita bayangkan. Realitas ini telah dicoba untuk diubah menjadi dua negara yang merdeka dan berdaulat, tapi selalu gagal, sehingga kita layak untuk melihat solusi lain yang lebih mungkin.
Persoalannya ialah, bagaimana membuat negara dalam konteks one-state solution tersebut dapat menjadi benar-benar demokratis, bukan apartheid seperti yang terjadi saat ini. Di sisi Israel, ada tantangan penguatan kelompok kanan yang tidak mudah diatasi. Namun, penguatan kelompok kanan ini juga tidak membuat two-state solution jadi lebih mudah. One-state maupun two-state sama-sama disulitkan oleh fenomena ini.
Contoh paling mencolok dari ideologi kanan ini ialah diresmikannya Basic Law 2018 yang menyebutkan bahwa Israel adalah negara bangsa untuk orang Yahudi. Basic Law ini mencederai sisi demokrasi Israel, terutama bagi sekitar 2 juta penduduk Arab Palestina yang berkebangsaan Israel.
One-state jelas diinginkan oleh Israel. Namun, yang mereka impikan bukanlah negara yang demokratis binasionalisme, melainkan negara Yahudi dengan sangat sedikit--syukur-syukur tidak ada--minoritas Arab. Hingga saat ini, Israel membatasi hak-hak sipil 2 juta keturunan Arab Palestina yang memegang kewarganegaraan Israel. Ini menjadi preseden buruk bagi negara yang nanti juga akan menampung 5 juta penduduk Tepi Barat dan Gaza. B’Tselem, lembaga HAM bereputasi baik yang berbasis di Israel, menyebut negara tersebut sebagai negara apartheid.
Harus ada tekanan yang besar, termasuk dari negara-negara Arab dan negara dunia ketiga, untuk menolak normalisasi hubungan dengan Israel jika masih melakukan praktik-praktik apartheid. Arab Saudi, yang belakangan memiliki wacana untuk membuka hubungan diplomasi, harus diperingatkan secara keras. Wacana Irlandia mengubah kedutaan Israel di Dublin menjadi Museum Palestina patut diikuti oleh negara-negara yang telah memiliki hubungan diplomatik dengan negara tersebut.
TANTANGAN DI PALESTINA
Di sisi Palestina, tantangannya tidak lebih mudah. Sejarah mengajarkan kepada kita bahwa perlakuan yang keras akan melahirkan kekerasan yang lain. Kebrutalan Israel terhadap anak-anak tak berdosa hanya akan melahirkan generasi yang penuh dendam kesumat terhadap Israel, Amerika, dan bahkan Yahudi di mana pun berada. Genosida puluhan tahun akan menghasilkan kebencian yang begitu mendalam di dalam jiwa anak-anak Palestina, yang dengan kebencian tersebut, mereka siap mati untuk bisa menghancurkan negara Israel. Hal ini yang menjadi alasan kenapa Hamas jauh lebih populer jika dibandingkan dengan Fatah.
Perasaan kebencian yang mendalam ini membuat anak-anak muda Palestina tidak akan dengan mudah melebur ke dalam negara yang sejak mereka lahir telah menindas kakek nenek mereka. Hamas, Jihad Islam, dan front-front lain di Palestina memiliki ideologi yang sangat anti terhadap Israel. Namun, Fatah, di periode awal, juga memiliki watak yang begitu keras. Awalnya, Fatah adalah front perlawanan terbesar di Palestina dengan sistem gerilya. Di tahun 70-an, Arafat, pemimpin Fatah sekaligus PLO, mulai memilih jalur negosiasi daripada militer. PLO terus melakukan program-program negosiasi yang akhirnya menghasilkan Perjanjian Oslo. Tanpa menafikan kejahatan Israel yang begitu dahsyat, bisa jadi, ketika lelah berperang, Hamas dan front lain juga akan memilih jalur negosiasi karena kekerasan tidak ada ujungnya.
Di sisi lain, tidak berhasilnya mereka menciptakan satu institusi politik nasional yang kuat juga harus menjadi pertimbangan. Hamas di Gaza tidak bisa diterima oleh komunitas global, bahkan dimasukkan sebagai organisasi teroris. AdapunPA di Tepi Barat sangat bergantung pada Israel serta tidak memiliki legitimasi publik yang kuat. Setelah hampir 20 tahun dua institusi itu bersitegang, rasa-rasanya kita layak untuk melihat solusi lain.
Terlepas dari semua itu, toh pada akhirnya mereka yang akan memilih nasib mereka sendiri. Apakah memilih langkah yang realistis, merelakan tanah yang begitu luas, dan kemungkinan identitas yang lebih mudah luruh, untuk membangun sistem politik di masa depan yang lebih demokratis. Atau, terus-menerus berjibaku dengan rudal dan mesiu, mengingat hari ini, kekuatan politik, ekonomi, dan militer dimiliki oleh Israel dan Amerika, sementara sekutu mereka di dunia Arab sibuk dengan pertikaian mereka sendiri dengan Iran.
Solusi satu negara bukanlah satu-satunya alternatif. Selain one-state dan two-state, ada juga wacana untuk menggabungkan Tepi Barat ke Yordania dan Gaza ke Mesir. Solusi itu juga layak untuk diuji di tengah kebuntuan perundingan damai. Satu hal yang jelas, solusi dua negara yang selama puluhan tahun terus diperjuangkan rasanya menghasilkan lebih banyak kekerasan daripada perundingan damai. Maka, kita patut membuka mata bahwa sudah saatnya bergerak mencari peluang-peluang damai yang lain. Dan, dalam pencarian panjang ini, Indonesia sangat layak untuk memulai.
Terkini Lainnya
Demonstrasi Warga Israel Desak Pemerintah Tuntaskan Kesepakatan Gaza
Erdogan: Israel Harus Akhiri Penjajahan Palestina dan Bayar Kompensasi
Hampir Setengah Anak Tepi Barat Dibunuh Israel dalam Dua Tahun
Akui Negaranya Ditertawai, Eks Menteri Israel Tawarkan Insentif Migrasi Palestina
Israel Bunuh Dua Perempuan Palestina dan Bayi yang belum Lahir
Kontraktor Swasta AS Jaga Pos Pemeriksaan Gaza, Berikut Konsekuensinya
Benjamin Netanyahu Temui Donald Trump di Gedung Putih: Strategi Gaza, Iran, dan Normalisasi Timur Tengah
Sugiono Kunjungi Yaman untuk Rajut Perdamaian
Donald Trump Peringatkan Konflik Besar Jika Sandera Gaza Tidak Dibebaskan Sebelum Pelantikannya
Tradisi dan Adat Natal di Dunia Arab
Rayakan Musim Perayaan Bulan Desember dengan Tema Hawaii dan Keajaiban Timur Tengah di Mercure Bali Sanur Resort!
Solusi atas Konversi 20 Juta Hektare Hutan untuk Food Estate
Pemeriksaan Kesehatan Gratis
Reposisi Core Business Perguruan Tinggi dan Mengadaptasi Kebijakan Presiden Prabowo
Kebijakan Imperialisme Trump
Penyehatan Tanah untuk Peningkatan Produktivitas Pertanian
Trumpisme dalam Tafsiran Protagorian: Relativitas dalam Ekonomi Global
1.000 Pelajar Selami Dunia Otomotif di GIIAS 2024
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap