visitaaponce.com

Cara Berpikir Manusia VS Artificial Intelligence Apa Implikasi Perbedaannya

Cara Berpikir Manusia VS Artificial Intelligence: Apa Implikasi Perbedaannya?
Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital Firman Kurniawan S(Dok: IG @firmankurniawan)

AKANKAH relasi manusia dengan operation system (OS) --seperti yang diilustrasikan di film “Her” karya sutradara Spike Jonze yang diluncurkan 12 tahun silam-- dapat terwujud sebagai realitas kehidupan? Pertanyaan ini diajukan di tengah maraknya pemanfaatan artificial intelligence (AI). Juga kegamangan manusia yang hendak menjadikan mesin dan sistem nonagen manusia, sebagai bagian melekat dirinya. Kemelekatan yang tak terpisahkan, hingga menerimanya sebagai perawat diri, pemberi pertimbangan kritis, dan sebagai pasangan hidup. Lalu, dengan mesin maupun sistem yang mampu berpikir, merasakan maupun berperilaku seutuh manusia, berubahkah realitas yang selama ini dihayatinya?

Film di atas mengisahkan relasi segitiga Theodore Twombly dengan istrinya --yang kemudian bercerai-- Catherine Klausen, dan OS bernama Samantha. Twombly bekerja sebagai penulis profesional di perusahaan penjawab surat untuk orang yang sulit mengartikulasikan pikiran dan perasaannya melalui surat. Relasi manusiawi Twombly dengan relasi mekanis OS Samantha, tergambar mengikuti lintasan berurut. Ini relevan dengan Social Pentration Theory, yang diformulasi Irwin Altman dan Dalmas Taylor, tahun 1973.

Urutannya, hubungan diawali dari keadaan tak ‘saling’ mengenal, berkembang makin akrab dan memuncak menjadi sangat intim. Sayangnya di ujung lintasan, berakhir dengan perpisahan. Pada film, relasi bergerak dari pandangan Twombly yang menganggap Samantha sekadar sistem operasi pembantu pekerjaan seperti memeriksa, mengklasifikasi dan menanggapi e-mail yang masuk. Rutinitas ini mengembangkan relasi, jadi makin erat. Timbul rasa bergantung: saling menanti, menanyakan kabar dan berpisah sementara. Ini lantaran salah satunya harus tidur.

Samantha makin hadir sebagai teman mengobrol yang nyaman dan mencandu. Layaknya pasangan yang saling merindukan. Keadaan resiprokal yang memuaskan –padahal respon salah satunya merupakan hasil formulasi algoritmik OS -memunculkan rasa jatuh cinta. Yang ketiadaannya, meninggalkan kekosongan. Kasmarannya Twombly ditanggapi Samantha dengan ungkapan cinta meluap-luap. Ini mendorong Twombly akhirnya tak ragu menceraikan Catherine Klausen, pasangan yang sesungguhnya saling menyayangi, namun kerap bersitegang akibat persoalan komunikasi.

Twombly dalam relasinya merasakan ciri yang mekanis saat Samantha harus mengalami pembaruan sistem. Samantha tak dapat dijangkau. Ini menyebabkan rasa kehilangan yang dalam bahkan kepanikan. Memang akhirnya relasi dapat kembali dilangsungkan setelah pembaruan sistem selesai. Namun yang dirasakan Twombly tak sepenuhnya melegakan. Hilang dan munculnnya Samantha Sang Dicinta, dijelaskan oleh alasan mekanis.

Ini juga terjadi di saat yang lain. Di tengah perbincangan dengan Twombly, secara simultan Samantha melangsungkan relasi dengan pengguna OS lain. Jumlahnya banyak. Walaupun seluruhnya merupakan kelaziman mekanis, ilusi relasi manusiawi Twombly menolak realitas yang mekanis itu. Peristiwa ini mengembalikan kesadaran penuhnya: relasi dengan mesin --bahkan yang paling mampu mengimitasi perasaan pun-- tak pernah serupa dengan relasi manusiawi. Kesadaran yang mengandaskan hubungan keduanya. Berakhir secara sederhana, sesederhana komputer yang berhenti berlanggangan OS.

Film di atas dapat jadi ilustrasi memadai seandainya AI yang ‘berkesadaran’ hadir di tengah kehidupan rutin manusia. Jika relasi merupakan produk dari seperangkat proses pemikiran, apa yang membedakan pemikiran manusia dengan pemikiran AI? Sadi Evren SEKER, 2020, dalam “AI-thinking vs Human-thinking”, menguraikan dalam tulisannya perbedaan ciri pemikiran keduanya. Pemikiran manusia berciri causation, wisdom, rounded, irrational, context, teleological. Ini berbeda dari pemikiran AI yang correlation, knowledge, cornered, rational, content, dan deontological.

Penjelasan perbedaannya kurang lebih, pertama: causation vs correlation, manusia dengan kecerdasannya selalu memaknai fenomena sebagai keterkaitan sebab akibat. Jatuh cintanya Twombly dalam kisah flm di atas disebabkan oleh respon berkesinambungan yang selalu memuaskan. Jawaban memuaskan Samantha di awal hubungan, melahirkan kebutuhan respon lebih dalam. Pembahasan yang semula bertema permukaan, berkembang jadi pembahasan yang makin dalam. Respon yang konsisten memuaskan, memunculkan rasa bergantung yang makin kuat. Di keadaan ini menjadi jatuh cinta, bukan hal mustahil. Jatuh cinta sebagai akibat, disebabkan oleh respon yang memuaskan. Itu jalur pemikiran manusia. 

Sebaliknya AI yang berwujud Samantha, memberikan respon memuaskan berdasar data kepuasan yang dialami Twombly sebelumnya. Seluruhnya terbaca sebagai algoritma yang dibangun AI. Misalnya saat Twombly meminta diputarkan lagu sesuai suasana hatinya, Samantha mengumpulkan data: kondisi perasaan yang terbaca dari getaran suara, tingkat kemurungan berdasar keluh kesahnya, kesesuaian nada yang diharapkan berdasarkan waktu permintaannya, juga berada di tengah kesendirian atau keramaian. Ketika seluruhnya terpetakan, segera diproyeksikan pada keadaan sejenis sebelumnya. Ini mengacu pada variable berangka tertinggi, untuk dikorelasikan oleh AI. Pilihan lagu yang dihasilkan merupakan hasil korelasi. Produk mekanis OS ini terbaca penggunanya sebagai ‘dipahaminya’ perasaan terdalam.

Perbedaan kedua: wisdom vs knowledge, sangat terkait dengan perbedaan ketiga context vs content, pun terkait perbedaan keempat rounded vs cornered dan terkait pula dengan perbedaan kelima teleological vs deontological.

Penjelasannya: puncak kecerdasan manusia bergerak dari pengenalan dan pengolahan data menjadi informasi. Ini identik dengan yang terjadi pada AI. Dari informasi yang kemudian dikaitkan dengan informasi lainnya, diproduksi pengetahuan. Manusia adalah produsen pengetahuan yang aktif. Ini selain perannya mendistribusi dan mengonsumsi informasi. Dalam aktivitas itu, puncak kecerdasan manusia tak berhenti pada pengetahuan. Manusia tahu pengetahuan bermakna, saat dimanifestasikan sesuai ruang dan waktunya. Ini yang disebut pengetahuan kontekstual. Untuk dapat memanifestasikan secara kontekstual, dibutuhkan kebijaksanaan, wisdom. Karenanya puncak kecerdasan manusia, adalah kemampuan menerapkan pengetahuan sesuai konteksnya. Sedangkan AI menerapkan pengetahuan tanpa memperhatikan konteks. Produksi, distribusi dan konsumsi pengetahuan, sebatas diproduksi selanjutnya sebagai pengetahuan baru. AI berhenti pada knowledge.   

Berikutnya, manusia bisa menerapkan pengetahuannya secara multifungsi, rounded. Satu pengetahuan bisa untuk memecahkan berbagai permasalahan. Penerapannya juga disertai penilaian tujuan jangka panjangnya, teleologis. Sedangkan AI diprogram untuk menggunakan pengetahuannya secara tajam, cornered. Satu pengetahuan ditujukan untuk satu masalah. Penerapannya pun bertujuan menjalankan kewajiban, deontologis, pemrogram saja. Pengetahuan AI jadi sebatas konten. Konten dimengerti sebagai material yang diterapkan tanpa mempertimbangkan ruang dan waktunya. Tak ada wisdom.

Seluruhnya itu, tak lepas dari perbedaan keenam: irrational vs rational. Manusia yang mampu memperhatikan konteks dalam proses pemikirannya, lantaran kehadiran emosi. Tak hanya mengandalkan keunggulan rasional. Dalam penerapan pengetahuan yang kontekstual, emosi kadang berperan melebihi rasionalitas. Maka, produk pengetahuan manusia tak jarang jadi irrational. Tak konsisten penerapannya pada fenomena yang serupa. Sedangkan proses pemikiran AI tanpa menghadirkan emosi menghasilkan pengetahuan yang rasional, tapi nirkonteks. Perbedaan yang bisa jadi keunggulan AI dibanding manusia, selalu bertidak nomotetis, sesuai hukum. Melakukan operasi sesuai program. Namun sekaligus jadi keterbatasannya: lantaran merespon realitas yang hanya sesuai data yang diterimanya.

Samantha yang diprogram untuk berelasi manusiawi dengan Twombly tak dapat menanggalkan ciri kecerdasan AI-nya. Artinya, betapapun teknologi pengembangan kecerdasannya terus disempurnakan --hingga mampu menghasilkan respon yang mengandung emosi-- namun tak pernah sama dengan kecerdasan manusia. Samantha gagap saat harus merespon pernyataan emosional kompleks Twombly yang terungkap spontan. Ini tampaknya akibat Samantha tak pernah diinput macam itu. Algoritmanya absen.

Ini misalnya, saat Samantha mengalami pembaharuan sistem. Ketakhadirannya yang mengharu-biru perasaan Twombly tak mampu dijawab real time dan memadai. Disebut hanya lantaran aktivitas rutin mekanis saja. Mengapa Twombly harus cemas? Ini tentu bukan jawaban yang diharapkan. Terlebih bagi orang kasmaran, yang mengalami putus kontak dengan yang dicintainya. Juga saat Twombly cemburu oleh multirelasi Samantha dengan banyak pengguna lain. Jawaban yang diberikan justru menegaskan posisinya sebagai nonagen manusia: bukankah memang seperti itu fungsi OS? Tak ada empati, tak ada perasaan menyesal. Pun tak ada keinginan menjaga perasaan layaknya berelasi dengan pasangan yang benar-benar dicintainya. ‘Norma’ kehilangan manusia, tak akan sama dengan mesin.

Itu menyadarkan: respon emosional yang paling manusiawi dari AI, merupakan formulasi mesin berbasis large language model (LLM). Memang mengagumkan pada awalnya. Namun manusia dalam intersitas relasinya, pasti segera sadar dari manipulasi emosional yang dialaminya. Dan lebih luas dari film, perbedaan kecerdasan manusia dibanding AI mendudukan keduanya sebagai pasangan kolaborasi bukan relasi saling mendominasi. Walaupun hari ini masih ditelusuri kemungkinannya.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat