Trump-Netanyahu Vs Arab-Dunia Islam

DALAM pidato pelantikannya sebagai Presiden ke-47 Amerika Serikat (AS) pada 20 Januari, Donald Trump menyatakan ingin menjadi ‘peacemaker’. Kenyataannya ia bersekongkol dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk membentuk Timur Tengah baru dengan mengorbankan Palestina dan bangsa Arab.
Setelah dilantik, Trump mengeluarkan perintah eksekutif yang melarang warga dari negara-negara berpenduduk mayoritas muslim memasuki AS. Alasannya, budaya Islam tak cocok dengan budaya AS. Bahkan, muslim yang menunjukkan sikap pro terhadap Palestina harus dideportasi kendati mereka punya izin tinggal.
Mahasiswa Palestina pun harus diusir dari AS. Tak kurang mengejutkan, Trump mencabut larangan mengekspor bom seberat 2.000 pon kepada Israel yang diberlakukan pendahulunya. Kebijakan Trump ini lebih keras daripada kebijakan dia di periode pertama pemerintahannya (2017-2021). Waktu itu ia melarang warga dari enam negara berpenduduk mayoritas muslim memasuki AS, mengakui Yerusalem Timur tempat bercokolnya Masjid al-Aqsa sebagai milik Israel, dan menghentikan bantuan kepada Badan PBB Urusan Pengungsi Palestina (UNRWA).
Kini, ia memperluas penghentian bantuan sosial terhadap dunia, yang akan berdampak besar pada negara-negara Islam miskin dan sedang berkonflik. Hilangnya bantuan AS dapat mendestabilisasi Dunia Islam. Trump lupa bahwa kemenangannya dalam pemilu AS disumbangkan oleh komunitas muslim yang kecewa terhadap kebijakan pro Israel yang ditunjukkan lawannya, Kamala Harris. Dan Dunia Islam khususnya memuji Trump karena mengira ia menekan Netanyahu untuk segera deal dengan Hamas demi menegakkan keadilan untuk Palestina.
Gencata senjata tiga fase itu mulai diimplementasikan, yang diharapkan berujung pada penarikan penuh militer Israel (IDF) dari seluruh Gaza dengan imbalan Hamas membebaskan seluruh sandera Yahudi yang tersisa. Bagaimanapun, gencatan senjata tidak diniatkan untuk menyelesaikan isu Palestina secara tuntas dengan Palestina memiliki negara.
Gencatan senjata ini pun rapuh karena tidak ada klausul tertulis yang melarang Israel menyerang Hamas kembali setelah fase pertama terlewati. Tak mengherankan jika Netanyahu menyatakan Israel akan melanjutkan perang sampai Hamas dihancurkan.
Tujuannya, mempertahankan pemerintahan koalisi setelah Partai Zionis Religius pimpinan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich mengancam akan juga mundur dari pemerintahan kalau Netanyahu tidak melanjutkan perang di fase kedua. Adapun Partai Kekuatan Yahudi pimpinan Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir telah lebih dahulu mengundurkan diri.
Dalam situasi ini, Trump justru mencabut sanksi yang diterapkan Biden terhadap kelompok-kelompok ekstrem Yahudi yang menyerang warga Palestina di Tepi Barat untuk merampas tanah mereka. Bahkan, IDF mengintensifkan operasi yang menyerupai genosida di Gaza guna menganeksasi Tepi Barat, dan Trump mendukungnya.
KEKALAHAN ISRAEL
Apa yang dilakukan Netanyahu-Trump tak bisa dilepaskan dari kekalahan Israel di Gaza. Toh, tujuan perangnya melumatkan Hamas dan membebaskan sandera melalui jalan militer tidak tercapai. Kehendak untuk menguasai Gaza dengan menempatkan IDF di Koridor Philadelphia antara Gaza dan Sinai (Mesir) dan Koridor Netzarim yang memisahkan Gaza utara dan selatan juga buyar. Ini yang menjelaskan mengapa Ben-Gvir mundur. Kalau nanti Smotrich juga mundur, pemerintahan Netanyahu akan runtuh dan karier politiknya berakhir.
Bahkan, reputasi badan intelijen Mossad dan supremasi IDF sebagai kekuatan di kawasan yang tak tertandingi luntur seketika. Kegagalan Mossad terlihat mencolok ketika pada 7 Oktober 2023 Hamas berhasil menerjang Israel selatan. Kendati dibantu CIA sejak awal perang, Mossad tak mampu melacak keberadaan sandera. Juga ketidakmampuan IDF menundukkan Hamas. Padahal Hamas punya keterbatasan yang sempurna.
Perlu diingat bahwa Israel pernah berperang sebanyak empat kali dengan gabungan beberapa negara Arab sekaligus. Bahkan, perang 1967 hanya berlangsung enam hari dengan Israel berhasil mencaplok Sinai (Mesir), Tepi Barat (Yordania), dan Dataran Tinggi Golan (Suriah).
Dalam menghadapi Hamas, IDF harus berperang selama 15 bulan tanpa kemenangan. Sebaliknya, reputasi IDF berantakan. Mahkamah Internasional (ICJ) dan Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) menyatakan Israel telah melakukan kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan. ICC bahkan mengeluarkan surat perintah penangkapan (arrest warrant) terhadap Netanyahu.
Kehancuran reputasi IDF juga diperlihatkan di Libanon. Kendati Hizbullah terpukul hebat, Israel tidak memenangi perang. Tidak heran, kendati telah melampaui tenggat 27 Januari, IDF masih menyerang Libanon selatan dengan persetujuan Trump.
Netanyahu hendak membentuk kembali lanskap politik dan militer di Libanon, dengan memastikan Hizbullah tak lagi menjadi ancaman di masa depan dan kelompok pro Iran itu juga kehilangan peran menentukan dalam perpolitikan Libanon. Semua ini hanya menegaskan IDF kehilangan kepercayaan diri pada kemampuan mengendalikan lawannya. Padahal, eksistensi Israel bergantung pada postur militernya yang digdaya sebagai faktor deterrence untuk melindunginya dari ancaman eskternal.
KENISCAYAAN PERSATUAN ARAB-DUNIA ISLAM
Kemenangan Hamas membuat berdirinya negara Palestina menjadi isu sentral Timur Tengah dan dunia. Rencananya, pada Juni nanti akan digelar konferensi internasional tentang negara Palestina di New York. Simpati dunia pada Palestina memang meningkat pesat sejak pecah perang yang mengancam ketertiban dan perdamaian dunia, selain masalah moral.
Pada 10 Mei 2024, Majelis Umum PBB menyetujui resolusi yang mendukung upaya Palestina menjadi anggota penuh. Palestina juga mendapatkan beberapa hak dan keistimewaan tambahan mulai September 2024, yang mencakup kursi di antara anggota PBB di ruang sidang. Andaikan tidak diveto AS, negara Palestina sudah berdiri.
Untuk membuat negara Palestina tidak relevan, Tepi Barat harus dianeksasi dan Gaza dikosongkan dari populasinya, yang secara otomatis melenyapkan para pejuang kemerdekaan di sana. Inilah yang menjelaskan mengapa Trump mendukung aneksasi Israel atas Tepi Barat dan gagasannya merelokasi ‘sementara’ warga Gaza ke Mesir dan Yordania. Ide ini harus dibaca sebagai upaya menghilangkan isu Palestina. Dus, nyaris mustahil gagasan ini disambut penguasa Yordania dan Mesir. Pasalnya, resistensi yang keras akan muncul dari publik mereka.
Lagi pula, segera saja warga Gaza menolak relokasi yang mengingatkan mereka pada peristiwa ‘Nakba’ (malapetaka) tahun 1948 ketika 750 ribu warga Palestina diusir dari kampung halaman mereka dan hingga kini hidup sebagai pengungsi di Gaza. Bagaimanapun, Yordania dan Mesir sangat bergantung pada bantuan AS.
Sementara itu, negara-negara Arab Teluk, seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Oman, menyambut Trump yang keluarganya punya hubungan bisnis dengan mereka. Terkait dengan Gaza pascagencatan senjata, Qatar berbeda pendapat dengan UEA. Qatar menghendaki Otoritas Palestina pimpinan Presiden Mahmoud Abbas mengambil alih Gaza. UEA menginginkan Mohammad Dahlan asal Gaza--yang sejak beberapa tahun terakhir mengasingkan diri di UEA--memerintah Gaza.
Kedua ide itu ditolak Netanyahu dan Trump. Pada periode pertama pemerintahannya, Trump meluncurkan ‘kesepakatan abad ini’--perdamaian Arab-Israel--yang tidak menjanjikan negara bagi Palestina. Ketika itu, setidaknya Saudi, UEA, dan Bahrain mendukungnya. Dus, sangat mungkin Trump kembali menyodorkan konsep ini.
Agar sukses, Trump akan mendesak Saudi menormalisasi hubungan dengan Israel. Saudi adalah negara Arab dominan di kawasan, dan ekonomi serta keamanannya sangat bergantung pada AS. Normalisasi hubungan dengan Israel sangat mungkin akan diikuti negara Arab lain dan Dunia Islam.
Kalau demikian, cita-cita Palestina memiliki negara akan sirna. Akan tetapi, risikonya sangat besar. Bukan tidak mungkin rezim-rezim represif di kawasan akan menghadapi pemberontakan dalam negeri. Dus, logis bila ide Trump-Netanyahu ditolak penguasa di kawasan. Arab dan Dunia Islam memiliki bargaining power yang kuat untuk menghadapi Trump.
Lagi pula, mendukung kemerdekaan Palestina bukan opsional, melainkan kebutuhan politik untuk menstabilkan dunia Arab dan Islam. Bermusuhan dengan Arab-Dunia Islam dengan populasi 1,5 miliar jiwa dan strategis dari sisi geografis, pasar, dan sumber daya alam, tidak sejalan dengan kebijakan ‘America First’ Trump.
AS bukan lagi negara adidaya tunggal. Tiongkok, Rusia, dan negara-negara kekuatan menengah yang tergabung dalam BRICS telah muncul sebagai kekuatan ekonomi, teknologi mutakhir, dan teknologi militer yang kompetitif dengan AS.
Mengabaikan negara Palestina, serta memperlihatkan sikap rasis terhadap muslim, di saat pengaruh ekonomi, politik, dan teknologi Tiongkok di dunia Arab dan Islam meningkat secara signifikan, justru memperlemah kompetisi AS menghadapi lawannya itu. Semua fakta ini menunjukkan skema Trump-Netanyahu bisa dibuyarkan bila Arab-Dunia Islam satu suara membela Palestina secara konkret.
Terkini Lainnya
Dapat Tekanan dari Mesir, Hamas mulai Melunak
Netanyahu Sebut Rencana Trump Ambil Alih Gaza Penting untuk Masa Depan Israel
Netanyahu Berjanji "Selesaikan Tugas" terhadap Iran, AS Kirim Bom Berat ke Israel
Artis Yahudi dan Ratusan Rabi Tolak Pembersihan Etnis di Gaza
Israel Utamakan Serangan ke Gaza Abaikan Keselamatan Sandera
Netanyahu Ancam Lanjutkan Perang di Gaza jika Hamas Tak Bebaskan Sandera
Israel Negara Kepala Batu!
Takdir Mahmoud Abbas Pascaperang Gaza
Catatan Akhir Tahun: Badai Timur Tengah
Kemenangan Trump, Krisis Timteng, dan Dampak bagi RI
Digital Minimalism dan Kebermaknaan Hidup
Terapi dengan Menulis
Memaknai Valentine sebagai Peringatan, bukan Perayaan
Proyek Genom Manusia, Pedang Bermata Dua
Kebijakan Imperialisme Trump
Penyehatan Tanah untuk Peningkatan Produktivitas Pertanian
1.000 Pelajar Selami Dunia Otomotif di GIIAS 2024
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap