Memaknai 102 Tahun NU dalam Percaturan Dunia
NAHDLATUL Ulama, organisasi muslim terbesar di dunia, memiliki otot yang kuat untuk berperan aktif dalam percaturan dunia. Bukan hanya di dunia Islam, melainkan juga mewarnai peradaban.
Organisasi para ulama yang berdiri 16 Rajab 1344 Hijriah, atau 31 Januari 1926 Masehi, itu telah menginjak 102 tahun pada 16 Januari 2025 yang bertepatan 16 Rajab 1446 H. Dalam term Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf, NU diharapkan mampu merumuskan dan melaksanakan kerja-kerja nyata untuk membangun kultur santri menjadi kekayaan dan modal besar bangsa Indonesia. Modal besar tersebut dapat diperoleh di dalam tubuh NU sendiri, bukan dari faktor-faktor eksternal yang memiliki kepentingan jangka pendek ataupun jangka panjang untuk membajak berkah Tuhan ini.
Dari data kementerian agama, jumlah santri hampir mencapai 5 juta. Itu jumlah yang sangat signifikan sebagai bibit generasi yang akan memikul panji-panji keulamaan atau terlibat aktif dalam masyarakat sesuai dengan keahliannya. Jumlah itu belum terhitung alumnus-alumnus pesantren yang jumlahnya lebih besar sebagaimana kita ketahui bahwa estimasi kaum Nahdliyin mencapai 56,9% atau 180 juta dari total penduduk Indonesia, menurut hasil survei pada 2023 oleh Lembaga Survei Indonesia.
Data itu menunjukkan, bahwa jika masalah di tubuh kaum Nahdliyin selesai, berarti turut membantu pemerintah dalam menyelesaikan masalahnya. Sebut saja ketimpangan ekonomi, jika jutaan Nahdliyin terangkat ekonominya menjadi level menengah, efeknya bak bisa diprediksi untuk pertumbuhan Indonesia. Ironisnya, sampai sejauh ini jumlah warga NU ini dianggap sebagai kapital voter-getter belaka.
MOBILITAS SOSIAL WARGA NU
Benar, memang ada kenaikan mobilitas sosial di tubuh NU, terutama keluarga-keluarga pesantren besar yang sudah tidak bisa dikategorikan kaum menengah atau menengah ke bawah. Namun, gap itu terjadi di masyakarat Nahdliyin yang dianggap sebagai umatnya NU sendiri. Masyarakat tidak hanya masih miskin, kadang kala juga hak hidup mereka terancam oleh proyek-proyek pemerintah seperti yang terjadi di Wadas, Jawa Tengah.
Memakmurkan warga NU jelas bukan tanggung jawab NU karena warga NU realitasnya ialah rakyat Indonesia yang pemerintah Indonesia secara konstitusi wajib mengentaskan mereka. Namun, NU memiliki kewajiban moral sebagai organisasi keulamaan untuk mendidik warga Indonesia terkait dengan nilai-nilai luhur agama dan aplikasinya dalam spektrum masyarakat global.
DAMPAK DIASPORA UNTUK MEMAJUKAN NU
Solusi top-down tampaknya yang dianggap paling gampang, pendirian universitas-universitas Nahdlatul Ulama di berbagai daerah di Tanah Air patut diapresiasi, menarik minat anak-anak yang secara kemampuan finansial dan sosio-kultural telah kalah difasilitasi untuk bersekolah di perguruan tinggi. Dari perdesaan dan pesantren, anak-anak yang mungkin tidak memiliki privilese masuk UI, UGM, atau ITB memiliki harapan.
Namun, NU juga perlu mendengarkan gerakan dari bawah, bahkan memfasilitasi diasporanya untuk membantu NU. NU yang terdidik itu ialah berkah sebagai jembatan NU ke dunia luar. Brain linkage antara NU dan pusat-pusat inovasi dunia, pusat-pusat finansial, dan pusat-pusat pergulatan ilmiah.
Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta sebagai salah satu contohnya, mampu membuka pintu kolaborasi dengan negara-negara inovatif seperti Uni Emirat Arab, Tiongkok, hingga Rusia. Namun, kita juga memahami bahwa Barat masih kuat. Beruntungnya ramai warga Nahdliyin yang terdidik yang bersekolah di Jerman, Belanda, dan Inggris dapat menjadi modal besar.
Keterlibatan mereka dalam proyek peradaban NU sangat ditunggu. Hal itu tentu membutuhkan otot manajerial yang legit di tubuh PBNU sendiri. Dari gerakan menghidupkan amaliah NU di negara-negara tersebut, melalui PCINU menjadi the real emissary of Nahdlatul Ulama.
Caranya, memberikan kesempatan bagi para diaspora NU untuk terlibat langsung melihat realitas di lapangan kondisi warga Nahdliyin. Contohnya sesederhana mengajar materi perkuliahan di universitas-universitas NU sebagai dosen tamu atau kolaborasi riset.
Hal itu akan membuka mata mereka agar tidak hidup dalam menara gading. Mereka yang dikaruniai kesempatan besar mencicipi ilmu di Barat dan negara-negara Asia Timur atau berkarya di sana akan sadar bahwa privilese yang mereka dapatkan perlu disalurkan agar memberikan kebermanfaatan secara luas.
NU DALAM PERCATURAN GLOBAL
Saya sepakat dengan Gus Yahya bahwa NU didirikan bukan karena ketakutan akan gerakan purifikasi wahabisme atau respons terhadap Islam pembaharuan ala Muhammad Abduh. Namun, ia merupajan mandat peradaban baru yang potensial menyinari dunia Islam setelah runtuhnya Kekhilafahan Usmaniyah.
Selama 100 tahun lebih sejak runtuhnya imajinasi peradaban muslim di bawah khalifah, umat Islam tidak memiliki role model bagi peradaban baru. Mereka dijejali dengan ideologi seperti komunisme dan kapitalisme, dipaksa mengikuti tatanan dunia baru yang mereka tidak memiliki kuasa seperti negara-negara yang menjadi Dewan Keamanan Tetap PBB. Salah satu efek ketiadaan kekuatan baru muslim ini ialah tidak ada yang bisa menggagalkan genosida yang terang benderang dilakukan oleh Israel di tanah suci Palestina.
Kembali ke pondok pesantren, kembali ke jati diri NU sendiri yang menjadi anak kandung pondok pesantren. Untuk membuat NU agile terhadap perubahan, akarnya harus ikut berubah. Pondok pesantren perlu mengonservasi kekuatan keilmuannya sebagai untangible things, tetapi juga mengembangkan skill-skill kehidupan yang dibutuhkan oleh santri di abad 21 ini. Gagasan ini tidak baru saya rasa, banyak yang berpikir demikian. Namun, pertanyaannya, kenapa terjadi bottleneck sampai saat ini? Itu yang harus diselesaikan.
Selain itu, sebagai pengalaman pribadi ketika saya sendiri berkuliah di Inggris, menyadari gerakan humanisme yang digagas oleh beberapa tokoh NU seperti Gus Dur mendapatkan tanggapan yang positif. Misalnya dalam kasus Palestina, narasi-narasi kemanusiaan dan perjuangan hak asasi, yaitu hak hidup dan self-determination, lebih ampuh meraih dukungan global bahkan dari warga Inggris sendiri jika dibandingkan dengan narasi agama bahwa perjuangan rakyat Palestina ialah perjuangan agama Islam.
Muslim diaspora dari Arab, India, Pakistan, Bangladesh, dan Turki berhasil mendobrak narasi tersebut. Didukung oleh teknologi digital yang mana akses terhadap informasi menjadi real-time, masyarakat global yang waras mampu mengalahkan propaganda Israel atau yang dikenal dengan Hasbara.
Saya rasa masyarakat diaspora muslim Indonesia pada umumnya, dan khususnya warga Nahdliyin yang berada di pusat-pusat inovasi dunia, lebih membuka diri untuk well-integrated dengan masyarakat muslim lainnya sebagaimana jargon bahwa mereka ialah satu umat yang nyata.
Namun, usaha-usaha tersebut mungkin perlu dilakukan secara sistematis dan kesungguhan mengingat warga Indonesia yang punya ciri khas untuk berkumpul dengan sesama mereka yang mana tidak hanya menguatkan kohesi sosial internal, tetapi juga berpotensi menjadi barrier untuk membuka diri.
Selain menghidupkan keislaman melalui PCINU atau wadah muslim diaspora lain, masyarakat diaspora muslim Indonesia perlu membuka diri terhadap keanekaragaman ekspresi berislam, baik di lingkungan kerja maupun kampus top dunia, contohnya usaha-usaha seperti memformalkan wadah muslim Indonesia sebagai contoh Indonesian Muslim Society di kampus-kampus top dunia akan menjadi pintu gerbang pertemuan-pertemuan intelektual dan networking.
Hal itu penting agar Indonesia di peta dunia yang membentang dari Sabang sampai Merauke tidak lagi invisible, tetapi ikut mewarnai diskursus penting dunia di tempat yang tepat.
Diharapkan demokrasi yang dibangun oleh Indonesia dapat dicontoh dunia muslim lain. Keterbukaan dan toleransi bukan hanya formalitas atau seremonial, melainkan dapat dimaknai bentuk sunah sang Nabi Muhammad SAW. Bahwa Nahdliyin bukanlah orang yang takut untuk berinteraksi dengan orang Barat, melainkan terbiasa dan menjadi normal. Apalagi hanya takut masuk gereja, that's nonsense menganggu keimanan.
Pertukaran pemikiran bukan lagi basa-basi pragmatis, melainkan esensial. Itu sudah dilakukan lewat inisiasi-inisiasi bagus seperti humanitarian Islam atau R-20. Namun, pendekatan bottom-up dari akar rumput sebaiknya dapat dipertimbangkan.
Karena itu, output-nya, warga Nahdliyin yang terdidik tersebut menjadi insan yang highly developed understanding of global politics and innovation seperti yang pandangan Rashid Khalidi, profesor bidang Timur Tengah ternama dari Columbia University terhadap Gerakan Zionism yang mendapatkan kepercayaan Barat karena punya akar kuat di Barat.
Bagaimana bisa warga Nahdliyin pada umumnya atau diaspora mampu mencetuskan solusi dalam percaturan global jika sedikit memahami politik, struktur masyarakat, dan budaya setempat, jika menutup potensi dirinya sendiri. Dalam sejarah, banyak pelajaran bahwa asimilasi tidak hanya membuka peluang, tapi juga kunci mengubah permainan, misal islamisasi Nusantara oleh Wali Songo.
BRAIN LINKAGE BUKAN BRAIN DRAIN
Di samping itu, kekuatan diaspora menjadi brain linkage bukan hanya untuk kepentingan NU semata, melainkan juga kemaslahatan bangsa Indonesia. Kita bisa melihat bagaimana diaspora dari Tiongkok dan India tidak hanya well-integrated, tetapi juga menyumbang khazanah keilmuan dan menduduki posisi puncak di perusahaan IT ternama. Karena itu, paradigma memberikan kontribusi kepada NU dan bangsa Indonesia seharusnya sudah bergeser bukan hanya secara geografis, melainkan juga lebih ke substansi dampaknya.
Walhasil, NU pada ulang tahunnya ke-102, lebih tua dari Republik ini, berpikir ke depan, bagaimana menyiapkan masyarakat Nahdliyin sebagai global citizen. Namun, hal itu akan gagal jika konsolidasi internal dan potensi besar Nahdliyin di Tanah Air tidak dijalankan secara serius. Terlebih tidak memanfaatkan bonus demografi yang ada. Paradigma di luar dinding pondok pesantren terkadang perlu dikontekstualisasikan untuk kebermanfaatan bersama.
Terkini Lainnya
Seratus Tahun Pram, Apakah Perempuan masih dalam Jerat yang Sama?
Tantangan Pendidikan Muhammadiyah Menghadapi Perubahan Iklim
Mendorong Keamanan Lingkungan sebagai Pilar Stabilitas Nasional
Babak Baru Eksplorasi Rupiah Digital
Menggagas (Re)posisi Santri sebagai Penggerak Kesejahteraan Sosial
Ketika Menhan AS Beretorika
Alternating Family dan Perkembangan Keluarga Generasi Z
Hilangnya Kejujuran
Proyek Genom Manusia, Pedang Bermata Dua
Kebijakan Imperialisme Trump
Penyehatan Tanah untuk Peningkatan Produktivitas Pertanian
1.000 Pelajar Selami Dunia Otomotif di GIIAS 2024
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap