Hati-Hati Sistem Penerimaan Murid Baru

BEBERAPA hari lalu, muncul informasi mengenai perubahan mekanisme penerimaan siswa (saya agak ragu-ragu menggunakan istilah tersebut, tapi anggaplah siswa sama dengan peserta didik sama dengan murid, setidaknya untuk mengawali diskusi ini) baru di sekolah. Perubahan paling tampak tentu ialah namanya, Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) menjadi Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB).
Meski demikian, pada diskusi ini, kita tidak akan fokus pada pemaknaan kata per kata, tetapi cenderung fokus pada pertanyaan, apakah sistem baru ini dapat menjadi lebih cocok dengan karakter masyarakat kita atau tidak?
Sebelum berdiskusi lebih lanjut, kita harus bersepakat terlebih dahulu bahwa diskusi ini berbasis pada refleksi penyelenggaraan PPDB (faktual) dan analisis kritis SPMB (pengandaian). Tujuannya bukan untuk mengkritik PPDB maupun SPMB, melainkan memberikan sudut pandang yang dapat menjadi bahan penguatan SPMB selagi masih dalam tahap awal.
MASALAH PPDB
Awalan diskusi ini mengacu pada isu mendasar yang menyebabkan permasalahan penyelenggaraan PPDB. Isu tersebut direkomendasikan sebagai hal yang harus dipertimbangkan dalam perumusan teknis SPMB karena kita harusnya menuju arah yang lebih baik. Pada tahun 2023, pada saat PPDB sedang heboh-hebohnya, kami melakukan penelitian berbasis data sekunder dan mengonfirmasinya di sembilan provinsi.
Setidaknya, ada tiga isu besar dalam penyelenggaraan PPBD, yaitu manipulasi data kependudukan, keadilan penyediaan layanan pendidikan, dan motif bersekolah anak. Setidaknya ada harapan bahwa ketiga isu besar tersebut dapat selesai (atau setidaknya diminimalkan) dengan adanya transformasi PPDB ke SPMB.
DATA KEPENDUDUKAN
Isu manipulasi data kependudukan adalah hal yang paling umum terjadi. Tanpa perlu adanya penelusuran mendalam dan daya pemikiran yang kritis, fenomena tersebut cukup mudah ditangkap. Fenomena ‘KK numpang’ menjadi sumber utama kekisruhan dalam PPDB.
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya modifikasi sistem dan pengetatan seperti aturan 1 tahun usia masuk KK hingga mengharuskan hubungan anak kandung dengan kepala keluarga di KK. Hasilnya, tetap saja ada celah untuk memanipulasi data kependudukan sehingga calon peserta didik terdeteksi beralamat di dekat sekolah (favorit khususnya).
Mekanismenya pun macam-macam, mulai mencari kos sehingga pindah satu keluarga, menitipkan ke saudara, hingga menitipkan ke orang lain dengan kompensasi uang. Celah terakhir tersebut banyak dimanfaatkan sebagai lahan bisnis.
Pada saat melihat SPMB, ada satu hal yang menarik di mana jalur zonasi berubah menjadi jalur domisili. Jalur ini sangat erat dengan masalah utama dalam PPDB, yakni manipulasi data kependudukan. Selama ini, kita mengenal domisili sebagai suatu alamat tempat tinggal terkini yang dapat dibuktikan dengan surat keterangan domisili dari RT/RW, jadi alamat domisili bisa jadi berbeda dengan KTP/KK.
Pertanyaannya, apakah jalur zonasi ini akan membuat SPMB menjadi lebih rapi dalam menjaring murid atau justru sebaliknya? Sebelum ada aturan teknis, tentu kita tidak dapat menilai. Namun, kita dapat bertanya-tanya. Jika alamat domisili dapat dibuktikan dengan keterangan dari RT/RW, bagaimana cara melakukan klarifikasi? Bagaimana menjamin validitas datanya?
Dalam era PPDB yang menggunakan data KTP dan KK saja, pemerintah sudah kewalahan. Padahal datanya jelas ada dan dapat dikonfirmasi melalui sistem dukcapil. Kemudian, bagaimana cara mengendalikan badai perpindahan domisili? Jika hanya bermodal surat keterangan domisili, tentu jauh lebih mudah ketimbang proses ‘KK numpang’. Kita akan tunggu definisi jalur domisili dan sistem kendalinya.
KEADILAN
Isu selanjutnya ialah keadilan penyediaan layanan pendidikan. Keadilan menjadi satu hal yang banyak diperdebatkan. Di satu sisi, membuat semua orang punya kesempatan sekolah di dekat rumah diklaim sebagai upaya mendorong keadilan. Di sisi lain, orang yang berusaha keras merasa tidak diapresiasi secara adil oleh sistem karena kalah dengan orang yang tidak berusaha.
Sederhana saja indikasinya, orang akan protes keras pada saat merasa tidak adil. Dari sudut pandang sistem penerimaan murid baru, keadilan sebetulnya bisa didekati dengan melakukan kajian untuk menemukan proporsi yang ideal di antara setiap jalur sehingga murid tetap merasa usahanya belajar tidak sia-sia. Penentuan proporsi ini tentunya bukan perkara mudah karena harus menyesuaikan kondisi saat ini.
Dari sudut pandang sekolah, keadilan dapat didekati dengan menyeragamkan fasilitas (tanpa menurunkan fasilitas sekolah yang telah unggul). Dengan demikian, maka sekolah di mana pun akan berasa sama. Bukankah tidak adil jika murid yang usaha keras belajar tapi terpaksa tidak bisa memilih sekolah dan harus bersekolah di dekat rumah dengan kondisi fasilitas yang kurang? Pemerataan fasilitas ini adalah unsur penting dari keadilan. Pada saat kondisi tersebut telah tercapai, maka peningkatan proporsi jalur zonasi/domisili menjadi lebih logis untuk diupayakan.
MOTIF BERSEKOLAH
Isu terakhir ialah motif bersekolah murid. Hal ini salah satu yang dikeluhkan oleh pihak sekolah dalam beberapa tahun terakhir. Semangat belajar, tujuan sekolah, dan daya juang menjadi hal yang dinilai terus menurun. Jika kita runut, tampaknya sistem PPDB memiliki korelasi dengan keadaan tersebut.
Dahulu pada saat angka-angka prestasi menjadi patokan, tujuan murid sangat jelas yakni bersaing untuk mendapatkan angka-angka tersebut. Metodenya ialah belajar dengan giat (terlepas dari bebagai cara lain yang tidak bijak seperti menyontek dan sebagainya). Namun, setidaknya tujuannya jelas, ada patokan di setiap jenjang melalui etape kelulusan dan penerimaan murid baru.
Kita dapat perdebatkan, dampak positif dan negatif dari orientasi terhadap prestasi. Namun, kita tidak dapat perdebatkan bahwa motivasi belajar murid adalah hal yang tidak boleh hilang, bahkan harus terus meningkat. Bencana jika murid sekolah tanpa motivasi dan tujuan, hasilnya tentu hanya formalitas.
Sistem Penerimaan Murid Baru adalah gerbang masuk yang sangat potensial untuk membuat murid lebih membara dalam belajar. Jangan terlalu alergi dengan menanamkan kompetisi. Betul memang saat ini eranya kolaborasi. Akan tetapi, tujuan kita kolaborasi untuk meningkatkan produktivitas sehingga lebih dari koloni lain, bukankan itu juga kompetisi?
HATI-HATI
Terdapat dua hal krusial yang perlu dirancang secara hati-hati dalam SPMB untuk menghadapi tiga isu utama PPDB. Pertama, hati-hati dengan jalur domisili. Jalur ini sangat rentan, terlebih penggunaan istilah domisili berpotensi untuk membuat aturan karet di daerah. Kedua, masalah proporsi jalur. Penentuan proporsi jalur yang tepat dapat mendekatkan pada keadilan dalam fasilitas pendidikan dan pengelolaan motif bersekolah murid.
Terkini Lainnya
DPD RI Dukung Penuh Kebijakan SPMB
PPDB ke SPMB Cuma Berubah Istilah, tidak Selesaikan Masalah
Pemda harus Waspadai Celah-Celah Pelanggaran SPMB
SPMB 2025 : Siswa Aktif jadi Pengurus OSIS Bisa Dipertimbangkan Jalur Kepemimpinan
Perubahan PPDB jadi SPMB Harus Berdampak, Bukan Sekadar Beda Nama
Menempatkan Deep Learning pada Tes Kompetensi Akademik
Senam Anak Indonesia Hebat Pecahkan Rekor MURI di Sorong Papua
Dua Pilar Jadi Unggulan, Ini Cara Akses Rumah Pendidikan Kemendikdasmen
8 Fitur Ruang Digital dalam Rumah Pendidikan, untuk Murid, Guru, Orangtua dan Publik
Reposisi Core Business Perguruan Tinggi dan Mengadaptasi Kebijakan Presiden Prabowo
Menempatkan Deep Learning pada Tes Kompetensi Akademik
Risiko Kampus Tarik Tambang
Kebijakan Imperialisme Trump
Penyehatan Tanah untuk Peningkatan Produktivitas Pertanian
Trumpisme dalam Tafsiran Protagorian: Relativitas dalam Ekonomi Global
1.000 Pelajar Selami Dunia Otomotif di GIIAS 2024
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap