visitaaponce.com

Urgensi Kodifikasi Pengaturan Pemilu

Urgensi Kodifikasi Pengaturan Pemilu
(MI/Seno)

BADAN Strategi Kebijakan Dalam Negeri (BSKDN) Kementerian Dalam Negeri, Kamis (23/1), mengadakan focus group discussion (FGD) dengan tema Isu-Isu Strategis dalam Sistem Kepemiluan di Indonesia. Diskusi itu dipimpin langsung Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto dengan menghadirkan sejumlah pakar dan praktisi kepemiluan dari sejumlah lembaga.

Penyelenggaraan FGD tidak lepas dari keberadaan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2025-2029 yang memasukkan RUU tentang Perubahan Kedua atas UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum, serta RUU tentang Perubahan Keempat atas UU 1/2015 tentang Penetapan Perppu 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi undang-undang sebagai prioritas legislasi untuk Prolegnas Tahun 2025.

Saat memberikan pengantar, Bima Arya menyoroti pentingnya diskusi berbasis ilmiah dan partisipasi publik sebagai langkah awal meningkatkan kualitas pemilu di Indonesia. Diskusi itu disebutnya sebagai pembuka (kick off) dari rangkaian pertemuan lanjutan yang akan diselenggarakan di beberapa daerah.

Sejumlah isu didalami saat FGD, antara lain apakah pembahasan revisi UU Pemilu dan revisi UU Pilkada akan menggunakan metode omnibus politik, kodifikasi, atau sebatas melakukan revisi atas UU yang sudah ada. Selain itu, juga diulas soal tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait ambang batas pencapresan, pilkada langsung atau melalui DPRD, terobosan mengatasi politik biaya tinggi, dan pilihan model keserentakan pemilu.

 

METODE PEMBENTUKAN

Meski terkesan teknis, pembahasan tentang metode pembentukan undang-undang amat krusial. Sebab, hal itu akan menentukan cara kerja pembentuk undang-undang dan efektivitas dalam mencapai tujuan dari pembentukan undang-undang. Ditambah lagi, terdapat dua pandangan terkait metode dalam pembentukan undang-undang di bidang kepemiluan ini.

Pertama, pihak yang menghendaki penggunaan metode omnibus law politik sebagaimana diungkap Ketua Komisi II DPR Rifqinizamy Karsayuda (Media Indonesia, 3/1). Dengan metode ini akan disusun satu paket undang-undang yang berisi bab tentang partai politik, bab tentang pemilu, bab tentang pilkada, bab tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), bab tentang hukum acara pemilu, dan bab lain yang dibutuhkan.

Kedua, penggunaan metode kodifikasi. Akademisi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Charles Simabura, menyebut metode kodifikasi lebih tepat digunakan untuk mengatur pemilu (Media Indonesia, 21/1). Argumentasinya, penggunaan metode omnibus rentan menimbulkan pragmatisme dalam pembahasan dengan hanya mengambil isu-isu tertentu secara tebang pilih (cherry picking) sesuai kepentingan strategis partai politik di parlemen.

Metode omnibus memang kontroversial mengingat penggunaannya dalam pembentukan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja dinilai cacat formil dan berujung pembatalan oleh MK melalui Putusan No 91/PUU-XVIII/2020. Meskipun demikian, metode omnibus kemudian dilembagakan melalui UU 13/2022 tentang Perubahan Kedua atas UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. UU 13/2022 adalah respons pembentuk undang-undang atas Putusan MK No 91/PUU-XVIII/2020 yang menyoal inkonstitusionalitas penggunaan metode omnibus dalam UU Cipta Kerja.

Black Law Dictionary mendefinisikan omnibus sebagai (1) sebuah RUU tunggal yang berisi berbagai materi berbeda, biasanya disusun dengan cara ini untuk memaksa eksekutif menerima semua ketentuan kecil yang tidak berhubungan atau memveto ketentuan utama, (2) sebuah RUU yang mengatur semua usulan yang berkaitan dengan subjek tertentu, seperti ‘RUU omnibus kehakiman’ yang meliputi semua usulan untuk jabatan hakim baru atau ‘RUU omnibus kejahatan’ yang mengatur berbagai subjek seperti kejahatan baru dan bantuan kepada negara bagian untuk pengendalian kejahatan.

Adapun Pasal 64 ayat (1b) UU 13/2022 mengatur bahwa metode omnibus merupakan metode penyusunan peraturan perundang-undangan dengan: (a) memuat materi muatan baru; (b) mengubah materi muatan yang memiliki keterkaitan dan/atau kebutuhan hukum yang diatur dalam berbagai peraturan perundang undangan yang jenis dan hierarkinya sama; dan/atau (c) mencabut peraturan perundang-undangan yang jenis dan hierarkinya sama, dengan menggabungkannya ke dalam satu peraturan perundang-undangan untuk mencapai tujuan tertentu.

Contoh UU yang menggunakan metode omnibus ialah UU 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, UU 6/2023 tentang Penetapan Perppu 2/2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, dan UU 17/2023 tentang Kesehatan. Keberlakuan UU 4/2023 mengubah sekitar 23 undang-undang, UU 6/2023 mengubah sekurangnya 79 undang-undang, dan UU 17/2023 mencabut 11 undang-undang yang sebelumnya mengatur materi muatan seputar kesehatan.

Sementara itu, Black Law Dictionary mendefinisikan kodifikasi sebagai (1) proses mengumpulkan, menyusun, dan mensistematiskan hukum dari suatu yurisdiksi tertentu, atau dari cabang hukum tertentu, ke dalam suatu kode (kitab hukum) yang teratur; (2) kode (kitab hukum) yang dihasilkan dari proses kodifikasi. Adapun angka 68 Lampiran II UU 12/2011 menyebut, jika peraturan perundangan-undangan mempunyai materi muatan yang ruang lingkupnya sangat luas dan memiliki banyak pasal, maka pasal atau beberapa pasal tersebut dapat dikelompokkan menjadi buku, bab, bagian, dan paragraf.

Contoh UU yang menggunakan metode kodifikasi ialah UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum dan UU 1/2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). UU 1/2023 terbagi menjadi 3 buku dan 626 pasal, sedangkan UU 7/2017 mengatur materi muatan yang sebelumnya tersebar dalam tiga undang-undang berbeda yang kemudian dikodifikasi dalam satu undang-undang dengan 6 buku dan 573 pasal.

UU 7/2017 mencabut UU 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden; UU 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu; dan UU 8/2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Enam buku yang terdapat dalam UU 7/2017 meliputi, (1) Ketentuan Umum; (2) Penyelenggara Pemilu; (3) Pelaksanaan Pemilu; (4) Pelanggaran Pemilu, Sengketa Proses Pemilu, dan Perselisihan Hasil Pemilu; (5) Tindak Pidana Pemilu; dan (6) Penutup.

Jika dibandingkan, khususnya mencermati penggunaan metode omnibus dalam UU 17/2023 tentang kesehatan dan kodifikasi dalam UU 7/2017 maupun UU 1/2023, maka tidak ada perbedaan yang terlalu mencolok antara omnibus dan kodifikasi. Sebab, keduanya sama-sama menggunakan pendekatan mengatur subjek tertentu dalam satu naskah undang-undang yang terintegrasi dan mencabut undang-undang yang sebelumnya memuat materi muatan yang sama.

Perbedaan paling mendasar dari kedua metode tersebut terletak pada penstrukturan, sistemasi, atau pengelompokan materi muatannya. Metode kodifikasi mengelompokkan materi muatan menjadi buku, bab, bagian, dan paragraf. Misalnya, UU 1/2023 tentang KUHP memuat dua buku dan 624 pasal, yaitu Buku Kesatu tentang Aturan Umum dan Buku Kedua tentang Tindak Pidana. Sedangkan metode omnibus hanya mengelompokkan materi muatan undang-undang menjadi bab dan pasal tanpa ada pembagian dalam bentuk buku-buku. Contohnya, UU 17/2023 tentang Kesehatan mengelompokkan materi muatannya ke dalam 20 bab dan 458 pasal.

Baik metode omnibus maupun kodifikasi dalam perkembangan praktiknya sama-sama melakukan konsolidasi, koherensi, dan harmoniasi pengaturan atas suatu subjek atau hal-hal yang berkaitan dengan subjek tertentu ke dalam satu naskah undang-undang. Hanya saja, kodifikasi menghadirkan sistematika, struktur, dan pengelompokan yang lebih tertib, sederhana, serta memudahkan dalam membaca dan memahami materi muatan dalam undang-undang. Sebab, kodifikasi membaginya menjadi buku, bab, bagian, dan paragraf.

Pembentukan UU Pemilu merupakan bagian dari rule making dalam tata kelola pemilu yang merujuk pada proses pembuatan aturan, regulasi, dan prosedur yang mengatur penyelenggaraan pemilu (Mozaffar dan Schedler, 2002). Pembuatan aturan ini melibatkan perancangan institusi, kompetisi pemilu, dan aturan tentang organisasi pemilu yang mendefinisikan kerangka dasar dari suatu pemilu demokratis. Hal itu menjadi salah satu dari tiga fungsi utama tata kelola pemilu, selain rule application (penerapan aturan) dan rule adjudication (penyelesaian sengketa aturan).

UU Pemilu juga merupakan instrumen untuk melakukan pendidikan politik dan kepemiluan kepada publik. Oleh karena itu, menjadi sangat penting untuk memilih metode pembentukan yang tepat sehingga dapat menghasilkan pengaturan UU Pemilu yang sejalan dengan standar dan prinsip pemilu demokratis. Dengan demikian, kodifikasi menjadi lebih relevan dan cocok untuk dipilih sebagai metode dalam membentuk UU Pemilu. Selain pertimbangan bahwa metode kodifikasi juga telah digunakan saat menyusun UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum.

 

REZIM PEMILU

Lantas, bagaimana dengan Prolegnas Tahun 2025 yang menempatkan revisi UU Pemilu dan revisi UU Pilkada sebagai RUU prioritas secara terpisah, haruskah pengaturannya tetap dipisahkan atau digabungkan dalam satu undang-undang?

Sehubungan itu, sejumlah pihak seperti Kemitraan dan Koalisi Masyarakat Sipil yang tergabung dalam Sekretariat Bersama Kodifikasi UU Pemilu, sudah sejak akhir Pemilu 2014 mengusulkan pengaturan pilkada digabungkan dengan pengaturan pemilu presiden, pemilu legislatif, dan penyelenggara pemilu dalam satu naskah undang-undang yang sama. Sayangnya, saat ini baru terealisasi kodifikasi untuk pengaturan pemilu presiden, pemilu legislatif, dan penyelenggara pemilu saja. Pilkada masih diatur terpisah dalam UU tersendiri, yakni UU 1/2015.

Pemisahan pengaturan tersebut tidak lepas dari pandangan hukum saat itu yang masih mendikotomi pemilu dan pilkada dalam dua rezim berbeda. Merujuk pada sejumlah Putusan MK, khususnya Putusan MK No 97/PUU-XI/2013, yang menyatakan bahwa pilkada bukanlah bagian dari pemilu. Putusan itu menafsirkan Pasal 22E ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden-wakil presiden, dan DPRD. Tidak termasuk di dalamnya pemilihan kepala daerah.

Sedangkan pilkada diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yang menyebut bahwa ‘Gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis’.

Pasal ini kerap digunakan sejumlah pihak sebagai dasar pembenar untuk pemilihan tidak langsung. Sebab, frasa ‘dipilih secara demokratis’ dimaknai mencakup pula pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Salah satu konsekuensinya, pilkada tidak bisa digabungkan pengaturannya dalam UU Pemilu melalui metode kodifikasi karena pilkada bukan ‘rezim pemilu’.

Hal itu merupakan anomali mengingat pilkada selama ini dilaksanakan berdasarkan asas dan prinsip pemilihan yang luber dan jurdil, serta diselenggarakan oleh penyelenggara pemilu yang sama untuk pemilu presiden dan pemilu legislatif. Pengaturan pilkada dan pemilu dalam undang-undang terpisah mengakibatkan terjadinya sejumlah masalah hukum dalam pengaturan pemilu (Ditpolkom Bappenas, 2024).

Antara lain, terjadinya (i) tumpang tindih dan kontradiksi norma; (ii) aturan dan standardisasi yang berbeda atas isu yang sama, mulai dari nomenklatur sampai tata cara dan prosedur; (iii) duplikasi pengaturan; (iv) aturan yang rancu dan multitafsir; dan (v) tidak ada kepastian hukum. Masalah hukum tersebut ikut mendorong sejumlah pihak untuk menguji norma dalam UU Pemilu dan UU Pilkada ke MK karena dinilai memiliki problem konstitusionalitas dalam pengaturan dan penerapannya.

UU 7/2017 telah diuji lebih dari 155 kali ke MK. Banyak pasalnya yang telah dibatalkan maupun dimaknai berbeda oleh MK. Misal, ketentuan tentang definisi kampanye, kewenangan pembentukan daerah pemilihan, pencalonan mantan terpidana, besaran ambang batas parlemen, ambang batas pencapresan, dan kampanye menggunakan kecerdasan buatan. Sedangkan UU 1/2015 beserta perubahannya sudah diuji lebih dari 130 kali di MK.

Seiring dinamika ketatanegaraan Indonesia, sebagai penafsir konstitusi, MK juga mengalami pergeseran pendirian hukum dalam menilai konstitusionalitas pilkada. Melalui Putusan No 55/PUU-XVII/2019, MK memasukkan pilkada langsung sebagai bagian dari model keserentakan pemilu yang konstitusional. Selain itu, dalam pertimbangan hukumnya, MK meminta pembentuk undang-undang tidak acap kali mengubah model pemilihan langsung yang diselenggarakan secara serentak agar terbangun kepastian dan kemapanan pelaksanaan pemilu.

Paling anyar, konstitusionalitas pilkada sebagai pemilu secara eksplisit termuat dalam Putusan MK No 85/PUU-XX/2022. Dengan menggunakan original intent perubahan UUD 1945, MK menegaskan bahwa tidak terdapat lagi perbedaan rezim pemilihan antara pemilu dan pilkada. Bahwa pilkada adalah pemilu karena telah dilaksanakan konsisten dan relatif telah menemukan bentuk terbaiknya dalam praktik berdemokrasi di Indonesia.

Bahkan melalui Putusan MK No 52/PUU-XXII/2024, MK secara khusus menyebut bahwa ketentuan mengenai larangan kampanye untuk pejabat negara lainnya dalam pelaksanaan pilkada, sesuai dengan prinsip erga omnes Putusan MK No 85/PUU-XX/2022, semestinya secara otomatis merujuk pada ketentuan dalam UU 7/2017, yang berlaku untuk pilkada maupun pemilu.

Lebih lugas lagi, dalam persidangan perkara No 101/PUU-XXII/2024 dengan agenda mendengarkan keterangan DPR, hakim Saldi Isra kembali mengingatkan bahwa Mahkamah sudah eksplisit mengatakan tidak ada lagi beda rezim pemilu dengan pilkada. Artinya, ke depan DPR harus menyatukan pengaturan pemilu dan pilkada ini dalam satu undang-undang (Risalah Sidang, 30/10/2024).

Pemikiran hakim Saldi Isra tersebut sejatinya sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2025-2045 sebagaimana diatur dalam UU 59/2024. RPJPN mengarahkan pembangunan demokrasi pada terwujudnya demokrasi substansial yang mengemban amanat rakyat. Hal itu akan dilakukan antara lain melalui arah kebijakan berupa penguatan lembaga demokrasi dengan perbaikan kualitas penyelenggaraan pemilu, seperti melakukan kodifikasi UU mengenai pemilu dan UU mengenai pemilihan gubernur, bupati dan wali kota, juga mendorong peran partai politik yang akuntabel melalui revisi UU mengenai partai politik.

Sayangnya, meski masuk dalam salah satu RUU Kumulatif Terbuka Prolegnas 2025-2029, revisi UU Partai Politik tidak masuk RUU prioritas untuk Prolegnas 2025. Padahal UU Partai Politik (UU 2/2008 jo UU 2/2011) juga mendesak untuk diubah karena sejumlah asas dan prinsip dalam tata kelola partai politik akan ikut memengaruhi penyelenggaraan pemilu. Banyak dinamika dan perkembangan hukum serta praktik politik yang membutuhkan modernisasi dan reformasi pengaturan partai politik. Misalnya soal demokrasi internal partai, pembiayaan partai politik oleh negara, dan penyelesaian sengketa internal yang berkeadilan.

Seharusnya pembahasan RUU Pemilu dibarengkan waktunya dengan pembahasan revisi UU Partai Politik agar terwujud integrasi, sinkronisasi, dan koherensi pengaturan di antara keduanya.

 

PARTISIPASI BERMAKNA

Mengingat luasnya ruang lingkup materi muatan RUU Pemilu, pembahasannya harus segera dimulai agar memungkinkan deliberasi substansi secara komprehensif, menyeluruh, dan mendalam. Selain agar dilakukan berbasis pendekatan akademik yang kokoh dengan memperhitungkan konsekuensi teknis dan praktisnya secara utuh. Apalagi, banyak putusan MK terkait pengujian UU Pemilu dan UU Pilkada yang harus diakomodasi dan ditindaklanjuti secara konsisten oleh pembentuk undang-undang.

Pembahasan lebih awal akan memberikan waktu yang cukup untuk melakukan simulasi agar kebijakan yang dipilih benar-benar bisa efektif dilaksanakan. Selain itu, pembahasan dengan waktu yang memadai diperlukan untuk memastikan partisipasi bermakna (meaningful participation) dari seluruh pemangku kepentingan pemilu.

Kodifikasi pengaturan pemilu dan pilkada dalam satu naskah UU tentang Pemilihan Umum lebih relevan untuk membangun koherensi dan konsistensi pengaturan pemilu. Saat ini, secara filosofis, sosiologis, dan yuridis telah terpenuhi prasyarat objektif untuk segera membahas RUU Pemilu dengan metode kodifikasi pengaturan pemilu dan pilkada dalam satu naskah UU, yakni UU tentang Pemilihan Umum.

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat