Sekilas Beberapa Persoalan Kesehatan dan Kedokteran di RI

RENDAHNYA kualitas layanan kesehatan untuk masyarakat sosial ekonomi (sosek) bawah akan berlanjut terus, selama BPJS Kesehatan masih membatasi biaya obat, pemeriksaan penunjang dan tindakan. Kondisi ini, berpotensi lebih berat pada tahun 2026, karena diperkirakan BPJS akan gagal bayar. Perlu ditingkatkan iuran peserta BPJS, atau menambahkan dana dari sumber-sumber lain, sehingga kualitas layanan dan jasa medis dokter lebih manusiawi.
Pendapatan rumah sakit dari BPJS sering tertunda 2-3 bulan. Sementara, rumah sakit setiap bulan harus membayar jasa medis dokter, gaji karyawan, obat, listrik, alat, pajak dll. Akibatnya, RS swasta kecil yang mengandalkan klaim BPJS pada 2026 berisiko bangkrut. Sedangkan rumah sakit swasta besar kurang terlihat perannya terhadap pasien sosek rendah tersebut. Perlu regulasi, agar RS swasta besar berperan aktif untuk pemerataan pelayanan pasien berpenghasilan rendah.
Potensi rendahnya kualitas generasi penerus
Upaya promotif dan preventif menurun karena petugas layanan primer sibuk mengobati pasien BPJS yang membludak. Pandemi covid-19 membuktikan bahwa upaya promotif, preventif adalah penting, tetapi setelah pandemi berakhir, upaya kuratif kembali membebani layanan primer. Karena itu, perlu menambah insentif bagi petugas preventif promotif agar tidak mengutamakan layanan kuratif.
Walapun imunisasi covid-19 berhasil menghentikan pandemi, namun masih adanya pendapat keliru tentang imunisasi di masyarakat, telah meningkatkan keraguan terhadap pentingnya melakukan imunisasi itu. Laporan Kemenkes menyebutkan, bahwa cakupan beberapa imunisasi < 50% di sejumlah daerah berpotensi terjadinya KLB penyakit menular.
Kurangnya gizi ibu hamil, menyusui, bayi dan balita di keluarga sosek rendah, mengakibatkan kurang gizi kronik sejak di dalam kandungan sampai balita berumur 2 tahun. Hal tersebut, berdampak pada kurang optimalnya struktur otak makro dan mikro, sehingga berpotensi rendahnya kecerdasan dan kreatifitas anak-anak yang dilahirkan.
Kurangnya edukasi keluarga untuk memberi contoh (stimulasi) ketika berinteraksi dengan bayi dan balita, mengakibatkan kurang optimalnya jumlah percabangan sel-sel otak dan produksi neurotransmiter otak, berakibat pada rendahnya kecerdasan dan kreatifitas calon generasi penerus bangsa.
Buku kesehatan ibu dan anak (KIA) yang isinya diakui oleh 13 organisasi profesi kesehatan di Indonesia ada di 80% keluarga, tetapi kurang dioptimalkan oleh nakes dan keluarga. Buku yang berisi panduan praktis nutrisi ibu hamil, menyusui, bayi dan balita, serta cara mengasuh sejak bayi baru lahir hingga menginjak usia 6 tahun perlu diintensifkan untuk edukasi keluarga.
Publikasi Bank Dunia tahun 2010 dan 2015 dengan pemberian cukup nutrisi pada bayi dan balita, disertai stimulasi bermain dari pengasuhnya di 22 negara signifikan meningkatkan perkembangan motor, bicara, kognitif, emosi dan perilaku anak. Dua puluh tahun kemudian pendapatan anak-anak tersebut 30%-39% lebih tinggi dibandingkan anak-anak yang kurang asupan gizi dan kurang stimulasi pada masa mereka bayi dan balita.
Kesehatan remaja dan dewasa
Angka putus sekolah dan tradisi pernikahan remaja menurut BPS masih tinggi, maka sebagian remaja akan menjadi orangtua dini. Mereka perlu disiapkan fisik biologis, keterampilan dan sikap psikososial terutama bagi remaja perempuan. Caranya, dengan menambahkan buku KIA pada pelajaran biologi SMA dan dilibatkan dalam kegiatan Posyandu, agar memahami pentingnya ASI, nutrisi, imunisasi, serta stimulasi bayi dan balita.
Keluarga sosek rendah sulit untuk mengubah perilaku, kebersihan lingkungan dan melakukan pengobatan secara teratur, karena mereka harus bekerja keras seharian, selain juga karena kurangnya pengetahuan. Sehingga, pencari nafkah keluarga perlu mengoptimalkan penghasilan yang diperolehnya, tidak konsumtif, tidak merokok, agar kebutuhan minimal ibu hamil, menyusui, bayi, balita tercukupi, selain pencegahan penyakit dewasa.
Kualitas lulusan dokter era BPJS
Investasi peralatan canggih tidak seharusnya menargetkan rumah sakit mencari untung sebagai penerimaan negara. Target tersebut berpotensi RS berubah dari misi sosial kemanusiaan menjadi misi mencari untung besar. Para calon dokter/spesialis dituntut berkualitas internasional, bersaing dengan dokter impor, tetapi dalam pendidikan banyak melayani pasien BPJS, dengan standar layanan di bawah standar profesi kedokteran.
Perlu regulasi agar mereka lebih banyak melayani dengan standar kedokteran universal sehingga mampu bersaing dengan dokter impor. Di RS pendidikan perlu disediakan dokter khusus untuk pasien BPJS, bukan peserta pendidikan, sehingga akan patuh pada standar BPJS.
Sedangkan calon dokter/spesialis lebih banyak memberikan layanan dengan standar universal. Di RS vertikal pembimbing sibuk dengan pasien rutin (termasuk BPJS), dan di RS swasta pembimbing sibuk melayani pasien pribadi sehingga calon dokter spesialis kurang mendapat bimbingan profesi.
Pasien RS swasta berpotensi hanya bersedia ditangani dokter spesialis yang dibayar oleh pasien, bukan oleh calon dokter spesialis. Dampaknya, berpotensi pada rendahnya etika dan ketrampilan profesi lulusan program berbasis RS vertikal dan RS swasta dibandingkan lulusan fakultas kedokteran.
Pengawasan pendidikan dokter
Sikap kemanusiaan dan etika profesionalisme harus dibentuk sejak mahasiswa oleh pembimbing yang memberi contoh setiap hari. Di RS vertikal dengan banyak pasien atau di RS swasta yang sibuk, para pembimbing kurang waktu untuk memberikan contoh nyata tersebut.
Di RS pendidikan fakultas kedokteran yang pembimbingnya lebih banyak, akan cukup waktu menghayati sikap kemanusiaan dan etika, dan telah terbukti lebih dari 100 tahun. Memang ada pembimbing yang sikap dan perilakunya tidak sesuai etika profesi, tentu yang berperilaku demikian harus dikeluarkan dari sistem pendidikan dan ditindak sesuai ketentuan yang berlaku. Tetapi itu bukan karena kesalahan institusinya, melainkan penyimpangan individual, seperti yang terjadi di profesi-profesi lain.
Kualitas dokter dinilai dari ketrampilan profesionalisme dan penghayatan etika. Oleh karena itu, pengaturan pendidikan kedokteran (oleh kolegium) dan pengawasan kualitas dokter (oleh Konsil Kedokteran dan Organisasi Profesi) harus dilakukan oleh para dokter yang kompeten, yang menghayati proses pendidikan kedokteran sejak mahasiswa sampai subspesialis.
Maka, pihak yang memilih mereka harus mengenal integritas, kompetensi, profesionalisme dan etika mereka di dalam sistem pendidikan dan pelayanan kedokteran. Bukan dipilih karena afiliasi politik atau pertemanan.
Terkini Lainnya
Potensi rendahnya kualitas generasi penerus
Kesehatan remaja dan dewasa
Kualitas lulusan dokter era BPJS
Pengawasan pendidikan dokter
Tidak Perlu Rujuk ke Jawa, RS di Palu Bisa Operasi Clipping Aneurysm
Crane RS PKU Muhammadiyah Blora Jatuh, 3 Pekerja Tewas
Lembaga Kesehatan PBNU Gandeng RS Swasta Jaga Kelancaran Harlah ke-102 NU
Suporter Sepak Bola Ricuh di Grobogan, Rumah Sakit Terkena Sasaran
Qudwah Indonesia dan Medics World Wide Tanda Tangani Kerja Sama Rekonstruksi Rumah Sakit di Gaza
TIga Tingkatan Penentu Gaya Hidup Berubah
Dokter Gizi Sebut Besaran Kalori Makan Bergizi Gratis Sesuai Pedoman Gizi Seimbang
Menentukan Kebutuhan Dokter: Pentingnya Kolaborasi dengan Pihak Terkait
Dokter untuk Bangsa dan Kesehatan untuk Rakyat, Sebuah Refleksi Kesehatan
Dokter Palestina kembali Bekerja setelah Kehilangan Kakinya dalam Serangan Israel
Reposisi Core Business Perguruan Tinggi dan Mengadaptasi Kebijakan Presiden Prabowo
Menempatkan Deep Learning pada Tes Kompetensi Akademik
Risiko Kampus Tarik Tambang
Kebijakan Imperialisme Trump
Penyehatan Tanah untuk Peningkatan Produktivitas Pertanian
Trumpisme dalam Tafsiran Protagorian: Relativitas dalam Ekonomi Global
1.000 Pelajar Selami Dunia Otomotif di GIIAS 2024
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap