visitaaponce.com

Siapa Memimpin Daerah Jika Kotak Kosong Menang Pilkada

Siapa Memimpin Daerah Jika Kotak Kosong Menang Pilkada?
Anggota KPU RI Idham Holik .(MI/Agus Mulyawan)

KONTESTASI Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 diwarnai fenomena kotak kosong di sejumlah daerah. Itu dimungkinkan karena hanya ada satu pasangan calon saja yang mendaftar ke kantor KPU provinsi atau kabupaten/kota.

Nantinya, gambar kotak kosong berwarna putih akan bersanding dengan foto pasangan calon kepala daerah tunggal dalam surat suara. Mekanisme pengundian nomor urut untuk calon tunggal dan kotak kosong pun akan dilakukan, sebagaimana daerah yang memiliki lebih dari satu pasangan kandidat.

Dalam rezim pilkada di Indonesia, kotak kosong juga merupakan pilihan bagi masyarakat selaku pemilih. Artinya, coblosan pada kotak kosong akan dihitung layaknya calon kepala daerah lain. Untuk memenangi kontestasi Pilkada 2024, calon tunggal harus meraup suara lebih dari 50% lawan kotak kosong.

Baca juga : Ada Perpanjangan Waktu Pendaftran, Calon Tunggal Pilkada 2024 Diharapkan Berkurang

Jika suara calon tunggal kurang dari 50%, kotak kosong keluar sebagai pemenang. Dalam sejarahnya, sejak diperkenalkan pertama kali pada Pilkada 2015 sampai Pilkada 2020, terdapat 53 calon tunggal lawan kotak kosong. Mayoritas calon tunggal menang. Hanya satu kali saja kontestasi dimenangkan kotak kosong, yakni pada Pilkada Kota Makassar 2018.

Saat itu, calon tunggal Pilkada Kota Makassar 2018 adalah pasangan Munafri Arifuddin-Rachmatika Dewi. Kotak kosong meraup suara 300.795 suara atau setara dengan 53,23%, sedangkan calon tunggal meraih 46,77% atau 264.245 suara.

Anggota KPU RI Idham Holik mengatakan, jika kotak kosong menang atas calon tunggal, daerah tersebut akan dipimpin oleh penjabat sementara kepala daerah. Kendati demikian, terdapat dua alternatif rentang waktu penjabat itu akan memimpin daerah jika kotak kosong menang pada Pilkada 2024.

Baca juga : Ada Perpanjangan Waktu Pendaftran, Calon Tunggal Pilkada 2024 Diharapkan Berkurang

Alternatif pertama, penjabat hanya akan memimpin daerah selama setahun. Sebab, KPU bakal menggelar pilkada ulang di daerah tersebut pada 2025. Ketentuan mengenai hal tersebut tertuang dalam Pasal 54D ayat (3) Undang-Undang Nomor 10/2016 tentang Pilkada.

Beleid itu mengatakan, jika pasangan calon tunggal gagal meraup 50% suara dari pemilih, digelar pilkada ulang pada tahun berikutnya atau dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan.

Namun, regulasi tersebut sekaligus memberikan alternatif kedua. Menurut Idham, pilkada ulang itu dapat dilakukan pada 2029 mengikuti siklus lima tahunan pilkada serentak. Artinya, saat kotak kosong menang lawan calon tunggal, penjabat kepala daerah bakal memimpin selama lima tahun.

Baca juga : Pakar: Kotak Kosong dalam Pilkada adalah Pilihan Politik

"Jika alternatif kedua menjadi pilihan, maka selama waktu menunggu dilaksanakannya pilkada di 5 tahun mendatang, daerah akan dipimpin oleh penjabat sementara, sebagaimana dijelaskan pada ayat (4) dari pasal tersebut," terang Idham.

"Alternatif ini tentunya menunda keinginan pemilih atau rakyat memiliki kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh pemilih," sambungnya.

Namun, pengajar hukum pemilu dari Universitas Indonesia Titi Anggraini menilai bahwa Pilkada ulang 2024 harusnya digelar pada 2025. Meningat, Pasal 54D ayat (3) UU Pilkada lebih mengutamakan frasa pengulangan pilkada di tahun berikutnya ketimbang jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan.

Baca juga : Dua Alternatif Pilkada Ulang Jika Calon Tunggal Kalah, 2025 dan 2029

"Dalam penalaran yang secara wajar, terang benderang, dan logis, maka kalau calon tunggal kalah, pilkada diulang kembali di tahun berikutnya, yakni 2025," ujarnya.

Titi menilai narasi menggelar pilkada ulang pada 2029 bagi daerah yang calon tunggalnya kalah lawan kotak kosong adalah tidak masuk akal. Sebab, selama lima tahun ke depan, daerah tersebut bakal dipimpin oleh seorang penjabat. Baginya, narasi itu justru akan menyandera pemilih yang khawatir jika harus dipimpin penjabat.

"Pemilih nanti akan tersandera oleh kepemimpinan penjabat. 'Daripada penjabat memimpin lima tahun, pilkadanya masih lama, ya kita pilih calon tunggal saja.' Jangan seperti itu," kata Titi.

Kendati demikian, Idham menyebut pihaknya belum menentukan alternatif mana yang akan dipilih untuk menggelar pilkada ulang saat calon tunggal kalah di Pilkada 2024. Menurutnya, KPU bakal berkonsultasi terlebih dahulu dengan pembentuk undang-undang, yakni DPR dan pemerintah, untuk merumuskan kebijakan tersebut.

"KPU akan berkomunikasi dengan pembentuk undang undang untuk menyampaikan permohonan konsultasi berkenaan dengan norma tersebut terdapat di dalam pasal 54D ayat (3) Undang-Undang Pilkada," tandas Idham. (J-2)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Eksa

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat