visitaaponce.com

Ancaman Ngeri Deflasi

DALAM kamus ekonomi, bukan hanya inflasi yang patut diwaspadai. Perkembangan dan dampak deflasi atau penurunan harga juga patut diperhatikan dan diwaspadai.

Pasalnya, bahaya deflasi sama atau sebangun dengan inflasi. Apalagi bila deflasi itu berlangsung berbulan-bulan seperti yang terjadi di negeri ini dalam empat bulan berturut-turut. Dampaknya pada kondisi perekonomian amat sangat penting untuk diwaspadai.

Bahkan, sejumlah ekonom menyebut fenomena deflasi yang empat bulan berturut-turut terjadi kali ini mirip dengan peristiwa saat krisis menerpa ekonomi Indonesia. Alarm darurat ekonomi Indonesia pun kembali menyala. Peringatan itu bukan bermaksud menakut-nakuti, melainkan memang begitulah yang terjadi.

Baca juga : Jadi Mantan Presiden, Enak?

Ada yang menyebut fenomena deflasi merupakan salah satu penyakit yang menggerogoti negara di tengah ancaman jatuh ke jurang krisis. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia sering berada di fase tersebut. Setidaknya, ada tiga waktu berbeda ketika fenomena deflasi selama beberapa bulan beruntun melanda ekonomi Indonesia dan semua berkaitan dengan krisis.

Saat krisis moneter (krismon) 1998, krisis ekonomi global 2008, dan saat pandemi covid-19 menyerang, deflasi beruntun dalam beberapa bulan juga menjadi penanda. Ketika krisis moneter 1998, misalnya, ketika itu Indonesia mengalami deflasi tujuh bulan berturut-turut, Maret 1999-September 1999. Hal itu imbas depresiasi nilai tukar dan penurunan harga sejumlah barang.

Periode deflasi lainnya terjadi pada Desember 2008 dan Januari 2009. Selama krisis finansial global itu, deflasi terjadi karena penurunan harga minyak dunia, juga permintaan domestik yang melemah. Deflasi beruntun terulang saat Indonesia mengalami covid-19 sehingga daya beli masyarakat turun. Pada 2020, terjadi deflasi tiga bulan berturut-turut sejak Juli sampai September 2020.

Baca juga : Sean Gelael Optimistis Raih Podium di Sao Paolo

Ada empat kelompok pengeluaran yang mengalami deflasi kala itu. Deflasi terjadi pada kelompok makanan, minuman, dan tembakau; pakaian dan alas kaki; transportasi; serta informasi, komunikasi, dan jasa keuangan.

Pada 2024 kali ini, fenomena deflasi beruntun didukung sisi penawaran atau supply side. Deflasi pada Agustus 2024 sebesar 0,03% secara bulanan (month to month) menjadi yang keempat sepanjang tahun ini. Fenomena itu sudah terjadi sejak Mei 2024 sebesar 0,03%, semakin dalam pada Juni 2024 ke level 0,08%, dan tambah parah pada Juli 2024 yang menembus 0,18%.

Deflasi berturut-turut itu disumbang karena penurunan harga pangan, seperti produk tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan, baik karena biaya produksinya yang turun, juga harga di tingkat konsumen ikut turun. Sejauh ini, berbagai analisis menduga deflasi terjadi karena konsumen menahan konsumsi untuk menjaga daya beli, khususnya untuk konsumsi makanan.

Baca juga : SDN 085 Ciumbuleuit dan SDN 043 Cimuncang Raih Podium Teratas

Karena itu, mestinya ada perlakuan berbeda dalam menyikapi fenomena deflasi pada 2024 ini. Apalagi, kondisi deflasi sekarang lebih banyak dipengaruhi faktor domestik, berbeda dengan krisis ekonomi yang menimpa dunia beberapa waktu lalu. Saat ini, faktor deflasi banyak disebabkan pelemahan daya beli akibat kebijakan yang kurang pas.

Kebijakan itu, misalnya, berbagai penaikan harga, misalnya harga bahan bakar minyak bersubsidi (menghilangkan premium dan menggantinya dengan pertalite yang harganya lebih tinggi). Bantuan sosial yang cuma menyasar kelas bawah juga bentuk lain dari pengabaian kelompok menengah ekonomi. Pelemahan daya beli kelas menengah kian paripurna ketika terjadi pelemahan industri, ditambah investasi yang seret.

Jadilah deflasi kali ini sebagai sumbu bagi lesunya perekonomian Indonesia. Bahkan, ada yang menyebutnya deflasi kali ini jadi biang melambatnya perekonomian kita. Perlambatan itu dihitung dari fakta terjadinya pengurangan permintaan 4,8%-5%.

Baca juga : Semangat Juang Jadi Modal bagi Nizar Raih Podium Bali Trail Run Ultra 2024

Masyarakat kelas menengah yang jadi andalan pertumbuhan permintaan justru sedang terjepit dan tak punya pilihan selain makan tabungan. Banyaknya cicilan utang membuat kelas menengah jauh dari asa untuk terus menabung.

Tidak kalah mengkhawatirkan ialah bila deflasi tidak diatasi, bahayanya bisa merembet ke lembaga keuangan. Deflasi bisa berdampak pada menyusutnya dana pihak ketiga dan naiknya non-performing loan (NPL) perbankan. Jika hal itu terus dibiarkan, akan terjadi penurunan kepercayaan masyarakat yang berefek meliuk-liuk seperti spiral dan bisa liar ke mana-mana.

Kita tidak ingin gejala Chilean Paradox terjadi. Situasi paradoks Cile itu terjadi ketika ekonomi negara Cile tumbuh tinggi, tapi kelas menengah terjepit dengan daya beli mereka longsor. Situasi itu membuat kelas menengah Cile marah karena merasa tidak diacuhkan.

Gelombang protes di mana-mana, ujung-ujungnya seantero Cile kena imbasnya, yakni ekonomi merosot karena instabilitas. Jangan terjadi di sini, ah....

 



Terkini Lainnya

Tautan Sahabat