visitaaponce.com

Jejak Barbar Akun Fufufafa

DUA pekan ini jagat media dikejutkan dengan dimunculkan kembali akun Fufufafa yang semula berseliweran di Kaskus pada 2014-2019.

Kehebohan awalnya mencuat di ranah media sosial X kemudian merambah media mainstream. Semua media sibuk menerka siapa pemilik akun anonim tersebut. Sejumlah analisis dari jejak digital yang ditemukan netizen dan pakar telematika Roy Suryo menyebutkan akun misterius itu diduga milik wakil presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka.

Terlepas dari siapa pemilik akun Fufufafa tersebut, jika kita melihat, rekam jejaknya sungguh mengerikan, membuat kita mengelus dada, sampai menulis kata-kata yang tidak pantas, menghina, melecehkan, mesum, dan rasial terhadap tokoh politik, partai, hingga para pesohor kala itu.

Baca juga : Jadi Mantan Presiden, Enak?

Kebanyakan posting akun Fufufafa dibuat dalam kurun 2014, saat mantan Danjen Kopassus Prabowo Subianto masih jadi lawan politik Joko Widodo pada pemilihan presiden. Akun Kaskus Fufufafa masih mengunggah komentar negatif terkait dengan Prabowo hingga 2019.

Alhasil, Gibran banyak diburu jurnalis untuk mengonfirmasi kepemilikan akun yang dinilai barbar oleh publilk tersebut. Namun, putra sulung Presiden Jokowi itu tidak menjawab tegas, membantah atau mengiakan perihal akun Fufufafa. "Lha mbuh, takono sing nduwe akun (tidak tahu, tanya saja pemilik akunnya," ujarnya singkat sambil berlalu, di Surakarta, Jawa Tengah, Selasa (10/9).

Dalam konteks kontestasi politik, meskipun melanggar keadaban politik, akun anonim sering kali digunakan untuk melakukan kampanye hitam (black campaign) terhadap lawan politik baik dalam kontestasi pilpres atau pemilihan kepala daerah.

Baca juga : Sean Gelael Optimistis Raih Podium di Sao Paolo

Akun anonim sebenarnya bentuk kepengecutan pemiliknya dalam berkomunikasi di ruang digital. Pemiliknya tidak mau bertanggung jawab atas posting yang dibuatnya karena memang tidak memiliki data akurat. Nawaitu pelakunya hanya mau menjatuhkan nama baik seseorang.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebutkan kampanye hitam adalah kampanye dengan cara menjelek-jelekkan lawan politik. Kontennya tidak memiliki dasar apa pun, asal bunyi. Isinya berupa penghinaan, berita bohong (hoaks), menyerang pribadi, dan ujaran kebencian. Kampanye hitam tidak hanya merugikan lawan politik atau kandidat tertentu, tetapi juga masyarakat karena menerima informasi tidak benar alias palsu.

Berbeda dengan kampanye negatif (negative campaign). Kampanye negatif adalah upaya mengungkapkan kelemahan lawan politik dengan data valid. Misalnya, data kasus korupsi atau pemborosan anggaran oleh petahana. Untuk membedakan apakah sebuah kampanye bermuatan negatif atau hitam dilihat dari tigal hal. Pertama, tujuan, kedua, data, dan ketiga pelaku.

Baca juga : SDN 085 Ciumbuleuit dan SDN 043 Cimuncang Raih Podium Teratas

Kampanye hitam atau posting yang tidak bertanggung jawab lainnya harus dihentikan. Selain melalui penegakan hukum yang berefek jera, sosialisasi dan edukasi ke masyarakat terkait dengan dampak buruk dari konten negatif perlu digalakkan.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, ada lima jenis konten negatif, yakni penyebaran kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA, melanggar kesusilaan dan perjudian, penghinaan atau pencemaran nama baik, pemerasan dan/atau pengancaman, serta penyebaran berita bohong dan menyesatkan sehingga mengakibatkan kerugian.

Akun Fufufafa dan akun sejenisnya tidak bisa dibiarkan. Masyarakat harus melawannya dengan memproduksi konten-konten media sosial yang berfaedah. Dengan demikian, literasi atau melek digital di masyarakat semakin meningkat sehingga tercipta masyarakat yang beradab. Masyarakat beradab mematuhi hukum dan menjunjung tinggi etika.

Baca juga : Semangat Juang Jadi Modal bagi Nizar Raih Podium Bali Trail Run Ultra 2024

Jarimu ialah harimaumu. Jejak digital cepat atau lambat akan memangsa pelakunya. Ada empat pilar literasi untuk mengenalkan dan memberikan pemahaman mengenai perangkat teknologi informasi dan komunikasi, yaitu digital skill, digital culture, digital ethics, dan digital safety.

Menurut Kemendikbud (2016:2), literasi adalah kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas, antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis, dan berbicara.

Tingkat literasi Indonesia di dunia jeblok, tapi berinternet ria bisa berlama-lama. Berdasarkan laporan Programme for International Student Assessment (PISA) pada 2022, Indonesia meraih skor 359 untuk kemampuan literasi membaca dan berada di peringkat ke-71 dari 81 negara.

Di sisi lain, menurut laporan We are Social, pada Januari 2024, rata-rata pengguna internet di Indonesia sebanyak 7 jam 38 menit. Artinya, lama menggunakan internet tidak bisa mendongkrak tingkat literasi.

Untuk sementara pemilik akun Fufufafa bisa tenang bersembunyi. Namun, watak buruk akan muncul dengan sendirinya. Terlebih jika yang bersangkutan akan menjadi penyelenggara negara. Gusti Allah ora sare.Tabik!



Terkini Lainnya

Tautan Sahabat