visitaaponce.com

Mencetak Rekor Jumlah Menteri

PEPATAH lama dari Edward Bulwer-Lytton menyebutkan pena lebih tajam daripada pedang. Apa yang terjadi jika pena itu dipakai untuk menuliskan hukum sebagai pembungkus hasrat penguasa?

Hukum untuk menyembunyikan hasrat penguasa tentu saja jauh lebih tajam lagi daripada pedang. Bahkan lebih tajam daripada peluru. Hasrat itu disebut Javier Corrales sebagai autocratic legalism, yaitu penggunaan hukum untuk melegitimasi tindakan yang tidak demokratis.

Fenomena autocratic legalism telah menjadi persoalan serius yang mengancam iklim demokrasi, tulis Miftah Faried Hadinatha dalam Jurnalkonstitusi.mkri.id. Pertanda munculnya fenomena ini pun telah ada di Indonesia sehingga tidak dapat dibiarkan begitu saja.

Baca juga : Jadi Mantan Presiden, Enak?

Berdasarkan penelusuran literatur Zainal Arifin Mochtar dan Idul Rishan yang dikutip Miftah, ada tiga tanda autocratic legalism. Pertama, kooptasi partai yang berkuasa di parlemen; kedua, menggunakan hukum untuk melegitimasi hasrat kekuasaan sepihak; ketiga, mengganggu independensi lembaga peradilan.

Ketiga tanda itu berlangsung sempurna saat ini. Akibatnya, hanya sebulan menjelang berakhirnya pemerintahan Presiden Joko Widodo, pembuat undang-undang mengesahkan secepat kilat revisi undang-undang untuk menebalkan hasrat kekuasaan.

Ada dua revisi undang-undang yang menjadi sorotan. Keduanya disahkan dalam rapat paripurna DPR pada 19 September 2024. Pertama, revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Revisi itu memberikan kekuasaan penuh kepada Presiden dalam menentukan jumlah kementerian.

Baca juga : Sean Gelael Optimistis Raih Podium di Sao Paolo

Kedua, pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden Republik Indonesia. Wantimpres naik kelas menjadi lembaga negara dan jumlah anggotanya tidak dibatasi.

Revisi kedua undang-undang itu menjadi sorotan karena tidak melibatkan partisipasi publik. Pembahasannya sangat singkat, masing-masing dalam satu hari dan cukup selama 3 jam.

Segala tindakan yang memaksakan kepentingan di luar kemauan, kehendak, serta kebutuhan masyarakat disebut sebagai autocratic legalism. Dengan kata lain, partisipasi publik mampu mencegah kehadiran hukum berbungkus hasrat penguasa.

Baca juga : SDN 085 Ciumbuleuit dan SDN 043 Cimuncang Raih Podium Teratas

Partisipasi publik, menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, antara lain bertujuan menciptakan kecerdasan kolektif yang kuat yang dapat memberikan analisis lebih baik terhadap dampak potensial dan pertimbangan yang lebih luas dalam proses legislasi untuk kualitas hasil yang lebih tinggi secara keseluruhan.

Selain itu, tujuan lainnya ialah menciptakan parlemen yang lebih akuntabel dan transparan; serta meningkatkan kepercayaan dan keyakinan warga negara terhadap lembaga legislatif. Hasil survei Lembaga Survei Indonesia pada 2023 menemukan tingkat kepercayaan masyarakat pada DPR dan partai politik lebih rendah jika dibandingkan dengan lembaga lainnya.

Mahkamah Konstitusi menyebutkan partisipasi masyarakat perlu dilakukan secara bermakna (meaningful participation) sehingga tercipta/terwujud partisipasi dan keterlibatan publik secara sungguh-sungguh.

Baca juga : Semangat Juang Jadi Modal bagi Nizar Raih Podium Bali Trail Run Ultra 2024

Partisipasi masyarakat yang lebih bermakna tersebut setidaknya memenuhi tiga prasyarat, yaitu pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya; kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya; dan ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan.

Tanpa melibatkan partisipasi masyarakat, pembuat undang-undang membebaskan presiden menentukan jumlah kementerian yang dibentuk, tidak lagi dibatasi paling banyak 34 kementerian.

Sepanjang era reformasi, terdapat lima kabinet yang terdiri dari 34 kementerian, yaitu pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid dan dua kali pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo. Pemerintahan Presiden BJ Habibie memiliki 36 kementerian dan pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri sebanyak 30 kementerian.

Jumlah menteri bervariasi sepanjang Orde Lama. Pada masa sebelum 27 Desember 1949 berkisar antara 16 orang (Kabinet Syahrir ke-1) dan 37 orang (Kabinet Amir Syariffudin ke-2). Jumlah menteri pada masa sesudahnya berkisar antara 18 (Kabinet Wilopo) dan 25 orang (Kabinet Ali Sastroamidjojo ke-2).

Pada masa demokrasi terpimpin, jumlah menteri lebih dari 100 orang karena pimpinan MPRS dan DPR Gotong Royong dan Ketua MA diberi status menteri. Sepanjang Orde Baru berkuasa, jumlah menteri tidak lebih dari 30 orang.

Sejauh ini presiden terpilih Prabowo Subianto belum mengumumkan jumlah menteri yang disiapkan. Meski demikian, Prabowo disebut-sebut telah memanggil sejumlah tokoh yang dibidik untuk menjadi menteri.

Jika jumlah menteri mendatang lebih dari 40 orang, hal itu berarti mencetak rekor setelah kabinet demokrasi terpimpin dengan 100 menteri. Publik menunggu apakah kabinet yang dibentuk itu bertujuan membalas jasa atau mementingkan masyarakat.

Kalaulah undang-undang direvisi hanya untuk membungkus kepentingan sesaat, publik boleh mencoba untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.



Terkini Lainnya

Tautan Sahabat