visitaaponce.com

Demokrasi Kocar-kacir

'SEKELOMPOK preman membubarkan acara diskusi Forum Tanah Air, di Kemang, Jakarta. Mereka merangsek masuk forum, berteriak-teriak, lalu merusak banner-banner diskusi dengan kasar. Para peserta dan pembicara diskusi berlarian. Said Didu lari kocar-kacir'.

Seseorang membuat narasi informasi di atas untuk memantik sebuah pembicaraan di grup percakapan pesan Whatsapp. Lalu, seseorang anggota grup menimpali dengan kalimat singkat: 'demokrasi pun kocar-kacir'.

Saya tertarik dengan kalimat 'Demokrasi kocar-kacir' ini. Dalam bahasa Jawa, kocar-kacir bisa diganti dengan satu kata yang sangat umum dipakai, yakni ambyar. Dalam bahasa Indonesia, ambyar bisa diartikan 'berantakan' tak keruan.

Baca juga : Jadi Mantan Presiden, Enak?

Jadi, bisa dibilang, demokrasi kita memang berantakan. Dibuat kocar-kacir. Bahkan, kian kemari makin berantakan. Apalagi setelah tindakan sekelompok orang, ada yang menyebut preman, di Kemang, akhir pekan lalu itu. Lalu, ada yang bertanya seberantakan apakah demokrasi kita?

Kiranya, laporan hasil riset dan analisis sejumlah lembaga internasional bisa kita jadikan pisau analisis. Lembaga-lembaga itu memotret penurunan kualitas demokrasi di Indonesia sejak kepemimpinan Jokowi, utamanya pada periode kedua. Freedom House menyebut indeks demokrasi Indonesia turun dari 62 poin ke 53 poin pada 2019-2023.

Lembaga Reporters Without Borders (RSF) mengungkap penurunan kualitas kebebasan pers Indonesia. Skor kebebasan pers Indonesia turun dari 63,23 poin pada 2019 ke 54,83 poin pada 2023. Kebebasan pers ialah instrumen penting tolok ukur demokratis atau tidaknya suatu negara. Pers yang bebas menandakan demokrasi di sebuah negara sehat. Sebaliknya, pers yang kebebasannya tertatih-tatih menunjukkan demokrasi di negara itu tengah sakit.

Baca juga : Sean Gelael Optimistis Raih Podium di Sao Paolo

Riset yang dilakukan Economist Intelligence Unit (EIU), tahun lalu, menunjukkan kondisi demokrasi kita sami mawon. Dalam rilis EIU itu dinyatakan Indonesia berada di peringkat ke-56 dengan skor 6,53, turun dua tingkat dari 2022 (skor 6,71). Skor tersebut menegaskan Indonesia masih tergolong sebagai demokrasi cacat (flawed democracy). Semua indikator demokrasi, yakni pluralisme dan proses pemilu, efektivitas pemerintah, partisipasi politik, budaya politik yang demokratis, dan kebebasan sipil, turun.

Dalam 14 tahun terakhir, EIU mencatat bahwa indeks demokrasi Indonesia mengalami tren naik turun. Setelah sempat mengalami kenaikan pada periode 2010 hingga 2015, nilai Indonesia mengalami penurunan sepanjang 2016 hingga 2020. Penurunan terlihat lagi-lagi pada indikator budaya politik yang demokratis dan kebebasan sipil. Di kawasan Asia Tenggara, kualitas demokrasi Indonesia beberapa tahun lalu pun kalah dari Malaysia, Timor Leste, dan Filipina. Meski sama-sama bertipe rezim demokrasi cacat, tiga negara itu mencatatkan nilai lebih tinggi.

Itu berdasarkan angka. Jika kita hendak mengukur kualitas demokrasi dari pernyataan pejabat dan aparat negara, wajar kiranya bila demokrasi kita tidak kunjung sembuh dari sakit, bahkan makin kocar-kacir. Presiden Jokowi, misalnya, kerap membantah bahwa demokrasi kita masih bermasalah.

Baca juga : SDN 085 Ciumbuleuit dan SDN 043 Cimuncang Raih Podium Teratas

Kata Jokowi, demokrasi kita baik-baik saja. Buktinya, masih menurut Jokowi, tiap hari orang bebas mengkritik dan memaki-maki presiden tanpa ditangkap. Jadi, merujuk pada pernyataan Jokowi itu, ukuran sehat atau sakitnya demokrasi pada ditangkap atau tidaknya orang yang mengkritik atau memaki presiden.

Padahal, kesehatan demokrasi diukur dari banyak indikator. Tolok ukur utama ialah adanya kebebasan mengungkapkan pendapat dan adanya kebebasan berekspresi. Penghormatan, pemenuhan, dan pelindungan hak kebebasan berpendapat dan berekspresi itu menjadi ranah kewajiban negara. Bila negara membiarkan warganya ketakutan atau ditakut-takuti saat hendak berbeda pendapat atau bersikap kritis (termasuk diteror para buzzer), itu berarti demokrasi dibiarkan kocar-kacir.

Di kalangan sebagian aparat, pemahaman hak kebebasan berpendapat dan berekspresi itu malah dipersempit pada ruang-ruang regulasi semata. Dalam pembubaran paksa diskusi di Kemang, misalnya, aparat setempat menyebutkan leluasanya tindakan premanisme di ruang diskusi terjadi karena aparat tidak menerima izin acara. Jadi, tidak 'sempat' dikawal. Polisi memilih 'mengawal' unjuk rasa di luar gedung karena aksi itu 'sudah berizin', sedangkan diskusi yang di dalam 'tidak berizin'.

Baca juga : Semangat Juang Jadi Modal bagi Nizar Raih Podium Bali Trail Run Ultra 2024

Apakah dengan demikian kebebasan berpendapat dan berekspresi tidak boleh diatur? Tentu saja bukan seperti itu cara pandang dan berpikirnya. Ketika kita mengalami pandemi covid-19, misalnya, negara boleh membatasi warganya untuk berkumpul. Tanpa dibatasi, kumpul-kumpul saat pandemi membahayakan nyawa manusia. Jadi, yang dibatasi bukan ekspresinya, melainkan cara melakukannya.

Pembatasan hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat tidak dapat dilakukan secara semena-mena. Pembatasan mesti memenuhi asas legalitas. Artinya kebebasan tidak boleh dibatasi tanpa aturan yang jelas. Yang kedua, aspek proporsionalitas, yaitu menyesuaikan tingkat ancaman dan pentahapan: harus ada peringatan, teguran, baru tindakan tegas. Yang ketiga, dimensi 'keperluan'. Artinya, pembatasan diperlukan karena potensial menghadirkan kekerasan lebih lanjut.

Semua aturan itu sudah ada dan negaralah yang melaksanakan aturan itu. Karena itu, bila ada yang semena-mena dengan mengambil alih peran negara untuk membubarkan diskusi, dengan cara kekerasan pula, itu namanya sengaja memukul demokrasi agar makin kocar-kacir. Kita ingin demokrasi yang sehat dan tumbuh, bukan demokrasi yang sakit, bahkan disakiti dan dibuat kocar-kacir.



Terkini Lainnya

Tautan Sahabat