visitaaponce.com

Senyum Tom Lembong

TAK ada sepotong pun kalimat dari mulutnya. Dia bungkam seribu bahasa meski didesak belasan jurnalis yang menantinya seusai diperiksa sebagai tersangka korupsi selama 10 jam.

Dialah mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau akrab disapa Tom Lembong. Tersangka kasus dugaan korupsi importasi gula yang terjadi di Kementerian Perdagangan pada 2015-2016. Dia tampak memakai rompi tahanan berwarna pink milik Kejaksaan Agung.

Dengan tangan terborgol dia hanya melempar senyum sembari jalan tergesa-gesa ke mobil tahanan. Senyum yang sama dengan lesung pipit dan rambut klimisnya dia tampakkan sebelumnya saat ditetapkan sebagai tersangka oleh Korps Adhyaksa pada Selasa (29/10).

Dalam penetapan tersangka kasus-kasus rasuah penyelenggara negara lainnya Kejagung mendapat reaksi positif dari publik dan decak kagum, seperti kasus ASABRI (kerugian negara Rp22,788 triliun), Jiwasraya (Rp16,807 triliun), PT Timah (Rp271 triliun), Bakti Kemenkominfo (Rp8 triliun), PT Duta Palma (Rp78 triliun), dan teranyar kasus dugaan suap vonis bebas Ronald Tannur (Rp5 miliar) berikut temuan uang tunai sebesar Rp920 miliar.

Namun, dalam kasus Tom Lembong lembaga yang dipimpin Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin itu mendapat sentimen negatif. Kasus itu malah menuai polemik terkait dengan masih remang-remangnya kasus impor gula kristal mentah 105 ribu ton itu.

Bahkan, publik menilai penetapan tersangka mantan Co-captain Tim Nasional Pemenangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar ini bernuansa politis.

Dalam surat penetapan tersangka yang diterbitkan Kejagung, Tom ditetapkan sebagai tersangka di Kementerian Perdagangan untuk periode 2015 hingga 2023. Namun, hanya Tom yang diperiksa. Sejumlah mendag setelah Tom yang notabene importasi gulanya lebih besar tidak 'dicolek'.

Demikian pula validitas kerugian negara Rp400 miliar tidak berasal dari Badan Pemeriksa Keuangan. Berdasarkan Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana yang dijerat ke Tom, unsur kerugian negara harus terbukti secara konkret (actual loss), bukan potential loss yang bersifat spekulatif. Belum lagi pertanyaan seputar aliran dana korupsi yang gelap.

Publik lalu mengaitkan dengan juntrungan pemeriksaan Menpora Dito Ariotedjo, yang diduga menerima aliran dana senilai Rp27 miliar dalam kasus korupsi Bakti Kemenkominfo.

Pertanyaan senada ditujukan terkait dengan ujung pemeriksaan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto pada kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang merugikan negara sebesar Rp6,47 triliun.

Penegakan hukum (law enforcement) di negeri ini masih terkesan tebang pilih, belum tegak lurus pada prinsip negara hukum (rechtsstaat) sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, seperti pada kasus yang menjerat mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri yang ditangani Polda Metro Jaya.

Firli ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan pemerasan dan gratifikasi terhadap eks Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) pada 22 November 2023. Firlli diduga menerima suap sebesar Rp1,3 miliar dari SYL.

Setelah hampir setahun berstatus tersangka, alih-alih merasakan dinginnya ruang tahanan, Firli masih bebas melenggang, bahkan main badminton meladeni pasangan 'the Minions', Kevin Sanjaya dan Marcus Fernaldi Gideon.

Menegakkan hukum, terutama kasus korupsi, membutuhkan upaya luar biasa karena korupsi ialah extraordinary crime. Penanganan kejahatan luar biasa tak bisa dengan basa-basi, berputar-putar, sehingga keadilan ternodai, tertunda, bahkan tercampakkan (justice delayed is justice denied).

Dalam berbagai kesempatan Presiden Prabowo Subianto menegaskan ingin membangun pemerintahan yang bersih. Walakin, tekad mantan Danjen Kopassus itu hanya menjadi jargon apabila tata kelola pemerintahannya mengedepankan politik sebagai panglima sehingga Indonesia bergeser menjadi negara kekuasaan (machtstaat).

Pemerintahan yang bersih harus berdasarkan prinsip-prinsip negara hukum, yakni supremasi hukum, persamaan di depan hukum, proses hukum yang wajar, pembagian kekuasaan, dan perlindungan hak asasi manusia.

Di atas prinsip yang bersifat legalistik ialah ethikos (etika). Kemampuan menimbang mana yang pantas dan tidak pantas. Earl Warren, Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat (1953-1969), mengatakan law floats in a sea of ethics (hukum mengapung di atas samudra etika).

Jika samudra kering, kapal bernama hukum tidak akan bisa berlayar menuju kepastian, keadilan, dan kemanfaatan bagi masyarakat. Tabik!



Terkini Lainnya

Tautan Sahabat