Aroma Feodal yang Mulia
AROMA kolonial tidak hanya tercium dari istana buatan Belanda. Sebutan berbau kolonial, bahkan feodal sekalipun, masih sadar dilestarikan hingga kini.
Istana berbau kolonial diungkapkan Joko Widodo, Presiden Ke-7 RI, pada 13 Agustus 2024. Jokowi memberikan pengarahan kepada para kepala daerah di Istana Negara Ibu Kota Nusantara. Jokowi yang selama 10 tahun menghuni Istana Bogor mengatakan dirinya dibayang-bayangi, setiap hari merasakan bau-bau kolonial.
Bau kolonial yang sangat subjektif itulah salah satu alasan yang mendasari Jokowi membangun Ibu Kota Nusantara di Kalimantan Timur. Amat disayangkan Jokowi tidak tergerak penciumannya untuk menghentikan sebutan yang berbau kolonial.
Ada tiga sebutan yang resmi dinyakan berbau kolonial dan feodal, yaitu paduka yang mulia, paduka tuan, dan yang mulia. Dua sebutan yang pertama sudah tidak dipakai lagi dalam acara resmi. Sebutan yang mulia masih lestari hingga kini, terutama dalam persidangan di pengadilan.
Sudah 74 tahun keberadaan peraturan perundang-undangan yang secara resmi memutuskan untuk tidak menggunakan istilah paduka yang mulia, paduka tuan, dan yang mulia. Ada keputusan perdana menteri pada 1950 dan ada pula ketetapan MPRS pada 1966.
Perdana Menteri Abdul Halim belum genap sebulan menjabat. Pada 10 Februari 1950, Halim mengeluarkan surat bernomor 657/50 perihal penghapusan sebutan-sebutan. Halim menjabat perdana menteri pada 16 Januari 1950 hingga 5 September 1950.
Isi surat Halim yang ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri itu ialah menggantikan sebutan paduka yang mulia, yang mulia, dan paduka tuan dengan saudara. Kemudian Mendagri meneruskan surat itu kepada seluruh kepala daerah.
Alasan yang dikemukakan Halim sangat menarik. Menurut dia, sebutan paduka yang mulia, yang mulia, dan paduka tuan merupakan suatu rintangan yang menjauhkan rakyat dari pemimpin mereka. Padahal, kata dia, suasana kekeluargaan dan persaudaraan yang diinginkan untuk seluruh masyarakat Indonesia.
Dalam surat itu, Halim menyatakan bahwa terkait dengan percakapan dengan seseorang yang di dalam masyarakat pantas dihormati karena kedudukan atau umurnya, dapat juga dipergunakan sebutan bapak (pak) atau ibu (bu). “Perlu juga ditegaskan di sini, bahwa tindakan ini hanya menuju ke dalam, artinya terhadap luar Republik Indonesia, hendaknya tetap dipergunakan sebutan-sebutan yang lazim dipakainya.”
Satu dekade kemudian giliran MPRS mengeluarkan ketetapan bernomor XXXI/MPRS/1966 tentang Penggantian Sebutan Paduka yang Mulia (PYM), Yang Mulia (YM), Paduka Tuan (PT) dengan Sebutan Bapak/Ibu atau Saudara/Saudari.
Alasan utama penggantian sebutan itu tertuang dalam poin menimbang di dalam ketetapan tersebut. “Bahwa untuk mewujudkan kembali kepribadian bangsa secara konsekuen berdasarkan Pancasila dan untuk mengikis habis sisa-sisa feodalisme serta kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, perlu menetapkan dalam bentuk Ketetapan MPRS penggantian sebutan ‘Paduka yang Mulia, Yang Mulia, Paduka Tuan menjadi Bapak/Ibu atau Saudara/Saudari’.”
Ketetapan MPRS itu sudah berjalan 58 tahun dan selama itu pula bangsa ini pura-pura melupakan kewajiban untuk menjalankannya. Status Tap XXXI/MPRS/1966 ialah tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat einmalig (final), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan. Status itu tertuang dalam Pasal 6 Tap I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002.
Sebutan paduka yang mulia dan paduka tuan sudah tidak pernah dipakai lagi dalam kegiatan resmi. Hanya sebutan yang mulia dilestarikan dalam sidangan di pengadian. Bahkan di luar pengadilan, hakim dan hakim yang sudah pensiun masih dipanggil yang mulia.
Sungguh ironis para hakim bangga dengan panggilan yang mulia meski sebutan itu berbau kolonialisme dan feodalisme. Kini, dalam persidangan terkait dengan etik pun, diresmikan sebutan yang mulia seperti di persidangan Majelis Kehormatan DPR. Setelah banyak hakim masuk bui, muncul gugatan sebutan yang mulia itu.
Sepucuk surat dilayangkan ke Mahkamah Agung (MA) pada 17 Juni 2020. Isi surat bernomor 01/Kppha/VI/2020 cukup menggelitik karena menggugat sebutan yang mulia untuk hakim.
Gugatan itu menyedot perhatian karena surat dilayangkan Pengurus Kerukunan Keluarga Purnabakti Hakim Agung (KKPHA) dan Persatuan Hakim Indonesia (Perpahi). Surat diteken ketua mereka, Harifin A Tumpa, yang notabene Ketua MA periode 2009-2012.
Predikat yang mulia bagi hakim, menurut Tumpa, tidak mencerminkan antara kenyataan dan perbuatan yang mereka lakukan. Predikat yang mulia memantik sindiran di masyarakat sehingga tidak layak diterapkan kepada para hakim.
Gugatan yang mulia masih berlangsung hingga kini. Teranyar ialah gugatan dari mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD. Ia menulis di status aplikasi X pada 7 November 2024 dengan judul Yang Mulia atau Yang Memalukan.
Ganti saja sebutan hakim yang mulia dengan yang terhormat saudara hakim sesuai dengan Peraturan Menteri Kehakiman Nomor M.06.UM.01.06 Tahun 1983 tentang Tata Tertib Persidangan dan Tata Ruang Sidang. Pasal 13 peraturan tertanggal 16 Desember 1983 itu menyatakan penyebutan bagi hakim dan penuntut umum dalam persidangan ialah yang terhormat saudara hakim dan yang terhormat saudara penuntut umum.
Sebutan yang terhormat saudara hakim jauh lebih elegan ketimbang hakim yang mulia berbau kololialisme dan feodalisme. Toh, presiden saja dalam sidang resmi di MPR/DPR disapa yang terhormat saudara presiden, tidak pernah disapa yang mulia presiden.
Terkini Lainnya
Sengatan Hujan Pungutan
Menimbang PSN
Kans Gubernur Jakarta Mengikuti Pilpres 2029
Sihir Tanah Air
PPN 12% dan Janji Prabowo
Merayakan Kekalahan
Abdul Mu’ti dan Model Ful-Ful
Spekulasi Zonasi
Mary Jane Ditransfer, 558 Orang Tunggu Mati
Yang Ful-Ful dari Abdul Mu'ti
OTT KPK, Antara Benci dan Rindu
Frugal Living
Masih Bolehkah Bernapas?
Lapor Mas Wapres
Mental Ichlasul Amal
Es Teh, Canda, dan Refleksi Kita Bersama
Krisis Suriah Jilid II
Diorama Makan Bergizi Gratis
Indonesia Kekurangan Dokter: Fakta atau Mitos?
Serentak Pilkada, Serentak Sukacita
Menuju Pendidikan Tinggi Transformatif
1.000 Pelajar Selami Dunia Otomotif di GIIAS 2024
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap