Frugal Living
GERAKAN untuk menerapkan gaya hidup hemat sekaligus menekan pengeluaran yang berlebihan atau dikenal dengan istilah frugal living telah menjadi fenomena menarik akhir-akhir ini. Bukan hanya di Indonesia, di negara-negara lain pun konsep itu sepertinya juga sedang menjadi tren gaya hidup.
Frugal, bukan dalam pengertian pelit, ialah respons atau adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat menghadapi situasi ekonomi yang serbasulit dan tidak tampak 'berpihak' pada kelas menengah dan bawah. Konsep itu mulai menemukan relevansinya sejak beberapa tahun lalu, terutama ketika perekonomian dunia dihantam pandemi covid-19.
Dengan sumber pendapatan yang kocar-kacir, harga barang kebutuhan terus menanjak, biaya-biaya lain seperti untuk sekolah dan kesehatan alih-alih turun malah semakin mahal, tidak ada cara lain, memang, kecuali menerapkan pola hidup hemat alias frugal. Dengan kata lain, situasi telah memaksa masyarakat untuk menjalankan hidup irit.
Karena itu, bagi sebagian orang, mengadopsi hidup frugal ialah kemestian, bukan pilihan. Frugal ialah pola hidup, bukan gaya hidup. Bahkan, untuk mereka yang kondisinya sangat ekstrem, sekadar frugal living mungkin tak lagi mempan. Buat mereka, yang lebih pas diterapkan ialah struggle living. Berjuang, berjuang, dan berjuang.
Ajakan untuk melakukan frugal living belakangan kembali banyak didengungkan publik melalui media sosial. Itu untuk merespons keputusan pemerintah yang pada awal tahun depan bakal menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%.
Logikanya sederhana, kalau kesulitan yang dihadapi sekarang saja sudah memaksa orang untuk hidup hemat dan menahan belanja, bagaimana nanti setelah tarif PPN dinaikkan? Tak perlu tanya ke para ahli atau ekonom, orang awam juga tahu penaikan tarif PPN, berapa pun besarnya, akan seketika mengerek harga barang dan kebutuhan pokok.
Artinya, daya beli akan kian tergerus, tekanan ekonomi yang dirasakan masyarakat pun bakal makin berat. Selama tidak ada intervensi kebijakan pemerintah untuk mengompensasi dampak penaikan PPN tersebut, tampaknya jalan satu-satunya yang bisa diambil masyarakat hanyalah mengencangkan pola hidup hemat atau frugal living tadi.
Dalam konteks itu, ajakan untuk menjalankan frugal living bisa dimaknai sebagai bentuk protes publik terhadap kebijakan pemerintah yang cenderung lebih memedulikan kesehatan APBN ketimbang kesehatan ekonomi masyarakat. Frugal living bisa dibilang sebagai 'gerakan setengah boikot' karena pada praktiknya mereka akan mengerem belanja selain untuk kebutuhan pokok.
Lantas, adakah efek dari aksi setengah boikot itu? Tentu ada dan sesungguhnya pemerintah juga yang akan rugi karena aktivitas konsumsi masyarakat bakal menurun drastis. Apabila aktivitas konsumsi anjlok, bukankah pemerintah juga tidak akan mampu meraup pajak yang besar dari sektor tersebut?
Kalaupun kita asumsikan masyarakat tetap tak bisa menahan belanja, hampir pasti mereka akan memilih aktivitas belanja yang terhindar dari tarif PPN tinggi. Ada dua kemungkinan untuk ini, masyarakat mencari barang-barang hasil impor ilegal yang berharga murah atau mereka memilih membelanjakan uang mereka di sektor informal, seperti warung-warung kecil, yang tidak dipajaki.
Artinya, jika aksi setengah boikot melalu ajakan frugal living itu berlangsung masif, boleh jadi tujuan menaikkan PPN yang diklaim pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara dari pajak pada ujungnya nanti tidak akan tercapai. Pajak tinggi tidak otomatis akan meningkatkan penerimaan, apalagi jika pajak tinggi itu diterapkan pada situasi perekonomian yang tidak sedang baik-baik saja.
Itu sesuai dengan teori yang disampaikan oleh intelektual muslim zaman lampau Ibnu Khaldun dalam bukunya berjudul Muqaddimah. Ia menulis bahwa dalam kondisi ekonomi yang bagus, pendapatan negara dari pajak akan bertambah tinggi meski tarif pajaknya rendah. Sebaliknya, pada masa ekonomi sulit, pendapatan negara dari pajak akan tetap rendah walaupun tarif pajak ditetapkan tinggi.
Maka itu, meskipun tidak terlalu optimistis, saya dan mungkin banyak masyarakat lain masih berharap pemerintah mau mengubah keputusan soal penaikan PPN. Paling tidak, seperti kata sejumlah pakar dan ekonom, tunda dulu penaikan PPN itu sehingga tidak menjadi palu godam yang akan semakin membenamkan masyarakat di kala ekonomi sedang sulit-sulitnya.
Mungkin daripada membabi buta menggenjot penerimaan pajak demi menambal anggaran yang cekak, kenapa pemerintah tak coba ikut gerakan frugal living saja? Dengan menerapkan prinsip hemat anggaran, mengurangi pemborosan belanja, tidak buang-buang uang untuk hal tak penting, rasanya anggaran negara bakal aman-aman saja. Pemerintah juga tak perlu sampai menjadi raja tega, memajaki rakyat dengan tarif tinggi.
Terkini Lainnya
Memodifikasi Perasaan
Melawan Kebohongan
Badai Pinjol belum Berlalu
Muruah Sonhaji
Adab Bicara Pejabat Publik
Humor yang Mencerdaskan
Mem-branding Gibran
Keteladanan Muhammadiyah
Sengatan Hujan Pungutan
Menimbang PSN
Kans Gubernur Jakarta Mengikuti Pilpres 2029
Sihir Tanah Air
PPN 12% dan Janji Prabowo
Merayakan Kekalahan
Abdul Mu’ti dan Model Ful-Ful
Spekulasi Zonasi
Menjaga Asa Mandatori Sertifikasi Produk Halal
Rumi, Perempuan, dan Kesehatan Mental: Refleksi Haul Ke-750 Rumi
Profesor Kehormatan
Realitas Baru Timur Tengah
Indonesia Kekurangan Dokter: Fakta atau Mitos?
Serentak Pilkada, Serentak Sukacita
1.000 Pelajar Selami Dunia Otomotif di GIIAS 2024
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap