visitaaponce.com

Keteladanan Muhammadiyah

TELADAN pemimpin, konon, semakin menghilang di negeri ini. Keteladanan menjadi satu hal yang kerap kali absen dari perilaku para pemimpin di Republik ini. Kalau dalam bahasa ekonomi, kita sedang mengalami defisit, bahkan krisis tokoh yang bisa dijadikan teladan atau anutan.

Orang pintar banyak, orang cerdas berlimpah, orang hebat berderet, tetapi orang yang bisa dan pantas diteladani tampaknya tinggal sedikit. Celakanya yang sedikit itu tenggelam di antara gemuruh suara sember orang-orang yang tak layak diikuti.

Tak perlu jauh-jauh mencari contoh untuk mengonfirmasi betapa keteladanan itu memang kian menuju punah. Hanya dalam beberapa hari terakhir ini saja, sederet kejadian telah menunjukkan kecenderungan itu. Elite atau pemimpin yang seharusnya menyunggi keteladanan dalam setiap tindak tanduk mereka ternyata malah melakukan laku yang sebaliknya.

Contoh teraktual tentu saja yang belakangan ini sangat viral di media sosial dan media-media arus utama ketika Miftah Maulana Habiburrahman, pendakwah yang belum lama ini diangkat sebagai utusan khusus presiden, menghina dan mengolok-olok penjual es teh saat ia berceramah pada pengajian di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Kata-kata tak pantas bahkan dengan entengnya keluar dari mulutnya. Makin bikin jengkel lagi, lontaran kalimat hinaan yang diklaim sang empunya mulut sebagai 'cuma guyonan' itu kemudian disambut tawa oleh orang-orang di sekelilingnya di atas panggung pengajian. Malah ada yang tanpa malu ketawa ngakak mendengar olok-olok Miftah tersebut.

Padahal, di panggung itu berkumpul orang-orang yang dianggap 'hebat dan terhormat'. Ada ulama, pemilik pesantren, pemimpin umat, dan sebagainya. Namun, perilaku mereka kiranya jauh dari terhormat. Kehormatan mereka yang semu, bahkan palsu, amat terlihat ketika memperlakukan rakyat kecil, kawula alit, dengan perilaku yang niradab.

Dari mereka seharusnya masyarakat menimba ilmu dan keteladanan. Dari mereka semestinya umat belajar keadaban. Akan tetapi, justru dari merekalah kita mendapat penegasan bahwa keteladanan memang sudah amat menjauh dari ucapan dan tindakan para pemimpin dan elite. Mereka lebih kerap menebar kebodohan dan kebobrokan ketimbang keteladanan.

Dalam situasi kepemimpinan yang kian semrawut, tampaknya bangsa ini mesti bersyukur memiliki organisasi masyarakat keagamaan bernama Muhammadiyah yang kemarin memperingati milad ke-112. Ormas keagamaan terbesar kedua di Indonesia itu konsisten berada di garis terdepan membangun keumatan dan kebangsaan.

Dalam konteks kepemimpinan, Muhammadiyah pantas diharapkan menjadi suluh keteladanan karena mereka punya prinsip bahwa dalam kepemimpinan yang utama ialah keteladanan. Hanya melalui keteladananlah pemimpin akan mampu membangun kepercayaan dan kredibilitas di mata masyarakat.

“Pemimpin yang jujur, adil, dan tulus dalam berbuat akan mendapatkan dukungan dan penghargaan dari masyarakat. Karena itu, menjadi teladan harus menjadi prinsip utama kepemimpinan,” kata Ketua PP Muhammadiyah Ahmad Dahlan Rais dalam satu tausiahnya, dikutip dari laman Muhammadiyah.or.id.

Laku Muhammadiyah yang dari zaman ke zaman terus meningkatkan peran mereka di bidang dakwah, pendidikan, dan kesehatan sejatinya juga merupakan bagian dari cita-cita organisasi untuk melahirkan pemimpin-pemimpin bangsa yang unggul. Tidak cuma unggul dalam kecerdasan dan intelektualitas, tapi juga akhlak dan integritas.

Dalam sambutan pembukaan Tanwir dan Resepsi Milad Ke-112 Muhammadiyah di Kupang, kemarin, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir melontarkan gagasan soal rekonstruksi kehidupan kebangsaan yang bermakna. Secara implisit gagasan itu juga menyiratkan pesan bahwa stagnasi kehidupan berbangsa yang salah satunya disebabkan minimnya keteladanan pemimpin mesti direkonstruksi.

Kiranya Muhammadiyah memiliki semua perangkat untuk dijadikan role model bagaimana mengelola kepemimpinan yang bukan mengedepankan keangkuhan, melainkan keteladanan. Selamat milad ke-112, jangan pernah berhenti memendarkan sinar keteladanan.



Terkini Lainnya

Tautan Sahabat