Adab Bicara Pejabat Publik
ETIKA pemerintahan mengatur dua alasan utama agar pejabat mengundurkan diri. Pertama, merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai. Kedua, dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara. Adab bicara pejabat yang berujung pengunduran diri masuk kategori pertama.
Mengundurkan diri karena ‘merasa dirinya’ amat langka ditemukan di negeri ini. Disebut langka karena para pejabat umumnya hanya merasa bisa, tapi tidak punya kemampuan bisa merasa. Hanya segelintir pejabat yang bisa merasa sehingga mundur atas kesadaran sendiri tanpa adanya tekanan publik.
Pejabat yang merasa bisa kukuh mempertahankan jabatannya ibarat ungkapan sudah duduk lupa berdiri, malah tidak tahu diri. Meski publik sudah mengendus keterkaitan dirinya dengan dugaan perbuatan tercela, pejabat itu tetap merasa bisa mempertahankan jabatannya.
Bangsa ini membutuhkan kriteria tambahan untuk menjadi pejabat, yaitu bisa merasa. Hanya pejabat yang memiliki keutamaan bisa merasa itulah yang dengan rela mengundurkan diri bila menganggap dirinya tidak mampu memenuhi amanah.
Sudah waktunya negara memastikan etika pemerintahan yang sudah berlaku selama 23 tahun tetap berjalan tegak lurus, tidak berjalan miring-miring. Etika pemerintahan itu menjadi bagian dalam Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Jangan biarkan etika itu sebatas macan kertas.
Memang banyak pejabat yang mengundurkan diri, tetapi sedikit kasus yang terkait dengan etika pemerintahan. Pada umumnya pejabat mengundurkan diri karena tiga alasan. Pertama, mundur setelah terjerat dalam kasus hukum kemudian ditetapkan sebagai tersangka. Contohnya cukup banyak. Sejumlah menteri mengundurkan diri dari jabatan mereka setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi.
Kedua, pejabat mundur karena merasa gagal menjalankan amanah yang diembannya. Contohnya ialah Semuel Abrijani Pangerapan yang mengundurkan diri dari jabatan Direktur Jenderal Aplikasi Informatika pada 1 Juli 2024. Semuel mengundurkan diri sebagai pertanggungjawaban moralnya atas peretasan Pusat Data Nasional Sementara (PDNS).
Masih ada dua pejabat setingkat dirjen yang mengundurkan diri karena bisa merasa kegagalan mengemban amanah. Dirjen Pajak Sigit Priadi Pramudito mundur pada 1 Desember 2015 karena merasa gagal atas tidak tercapainya target pajak.
Begitu juga Dirjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Djoko Sasono yang pada 26 Desember 2015 mundur karena merasa gagal mengurai kemacetan saat masa liburan Natal 2015 dan Tahun Baru 2016. Itulah contoh tiga pejabat yang bisa merasa sehingga mengundurkan diri dengan kerelaan hati.
Sejauh ini belum ada menteri yang mengundurkan diri karena bisa merasa kegagalannya untuk mengemban amanat. Meski didesak publik, misalnya, menteri kukuh mempertahankan jabatan dengan dalil pemberhentiannya menjadi hak prerogatif presiden.
Alasan ketiga pejabat mundur, ini fenomena baru, karena adab bicara yang kurang dijaga di ruang publik kemudian ramai-ramai orang menututnya mundur. Contoh terayar ialah Miftah Maulana Habiburrahman yang menyatakan mundur dari tugasnya sebagai utusan khusus presiden bidang kerukunan beragama dan pembinaan sarana keagamaan pada 6 Desember 2024.
Miftah yang baru 1,5 bulan menjabat tersandung oleh ucapan yang dinilai merendahkan penjual es pada 20 November 2024. Potongan video ucapan Miftah beredar di media sosial dan media massa, padahal Miftah sudah mendatangi penjual es itu pada 4 Desember 2024. Warganet pun menggalang petisi Miftah dicopot di Change.org. Petisi itu diteken lebih dari 100 ribu orang.
Pengunduran diri Miftah tetap patut diacungi jempol terlepas dari apa pun alasan di balik keputusannya itu. Elok nian bila pejabat lainnya, yang tidak mampu menjaga adab bicara di ruang publik, mengikuti langkah Miftah.
Menjadi pejabat memang tidak mudah, apalagi bagi mereka yang sebelum menjabat selalu bicara sesuka hati. Karena itu, keutamaan lain seorang pejabat publik ialah kehati-hatian mengeluarkan pernyataan, pandai-pandai berkomunikasi di ruang publik, dan mampu menjaga adab bicara.
Keadaban publik menurut definisi Yanuar Nugroho dengan merujuk Calhoun ialah kepatuhan terhadap akal sehat, moralitas, dan etika dasar yang berlaku dalam hidup bersama sebagai warga. Kepatuhan itu yang sering diabaikan sehingga istilah yang dianggap benar dalam ukuran pejabat belum tentu bisa diterima publik.
Juru bicara Kantor Komunikasi Presiden, Adita Irawati, pun meminta maaf atas kegaduhan pernyataan 'rakyat jelata' untuk merujuk kepada rakyat kecil. Diksi rakyat jelata menuai protes warganet. Ada yang menilai bahwa tidak pantas menyapa rakyat dengan sebutan rakyat jelata. Penggunaan diksi jelata oleh pejabat, meski kamus membenarkannya, bisa saja dimaknai publik sebaliknya.
Kiranya para pejabat membenahi kemampuan berkomunikasi di ruang publik. Adab bicara pejabat di ruang publik membutuhkan cara, teknik, dan medium yang tepat. Tak eloklah bila pejabat asal bicara kemudian dengan entengnya meminta maaf.
Terkini Lainnya
Ketimpangan
Belajar dari Koin Jagat
Akal Sakit di Laut Tangerang
Negara dalam Negara
Meretas Ormas
Rezim Perizinan Pemagaran Laut
Serakah tak Bertepi
Mengimpor Hakim
Anak Muda Penguat Demokrasi
Saranghaeyo, STY
Merayakan UMKM
Kisah Maling Ayam Dipenjara 2 Tahun
Harapan (tak lagi) seperti Hujan
Pak Jokowi Korupsi?
Titik Lompat
Tongkat Nabi Musa
Penghancuran Kreatif
Krisis Literasi Digital
Pendidikan Kedokteran Transformasional Berbasis Komunitas
Trumpisme dalam Tafsiran Protagorian: Relativitas dalam Ekonomi Global
PLTN di Tengah Dinamika Politik dan Korupsi, Siapkah Indonesia Maju?
Setelah 30 Kali Ditolak MK
1.000 Pelajar Selami Dunia Otomotif di GIIAS 2024
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap