visitaaponce.com

Tongkat Nabi Musa

KEPEMIMPINAN Nabi Musa Alaihissalam layak diteladani seluruh umat manusia. Sebagai nabi dan rasul, ia tak hanya memiliki mukzijat, kemampuan spesial yang dianugerahi Sang Pencipta, tetapi juga kepemimpinan yang mumpuni.

Karakteristik kepemimpinan nabi yang disebut 'titik temu' tiga agama, yakni Yudaisme, Kristen, dan Islam, itu ialah memiliki keberanian, kesabaran, ketabahan, kebijaksanaan, dan keteguhan.

Nabi yang masuk golongan Ulul Azmi (pemilik keteguhan hati) itu memiliki mukjizat, yakni tongkatnya. Bukan sembarang tongkat tentunya. Tongkatnya bisa memiliki ragam fungsi, seperti menggembala kambing, mengeluarkan air dari batu, dan berubah menjadi ular besar yang melahap ular-ular dari tukang sihir Firaun, raja lalim yang mengaku Tuhan.

Selain itu, tongkat tersebut bisa membelah Laut Merah ketika Nabi Musa dan pengikutnya dikejar Firaun dan bala tentaranya.

Perihal tongkat Nabi Musa yang melegenda itu disinggung Presiden Prabowo Subianto dalam sambutannya saat Peringatan Natal Nasional 2024 di GBK, Jakarta, Sabtu (28/12).

Mantan Danjen Kopassus itu meminta masyarakat untuk bersabar dan memberikan kesempatan kepadanya bekerja sungguh-sungguh karena pemerintahannya baru berjalan selama 2 bulan 8 hari.

Prabowo meminta masyarakat untuk realistis melihat keadaan. “Tapi kita juga realitis, Presiden Republik Indonesia tidak punya tongkat semacam tongkat Nabi Musa, tidak punya. Tidak punya tongkat Nabi Sulaiman, tidak punya,” tandasnya.

Presiden Prabowo memang tidak memiliki mukjizat karena bukan nabi dan rasul. Namun, bukan berarti dirinya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan tidak bisa berbuat banyak untuk mengubah keadaan yang lebih baik, seperti Pembukaan UUD 1945, yakni membangun negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Sejak Indonesia merdeka 79 tahun silam cita-cita itu masih jauh panggang dari api. Indonesia baru merdeka dari belenggu kolonialisme, tapi kemerdekaan sesungguhnya belum dirasakan segenap bangsa Indonesia.

Merdeka dari kemiskinan, merdeka dari kebodohan, merdeka dari ketergantungan pihak asing, merdeka dari kesewenang-wenangan, dan sebagainya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), merdeka memiliki tiga makna, yakni (1) bebas (dari perhambatan, penjajahan, dan sebagainya), berdiri sendiri; (2) tidak terkena atau lepas dari tuntutan; (3) tidak terikat, tidak oleh tergantung dari orang atau pihak tertentu.

Ibarat lepas dari mulut harimau, masuk ke masuk ke mulut buaya. Itulah nasib bangsa Indonesia. Setelah berhasil mengusir penjajahan, kini bangsa Indonesia menghadapi bangsanya sendiri. Saling 'menikam' dan saling 'memakan'.

Fenomena itu pernah diprediksi Bung Karno. Sang proklamator mengatakan, "Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Namun, perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri."

Jelaslah musuh bangsa Indonesia tidak jauh-jauh, yakni sesama anak bangsa. Musuhnya ialah mereka yang mendahulukan kepentingan pribadi dan golongan dengan mengangkangi etika dan hukum.

Bangsa Indonesia juga menghadapi 'musuh dalam selimut'. Mereka tidak segan melancarkan aksi 'pagar makan tanaman' dalam penyelenggaran negara. Trias politika atau 'politik tiga serangkai' yang dianut Indonesia berupa pemisahan kekuasaan, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif, telah berubah menjadi 'trias koruptika'.

Ketiga cabang kekuasaan itu pertama kali dikemukakan John Locke, filsuf Inggris, dan kemudian dikembangkan Baron de Montesquieu, filsuf politik asal Prancis, dalam bukunya L'Esprit des Lois, The Spirit of Laws (1748).

Potret 'trias koruptika' diperlihatkan dalam praktik lancung berbangsa dan bernegara. Mereka berlomba memenuhi syahwat kekuasaan, memperkaya diri sendiri dan/atau kelompok mereka. Pilar-pilar demokrasi itu pun roboh seiring dengan ambruknya moral penjaganya.

Presiden Prabowo dan pasangannya, Gibran Rakabuming Raka, tidak perlu 'tongkat ajaib' seperti Nabi Musa untuk mengubah Indonesia lebih baik. Tantangan 2025 semakin kompleks, baik kondisi global atau domestik.

Prabowo memiliki dua 'tongkat ajaib', yakni Pancasila dan UUD 1945.

Niat untuk menyejahterakan rakyat dan memajukan Indonesia raya jangan hanya dipidatokan dari panggung ke panggung untuk mendapatkan tepuk tangan, tetapi dilaksanakan secara sistematis dan terstruktur.

Semua kebijakan harus diawali kajian matang dengan melibatkan partisipasi publik yang bermakna. Terlalu banyak dipidatokan bisa blunder seperti isu amnesti untuk koruptor.

Kabinet gemuk yang mengakomodasi beragam kepentingan politik tantangan tersendiri bagi Prabowo dalam mengorkestrasi berlayarnya pemerintahan.

Hingga kini setelah pelantikan 20 Oktober lalu rakyat belum melihat 'api' yang bisa menyalakan optimisme bangsa agar keluar dari krisis yang bersifat mulltidimensional ini.

Dukungan 58% suara dalam pemilu seharusnya menjadi modal bagi presiden ke-8 ini untuk mengambil keputusan politik yang berani untuk rakyat. Sang jenderal jangan ragu mencopot pembantunya yang tidak cakap atau memotong 'lemak-lemak' dalam pemerintahannya.

Seorang pemimpin, kata John Calvin Maxwell, penulis Amerika Serikat, ialah orang yang mengetahui jalan, melewati jalan tersebut, dan menunjukkan jalan itu untuk orang lain. Tabik!



Terkini Lainnya

Tautan Sahabat