Rezim Perizinan Pemagaran Laut
TOKOH legenda pembangunan candi dalam semalam diketahui identitasnya, tetapi pelaku pembangunan pagar laut berbulan-bulan di Kabupaten Tangerang malah masih misterius.
Masih misterius karena tidak ada kesungguhan untuk mencari tahu meski pagar laut diketahui sudah dibangun sejak Agustus 2024. Jika para pejabat mengaku tidak tahu, itu namanya sudah gaharu cendana pula, sudah tahu bertanya pula.
Negara bertanggung jawab atas pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam bentuk penguasaan kepada pihak lain (perseorangan atau swasta) melalui mekanisme perizinan.
Rezim perizinan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil ialah perintah Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010. Perintah itu ditindaklanjuti dengan pembentukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
MK memutuskan bahwa rezim HP3 (hak pengusahaan perairan pesisir) yang diatur dalam UU 27/2007 ialah inkonstitusional. Rezim HP3 diganti dengan rezim perizinan dalam UU 1/2014.
Perubahan rezim HP3 menjadi rezim izin tampak jelas dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1) UU 1/2014 bahwa setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang dari sebagian perairan pesisir dan pemanfaatan sebagian pulau kecil secara menetap wajib memiliki izin lokasi. Selanjutnya dalam ayat (2) dijelaskan bahwa izin lokasi itu menjadi dasar pemberian izin pengelolaan.
Izin lokasi dan izin pengelolaan diberikan menteri kelautan dan perikanan, gubernur, dan bupati/wali kota bergantung pada wilayah yang menjadi kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan Pasal 50 UU 1/2014.
Menteri berwenang memberikan dan mencabut izin lokasi dan izin pengelolaan di wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil lintas provinsi, kawasan strategis nasional, kawasan strategis nasional tertentu, dan kawasan konservasi nasional.
Selain sanksi administratif, undang-undang menetapkan sanksi pidana penjara dan denda bagi pihak-pihak yang tidak memiliki izin lokasi dan izin pengelolaan.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 75 UU 1/2014, setiap orang yang memanfaatkan ruang dari sebagian perairan pesisir dan pemanfaatan sebagian pulau kecil yang tidak memiliki izin lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp500 juta. Jika tidak memiliki izin pengelolaan, sesuai dengan Pasal 75A, diancam penjara 4 tahun dan denda Rp2 miliar.
Otoritas pemberian izin sudah sangat jelas, tetapi mengapa semua pihak terkaget-kaget ketika ada pemagaran laut di Tangerang? Jika pemagaran itu tanpa izin, mengapa tidak dikenai sanksi pidana seperti yang diatur undang-undang?
Hanya ada dua kemungkinan. Pertama, pemagaran itu sudah mengantongi izin apakah dari kementerian, gubernur, atau bupati. Silakan ditelusuri. Kedua, pemagaran tersebut tanpa izin karena itu harus diselidiki pelakunya.
Pemagaran laut sepanjang 30,16 km di Kabupaten Tangerang telah mengganggu ribuan nelayan dan pembudi daya ikan. Struktur pagar laut terbuat dari bambu atau cerucuk dengan ketinggian rata-rata 6 meter. Di atasnya, dipasang anyaman bambu, paranet, dan dikasih pemberat berupa karung berisi pasir.
Lebih anehnya lagi, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten sudah mengetahui kegiatan pemagaran itu sejak Agustus 2024 tanpa ada tindakan nyata. Setelah viral di media sosial, Kementerian Kelautan dan Perikanan turun tangan.
Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Pung Nugroho Saksono terjun langsung dalam penghentian itu pada 9 Januari 2025. “Saat ini kita hentikan kegiatan pemagaran sambil terus dalami siapa pelaku yang bertanggung jawab atas kegiatan ini,” pungkas Ipung.
Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil hendaknya mengacu pada putusan MK, yaitu dilakukan dengan tetap mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisional mereka sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta mengakui dan menghormati masyarakat lokal dan masyarakat tradisional yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Masyarakat lokal sungguh terpinggirkan sejak pagar laut dibangun. Padahal, putusan MK sangat tegas menyebutkan bahwa untuk menghindari pengalihan tanggung jawab penguasaan negara atas pengelolaan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil kepada pihak swasta, negara dapat memberikan hak pengelolaan tersebut melalui mekanisme perizinan.
Pemberian izin kepada pihak swasta tersebut, menurut MK, tidak dapat diartikan mengurangi wewenang negara untuk membuat kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuursdaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Kini, Kementerian Kelautan dan Perikanan hendak mencabut pagar laut di Tangerang. Perlu diingat bahwa jangan pernah merobohkan pagar laut tanpa mengetahui mengapa didirikan. Pelakunya mestinya diminta pertanggungjawaban hukum. Dengan demikian, negara menolak tunduk atas kepentingan terselubung.
Terkini Lainnya
Buruk Rupa Tatib Dibelah
Komunikasi Gas Melon
Tukang Peras
Blunder Bahlil
Kemewahan yang Terjangkau
Negara Boros
Pemilihan Serentak, Pelantikan Serempak
Kode Keras
Pagar Makan Lautan
Tumenggung Endranata
NKRI Harga Nego
Menemui Emil Salim
Kedermawanan bukan Ilusi
Pejabat Pemarah
Kuda Mati
Pagar Konstitusi
Solusi atas Konversi 20 Juta Hektare Hutan untuk Food Estate
Pemeriksaan Kesehatan Gratis
Reposisi Core Business Perguruan Tinggi dan Mengadaptasi Kebijakan Presiden Prabowo
Kebijakan Imperialisme Trump
Penyehatan Tanah untuk Peningkatan Produktivitas Pertanian
Trumpisme dalam Tafsiran Protagorian: Relativitas dalam Ekonomi Global
1.000 Pelajar Selami Dunia Otomotif di GIIAS 2024
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap