Belajar dari Koin Jagat
BAGAIMANA orang Indonesia memperlakukan ruang-ruang publik? Sebagian jawabannya bisa kita lihat dari topik yang belakangan hangat terkait dengan maraknya permainan Koin Jagat. Lewat permainan berbasis aplikasi tersebut, secara tidak langsung terkonfirmasi bahwa kepedulian sebagian masyarakat untuk menjaga ruang dan fasilitas publik masih minim.
Singkatnya, Koin Jagat ialah permainan berburu koin yang disebar secara fisik maupun virtual di ruang-ruang publik. Koin-koin yang didapatkan itu nantinya dapat ditukarkan dengan uang tunai. Nilainya lumayan, koin perunggu, misalnya, bisa bernilai Rp300 ribu hingga Rp1 juta. Nilai koin perak dan koin emas tentu lebih besar lagi.
Iming-iming hadiah uang sungguhan itulah salah satu yang membuat orang-orang, terutama anak muda, terpancing ikut memainkan Koin Jagat. Bukankah menjadi suatu kenikmatan tersendiri bisa mendapatkan uang dari aktivitas yang sifatnya hiburan seperti bermain gim?
Lagi pula, seperti dikatakan ahli sejarah Johan Huizinga, manusia pada dasarnya ialah makhluk bermain (homo ludens). Lewat bukunya, Homo Ludens: a Study of the Play Element in Culture (1938), Huizinga memperkenalkan konsep homo ludens dalam pengertian bahwa bermain ialah karakteristik yang mendasari budaya dan sifat manusia. Dengan konsep itu, bisa dikatakan naluri bermain merupakan salah satu unsur paling fundamental dalam kebudayaan manusia.
Naluri bermain yang dipunyai setiap manusia itulah yang pada era digital saat ini betul-betul dimanfaatkan para pengembang permainan daring untuk menciptakan gim-gim yang seru, atraktif, dan interaktif. Namun, sayangnya tak cuma itu, banyak pula gim daring yang aneh-aneh, termasuk mempromosikan kekerasan, pornografi, dan lain-lain.
Permainan Koin Jagat mungkin bisa dikategorikan dalam gim yang aneh-aneh itu. Permainannya berbasis virtual, tapi praktiknya sampai mengacak-acak fisik ruang publik. Niatnya mungkin mau memadukan teknologi digital dengan pengalaman nyata dalam perburuan koin, tetapi ujungnya malah menimbulkan dampak buruk karena lokasi yang dipilih penyedia aplikasi untuk 'menyimpan' koin-koin itu berada di area umum.
Contohnya banyak. Dari berita-berita yang kita baca belakangan ini, aktivitas perburuan Koin Jagat, salah satunya membuat kawasan Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta, menjadi berantakan. Sejumlah fasilitas umum, seperti taman dan lampu penerangan, rusak akibat perilaku pemain. Bahkan paving block sampai dicopotin hanya demi memburu koin-koin itu.
Kawasan Tebet Eco Park di Jakarta Selatan juga kena getah dari permainan itu. Kini, pengelolanya harus memasang pembatas untuk menghindari kerusakan lebih lanjut. Hal yang sama terjadi di Bandung, Surabaya, Bali, dan beberapa kota besar di Indonesia. Mungkin saking jengkelnya, Pemerintah Kota Surabaya sampai memperingatkan masyarakat dengan menyebarkan poster larangan di media sosial dengan pesan 'Stop rusak fasilitas umum hanya untuk berburu koin jagat'.
Begitu banyaknya kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan permainan itu, apalagi yang kena sasaran ialah kepentingan umum, tak salah bila ada orang yang kemudian memelesetkan koin jagat menjadi koin jahat. Sebetulnya, sih, bukan koinnya yang jahat, melainkan pencipta gimnya, para influencer yang mempromosikannya, dan para pemain yang sradak-sruduk dan seenaknya merusak fasilitas publik.
Kini, developer Koin Jagat sudah 'bertobat'. Itu kabar baik. Mereka akan menghapus aktivitas berburu Koin Jagat dan menggantinya dengan Misi Jagat setelah Co-Founder Jagat, Barry Beagen, bertemu dengan Wakil Menkomdigi Angga Raka Prabowo. Misi Jagat, dalam fase awal, katanya akan mendorong perbaikan ruang publik. Itu juga harus diawasi, jangan sampai nanti melenceng lagi jadi misi jahat.
Akan tetapi, dalam konteks yang lebih makro, tentu persoalannya tak cukup selesai di situ. Sedikitnya ada dua problem besar yang mesti menjadi perhatian, terutama oleh negara. Yang pertama terkait dengan pengawasan gim-gim berbasis aplikasi online.
Sudah saatnya Kemenkomdigi lebih proaktif menyisir gim-gim yang berpotensi memunculkan dampak buruk ke masyarakat. Itu setidaknya bisa terindikasi dari gim-gim yang mengandung unsur kekerasan, pornografi, termasuk judi. Jadi, jangan cuma menunggu ekses buruknya viral dulu baru bergerak.
Problem kedua, kembali ke kalimat pembuka tulisan ini soal perlakuan publik terhadap ruang dan fasilitas publik yang masih cenderung abai. Memang, dalam hal ini kita tidak bisa menyalahkan negara 100% karena sesungguhnya penjagaan terhadap ruang dan fasilitas umum merupakan tanggung jawab bersama. Tanggung jawab itu menyebar (defuse responsibility) untuk semua warga.
Namun, sudah menjadi tugas negara untuk terus memberikan edukasi, meningkatkan literasi masyarakat tentang pentingnya keberadaan ruang-ruang publik yang aman dan nyaman. Dengan belajar dari koin jahat, kiranya penting juga bagi negara terus mengerek literasi digital masyarakat sehingga mereka mampu memahami dampak aktivitas online terhadap dunia nyata, termasuk etika bermain gim berbasis lokasi.
Terkini Lainnya
Raja Kecil dan Efgede
Sudah tapi Belum
Prabowo Ogah Pisah
Malu sama Rwanda
Kampus Tambang
Buruk Rupa Tatib Dibelah
Komunikasi Gas Melon
Tukang Peras
Blunder Bahlil
Kemewahan yang Terjangkau
Negara Boros
Pemilihan Serentak, Pelantikan Serempak
Kode Keras
Pagar Makan Lautan
Tumenggung Endranata
NKRI Harga Nego
Digital Minimalism dan Kebermaknaan Hidup
Terapi dengan Menulis
Memaknai Valentine sebagai Peringatan, bukan Perayaan
Proyek Genom Manusia, Pedang Bermata Dua
Kebijakan Imperialisme Trump
Penyehatan Tanah untuk Peningkatan Produktivitas Pertanian
1.000 Pelajar Selami Dunia Otomotif di GIIAS 2024
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap