visitaaponce.com

Ketimpangan

ADA dua informasi penting dari Badan Pusat Statistik (BPS), awal pekan ini. Sayangnya, tidak semua pengumuman lembaga statistik resmi milik negara itu kabar baik. Dari dua informasi itu, yang satu kabar baik, satunya lagi kabar buruk.

Saya suka memulainya dari kelaziman saja, yakni kabar baik. Apa itu? Angka kemiskinan terus turun. Bahkan, secara persentase, mencetak sejarah: untuk pertama kalinya sejak BPS mengumumkan statistik kemiskinan pada 1960, angka kemiskinan per September 2024 'tinggal' 8,57%.

Secara jumlah, angka kemiskinan juga turun 1,16 juta orang menjadi 24,06 juta orang bila dibandingkan dengan posisi pada Maret 2024 yang masih 25,22 juta orang. Angka penurunan orang miskin hingga lebih dari 1 juta orang dalam kurun enam bulan itu jelas jumlah yang besar. Bila dirata-rata, tiap bulan lebih dari 193 ribu orang miskin di negeri ini bisa dientaskan.

Saya membayangkan alangkah indahnya jika ada lebih banyak orang bisa memiliki kehidupan yang layak. Kapan itu? Ketika angka-angka kemiskinan yang semula mengimpit perlahan-lahan berkurang.

Namun, statistik kerap berjalan dalam logika yang tidak linier. Misalnya, kendati jumlah orang miskin turun signifikan, tingkat kedalaman kemiskinan masih terus dirasakan. Mereka yang di posisi hampir miskin sejatinya masih terus pontang-panting untuk mempertahankan hidup untuk berada di posisi 'pinggir jurang'. Kualitas hidup masih menjadi pertaruhan.

Saya lalu teringat rumusan penting dari ahli ekonomi Amartya Sen soal tolok ukur kemiskinan yang amat relevan dengan kondisi kita saat ini. Kata peraih Hadiah Nobel Ekonomi 1998 itu, kemiskinan bukan hanya tentang rendahnya pendapatan, melainkan juga ketidakberdayaan secara umum.

Orang yang memiliki banyak uang tapi mengidap sakit yang akut bisa disebut sebagai orang yang tidak sejahtera karena ia memiliki tingkat keberdayaan yang relatif rendah. Ia tidak memiliki kualitas hidup yang baik. Seturut dengan itu, Sen mengusulkan tolok ukur kualitas hidup sebagai ukuran untuk melihat apakah pembangunan di sebuah negara berhasil atau tidak.

Bagi Sen, pembangunan di sebuah negara masih dinilai belum berhasil jika hak-hak dan kebebasan sipil tidak terjamin meskipun PDB-nya tinggi. Sebab, kata Sen, pembangunan ialah pembebasan yang menyangkut bukan hanya kesejahteraan (wellbeing freedom), melainkan juga kebebasan individu (agency freedom).

Ada yang menganalogikan rumusan Sen itu dengan orang yang sedang berpuasa. Ada kesamaan antara orang yang berpuasa dan yang kelaparan karena miskin: sama-sama tidak mengonsumsi makanan dan minuman. Namun, ada perbedaan tajam di antara keduanya. Mereka yang berpuasa sebenarnya memiliki kebebasan untuk makan dan minum, tetapi memilih berpuasa, sedangkan mereka yang kelaparan tidak memiliki kebebasan untuk makan karena memang tidak ada yang bisa dimakan.

Itulah kenapa Sen amat serius menanggapi munculnya ketimpangan ekonomi dan itulah berita buruk dari pengumuman BPS pekan ini. Angka ketimpangan yang ditunjukkan melalui rasio Gini justru meningkat. Pada September 2024 angka rasio Gini menjadi 0,381, dari Maret 2024 yang sebesar 0,379. Semakin tinggi rasio Gini, semakin lebar pula ketimpangan.

Ketimpangan muncul karena pembangunan, kata Sen, tidak berjalan inklusif. Ketika membahas pemulihan ekonomi pascapandemi covid-19, Sen menyeru bahwa pemulihan ekonomi pascapandemi menuntut pembangunan yang semakin inklusif karena ada sejumlah persoal besar menanti. Apa itu? Ketimpangan pendapatan, risiko memburuknya kualitas modal manusia (pendidikan dan kesehatan), dan ketimpangan gender.

Perekonomian memang berangsur membaik, kemiskinan turun, tetapi ada risiko pemulihan yang timpang. Ada yang naik dan ada yang turun. Perusahaan di bidang teknologi digital, kesehatan, atau mereka yang memiliki tabungan akan mudah bangkit. Namun, usaha mikro, pekerja sektor informal, dan mereka yang tidak punya tabungan akan terpuruk.

Pembangunan pascapandemi harus memberikan akses untuk masyarakat luas. Itu hanya bisa terwujud jika ia tidak hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pembangunan institusi, termasuk akses kesehatan, pendidikan, kesetaraan gender. Itu membutuhkan institusi hukum dan bekerjanya demokrasi agar setiap orang punya ruang untuk mengembangkan kapasitas masing-masing.

Orang menjadi miskin karena mereka tidak bisa melakukan sesuatu, karena ruang kapabilitas mereka kecil, bukan karena mereka tidak memiliki sesuatu. Dengan logika itu, kesejahteraan tercipta bukan karena barang yang kita miliki, melainkan karena aktivitas yang memungkinkan kita memiliki barang tersebut.

Di sini elemen kebebasan menjadi penting. Jika orang dibatasi hak politiknya, terbatas pula aksesnya untuk pendidikan dan kesehatan, ruang kapabilitasnya menjadi kecil. Menjadi terbatas. Ia tidak bisa mengembangkan dirinya.

Negara mesti memutus mata rantai ketimpangan itu dengan memberikan ruang yang lebar bagi kesetaraan dan demokratisasi pembangunan. Bila tidak, kita akan terus-menerus membincangkan ketimpangan dari rezim ke rezim dan tidak tahu sampai kapan itu diatasi.

Seperti penggalan lirik lagu Blowing in the Wind karya Bob Dylan: 'How many deaths will it take till he knows, that too many people have died' (Berapa banyak kematian yang dibutuhkan, sampai dia tahu, itu terlalu banyak).



Terkini Lainnya

Tautan Sahabat