visitaaponce.com

Pagar Konstitusi

DI balik gebyar sejumlah kebijakan populis Prabowo-Gibran dalam 100 hari usia pemerintahan mereka, di antaranya makan bergizi gratis (MBG), rakyat yang berprofesi sebagai nelayan di perairan Tangerang, Provinsi Banten, terabaikan.

Ibarat pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga. Itulah nasib nelayan Indonesia, termasuk di perairan Tangerang. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), jumlah nelayan di Indonesia pada 2023 mencapai lebih dari 2 juta orang. Sebanyak 85% dari mereka ialah nelayan kecil yang notabenenya hidup di bawah garis kemiskinan.

Bagi nelayan di perairan Kabupaten Tangerang, mereka harus bekerja secara ekstra untuk mendapatkan ikan. Mereka harus merogoh kocek dalam-dalam untuk menambah biaya solar karena perahu mereka harus memutar ke tengah laut.

Biang kerok yang menghambat pergerakan nelayan ialah pagar laut sepanjang 30,16 kilometer. Pembangunan pagar laut yang kini masih misterius alias belum diketahui pembuatnya itu mencaplok wilayah pesisir 16 desa di 6 kecamatan.

Masyarakat pesisir yang beraktivitas sebagai nelayan sebanyak 3.888 orang dan 502 pembudi daya ikan di wilayah tersebut. Mereka tidak berdaya menghadapi sejumlah orang yang bergerak diam-diam setiap malam untuk membuat pagar laut. Mereka hidup dicekam ketakutan.

Pembangunan pagar laut yang terbuat dari bambu setinggi enam meter diperkirakan sejak Juni 2024 itu sudah lama memicu keresahan nelayan. Mereka sudah mengadukan pemagaran laut kepada Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten pada 14 Agustus 2024.

Demikian pula Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) periode 2005-2010, Said Didu, sudah membuat laporan pemagaran laut dan berbagai permasalahan lainnya via kanal Youtube-nya, Manusia Merdeka, pada September 2024. Gayung tak bersambut, Said Didu malah dilaporkan ke Polresta Tangerang.

Rezim memang berganti. Namun, watak penegakan hukum di republik yang disebut 'negara hukum' (rechsstaat) ini tak berubah, yakni 'tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas'. Padahal, prinsip utama negara hukum ialah semua orang memiliki kesamaan di depan hukum (equality before the law) sesuai dengan Pasal 27 ayat 1 UUD 1945.

Alih-alih berubah menuju lebih baik, perubahan rezim dari Joko Widodo ke Prabowo Subianto masih belum menyalakan optimisme bahwa penegakan hukum akan berjalan dengan baik, yakni bersandarkan kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan bagi masyarakat.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bak 'macan ompong' tak bisa menemukan pelaku pembuatan pagar laut sejak menyegel pada Kamis (9/1). Lucunya, pemerintah pun simpang siur terkait dengan pembongkaran pagar laut. Semula TNI Angkatan Laut membongkar pagar laut dengan menurunkan 600 personel mereka. Namun, sehari kemudian, Menteri KKP meminta pembongkaran ditunda karena terkait dengan barang bukti dan tengah menyelidiki pelakunya.

Di sisi lain, seiring dengan pemagaran laut, mencuat dugaan pengavelingan berikut sertifikasi laut, hak guna bangunan (HGB), dan sertifikasi hak milik (SHM). Sertifikasi itu diketahui warganet melalui aplikasi BHUMI ATR/BPN. Menteri Agraria Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nusron Wahid membenarkan hal tersebut.

Kasus pemagaran, pengavelingan, dan sertifikasi laut seharusnya menjadi momentum pemerintahan Prabowo untuk berdiri membela rakyat, wabilkhusus para nelayan yang selama ini hidup susah. Mereka disebut salah satu penyumbang kemiskinan ekstrem di Tanah Air.

Pemerintahan Prabowo-Gibran jangan terbuai dengan tingkat kepuasan publik yang menjulang terhadap kinerja pemerintahan dalam 100 hari pemerintahan. Berdasarkan survei Litbang Kompas, tingkat kepuasan publik sebanyak 80,9%.

Kasus pemagaran laut yang berujung sertifikasi laut ialah skandal besar penyelenggaraan negara. Presiden Prabowo ketiban apes tata kelola negara yang buruk dari pemerintahan sebelumnya. Skandal besar itu harus dibongkar secara tuntas dan diproses hukum. Tak peduli ada pemodal atau pengembang kakap di belakangnya.

Para pendiri bangsa (founding fathers) sejak BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan) hingga PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) berpandangan jauh ke depan. Mereka mewariskan 'pagar konstitusi' bernama UUD 1945 untuk mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Pasal 33 ayat (3) berbunyi 'negara menguasai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk kemakmuran rakyat'.

Prabowo harus bersikap terang, seterang mentari terbit dari timur, untuk menyikapi pemagaran dan sertifikasi laut sebagai pembuktian bahwa negara hadir. Dengan demikian, para pembantunya tidak gamang mengambil langkah.

Dengan otoritas penuh di tangan Prabowo, semestinya bisa melenyapkan berbagai paradoks di bumi Indonesia sebagaimana dalam buku yang ditulisnya, Paradoks Indonesia: Pandangan Strategis Prabowo Subianto (2017).

Indonesia ialah negara kepulauan yang luas wilayahnya 70% merupakan lautan. Laut Indonesia membentang antara dua samudra, yakni Samudra Hindia dan Pasifik. Belum lagi Indonesia juga memiliki zona ekonomi eksklusif (ZEE) seluas 5,8 juta km2.

Sebagai negara maritim terbesar kelima di dunia, tentu memiliki potensi sumber daya laut yang melimpah. Alhasil, sejatinya nelayan Indonesia ialah kelompok masyarakat yang paling sejahtera. Anak-anak nelayan pun tidak perlu merindukan MBG karena sudah terbiasa makan ikan. Mudah dan gratis dari laut.

Jurus mengatasi berbagai paradoks demi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), jalan satu-satunya ialah tegak lurus kepada konstitusi. Bangsa akan kehilangan harapan ketika para pemimpinnya mengabaikan konstitusi. Tabik!

 

 



Terkini Lainnya

Tautan Sahabat