Kedermawanan bukan Ilusi
JIKA bicara soal kepedulian terhadap sesama, orang Indonesia jangan ditanya. Mereka sangat peduli. Care abis kalau kata anak muda sekarang. Simpati dan empati mereka tak pernah surut ketika ada warga lain tertimpa oleh musibah, kemalangan, atau kesusahan. Warga Tanah Air tidak hanya selalu enteng mengulurkan tangan menjadi relawan, tapi juga dermawan.
Ini bukan cuma klaim. Karakter dan sikap itu nyata adanya dan sudah diakui dunia internasional. Kalau tidak, bagaimana mungkin lembaga sekelas Charity Aid Foundation (CAF) menobatkan Indonesia sebagai negara paling dermawan di dunia selama tujuh tahun berturut, sejak 2017 hingga 2024. Tolong catat, tujuh tahun berturut-turut, bukan cuma satu-dua tahun di posisi puncak lalu anjlok.
CAF merupakan lembaga internasional yang mengukur tingkat kedermawanan negara-negara di dunia. Setiap tahun mereka merilis hasil survei global yang didasari sejumlah indikator untuk menentukan level kedermawanan suatu negara. Beberapa di antaranya persentase menolong orang yang tidak dikenal, jumlah donatur, dan kegiatan sukarelawan.
Ini jelas bukan abal-abal karena survei itu melibatkan 145 ribu responden dari 142 negara. Survei tersebut kemudian menghasilkan indeks kedermawanan dunia (world giving index). Nah, selama tujuh tahun terakhir, termasuk laporan terbaru yang dirilis Desember 2024, Indonesia selalu mendapatkan nilai tertinggi dan memuncaki peringkat indeks kedermawanan itu.
Itu baru satu bukti, yakni dari sisi data survei. Kalau Anda masih belum teryakinkan dengan data, Anda bisa lihat fakta di lapangan. Hari-hari ini mungkin saat yang cukup tepat untuk melihat seberapa dermawannya warga +62 mengingat sejak pertengahan tahun lalu Indonesia sedang dilanda banyak bencana alam.
Mulai bencana yang berkaitan dengan geologi (gempa bumi, gunung meletus dll), bencana kekeringan, hingga bencana hidrometeorologi yang kini sedang kuat-kuatnya. Termasuk yang terjadi baru-baru ini seperti bencana tanah longsor di Kabupaten Pekalongan yang merenggut sedikitnya 22 korban jiwa, serta banjir di sejumlah tempat yang tak hanya memaksa ribuan orang mengungsi karena rumah mereka terendam, tapi juga melumpuhkan jalur transportasi.
Bencana alam sejak dulu menjadi salah satu momen musibah yang mampu menghimpun simpati dan empati masyarakat. Setiap terjadi bencana, hasrat untuk membantu sesama seolah tidak terbendung. Bantuan masyarakat, baik dalam bentuk materi maupun nonmateri, pasti langsung mengalir begitu kabar tentang terjadinya bencana di satu tempat beredar. Tanpa melihat latar belakang sosial, siapa pun korbannya bantuan bakal cepat meluncur.
Sebuah penelitian yang pernah dilakukan sebuah lembaga nonprofit menyodorkan satu kesimpulan menarik bahwa kedermawanan orang Indonesia bisa terjaga di level tinggi karena makin ke sini kesadaran sosial masyarakatnya makin meningkat. Salah satu indikasinya, aktivitas seperti penggalangan donasi, kegiatan amal untuk korban bencana ataupun korban kejahatan, kian diminati. Tidak cuma oleh kaum tua, tapi juga anak-anak muda.
Namun, yang menarik, berseberangan dengan tingkat kedermawanan yang tinggi, negara ini juga dikenal sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Itu tergambar dari indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia yang terus anjlok. Sejak 2022, IPK Indonesia berada di angka 34 dan tidak berubah pada 2023 dan 2024. Menurut catatan Transparency International Indonesia, kini Indonesia berada di peringkat ke-110 dari 180 negara. Makin rendah peringkatnya, makin korup negara itu.
Barangkali, kontradiksi antara indeks kedermawanan dan indeks korupsi itulah yang bisa menjelaskan mengapa di negeri ini kerap terjadi praktik lancung menggarong uang donasi atau anggaran bantuan bagi korban bencana. Di satu sisi hasrat membantu sesama melimpah, tapi di sisi lain tak kurang gairah melakukan rasuah. Ibarat tangan satu senang berbagi, tangan lainnya gemar mencuri.
Banyak contohnya, termasuk yang pernah dilakukan seorang menteri di era Presiden Jokowi yang tega menilap anggaran bantuan sosial (bansos) penanganan pandemi covid-19. Dalam lingkup penyalahgunaan nonanggaran negara, PPATK pada 2022 juga pernah mengungkap ada 176 lembaga filantropi yang menyelewengkan dana donasi, terutama ke pengurus sendiri.
Mungkinkah hal-hal seperti itu, jika terus terakumulasi, bakal menyurutkan kedermawanan dan kemurahan hati orang Indonesia? Bisa jadi begitu. Kalau boleh berandai-andai, ketika kebaikan terus-menerus diselewengkan, tentu saja yang akan muncul ialah ketidakpercayaan. Lama-lama orang jadi trauma, takut melakukan kebaikan. Kedermawanan pun meluntur, rasa empati lenyap.
Lalu, beberapa tahun dari sekarang, saat CAF merilis indeks kedermawanan, tiba-tiba peringkat Indonesia anjlok. Posisinya tak lagi di papan atas, tapi nyungsep mendekati posisi indeks antikorupsi Indonesia yang pada saat sama juga tak pernah beranjak dari papan dasar. Duh, ngeri kali pengandaian saya. Semoga itu cuma ilusi.
Terkini Lainnya
Raja Kecil dan Efgede
Sudah tapi Belum
Prabowo Ogah Pisah
Malu sama Rwanda
Kampus Tambang
Buruk Rupa Tatib Dibelah
Komunikasi Gas Melon
Tukang Peras
Blunder Bahlil
Kemewahan yang Terjangkau
Negara Boros
Pemilihan Serentak, Pelantikan Serempak
Kode Keras
Pagar Makan Lautan
Tumenggung Endranata
NKRI Harga Nego
Digital Minimalism dan Kebermaknaan Hidup
Terapi dengan Menulis
Memaknai Valentine sebagai Peringatan, bukan Perayaan
Proyek Genom Manusia, Pedang Bermata Dua
Kebijakan Imperialisme Trump
Penyehatan Tanah untuk Peningkatan Produktivitas Pertanian
1.000 Pelajar Selami Dunia Otomotif di GIIAS 2024
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap